TARIKAT DAN TOKOH-TOKOH SERTA AJARANNYA
STANDAR
KOMPETENSI
|
KOMPETENSI
DASAR
|
|
1.1.Menjelaskan
tarikat Qadiriyah dan ajarannya1.2.Menjelaskan tarikat Rifa’iyah dan
ajarannya1.3.Menjelaskan tarikat Syaziliyah dan ajarannya1.4.Menjelaskan
tarikat Maulawiyah dan ajarannya
1.5.Menjelaskan tarikat Syatiriyah dan ajarannya
1.6.Menjelaskan tarikat Naqsabandiyah dan
ajarannya
1.7.Menjelaskan tarikat Suhrawardiyah dan
ajarannya
|
- A. PENGERTIAN TAREKAT
- 1. Pengertian secara Bahasa
- Tarekat (bahasa Arab: Ṭarīqah طريقة; jamak طرق; ṭuruq) berarti “jalan” atau “metode”, dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme dalam Islam. Ia secara konseptual terkait dengan ḥaqīqah atau “kebenaran sejati”, yaitu cita-cita ideal yang ingin dicapai oleh para pelaku aliran tersebut. Seorang penuntut ilmu agama akan memulai pendekatannya dengan mempelajari hukum Islam, yaitu praktek eksoteris atau duniawi Islam, dan kemudian berlanjut pada jalan pendekatan mistis keagamaan yang berbentuk ṭarīqah. Melalui praktek spiritual dan bimbingan seorang pemimpin tarekat, calon penghayat tarekat akan berupaya untuk mencapai ḥaqīqah (hakikat, atau kebenaran hakiki).
- Kata tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah).
- Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti
metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan
kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal
seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
- 2. Pengertian secara istilah
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu:
sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki
seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau
qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah.
Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah
atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.
Pengertian diatas menunjukkan Tarekat sebagai cabang atau aliran
dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat ditemukan pada al-Thariqah al-Mu’tabarah
al-Ahadiyyah, Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Rifa’iah,
Tarekat Samaniyah dll. Untuk di Indonesia ada juga yang menggunakan kata
tarekat sebagai sebutan atau nama paham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara langsung dengan paham
tasawuf yang semula atau dengan tarekat besar dan kenamaan. Misalnya Tarekat
Sulaiman Gayam (Bogor), Tarekat Khalawatiah Yusuf (Sulawesi Selatan) boleh
dikatakan hanya meminjam sebutannya saja.
Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada
Hakikat atau dengan kata lain pengalaman Syari’at, yang disebut “Al-Jaraa” atau
“Al-Amal”, sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam
definisi, yang berturut-turut disebutkan:
1) Tarekat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban
ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah),
yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah
Tuhan sesuai dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata,
maupun yang tidak (batin).
3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh,
memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan
hal-hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan
(pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang
mencita-citakan suatu tujuan.
Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap
kehidupan Tasawuf di beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa
istilah Tarekat mempunyai dua macam pengertian.
- Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamaat” dan “Al-Ahwaal”.
- Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut ajaran yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu. Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya.
Secara terminologi, pemaknaan tarekat agak sulit dirumuskan dengan pas,
karena pengertian tarekat ikut berkembang mengikuti perjalanan kesejarahan dan
perluasan kawasan penyebarannya. Dari berbagai sumber klasik maupun
kontemporer, nampaknya tarekat dapat dimaknai sebagai ”suatu sistem hidup
bersama dan kebersamaan dalam keberagamaan sebagai upaya spiritualisasi
pamahaman dan pengamalan ajaran Islam menuju tercapainya ma’rifatu’I-lah”.
Dalam perspektif ini, secara operasional rumusan ini bisa diartikan sebagai
usaha kolektif dalam upaya tazkiyah an nafs dalam rangka interiorisasi
keberagamaan.
Tarekat itu artinya jalan petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai
dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh
sahabat dan tabi’in, turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung
dan rantai berantai.
Menurut Mircea Aliade, kata thariqah digunakan dalam dunia tasawuf
sebagai jalan yang harus di tempuh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Atau metode psikologis-moral dalam membimbing seseorang untuk mengenali
Tuhannya.
Pengertian tarekat menurut Prof.Dr.H.Abubakar Aceh ialah : “jalan
,petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang telah
ditentukan dan dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dan dikerjakan oleh Sahabat,
tabi’in , dan tabi’it tabi’in turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung
dan rantai berantai”.
Dari Abu Al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani mengatakan : “kata
Tariqat pada para sufi mutakhir dinisbatkan bagi sejumlah probadi sufi yang
bergabung dengan seorang guru( Syekh) dan tunduk dibawah aturan-aturan
terperinci dengan jalan rohaniyah ,yang hidup secara kolektif secara zawiyah,
ribath dan khanaqah, atau berkumpul secara periodic dalam acara-acara tertentu,
serta mengadakan berbagai pertemuan ilmiah maupun rohaniyah yang teratur”.
Sedangkan J. S. Trimingham menyatakan bahwa tarekat adalah ”a practical
method (other terms were madhhab, ri’ayah and suluk) to guide a seeker by
tracing a way of thought, feeling and action, leading a succession of stages
(maqamat, an integral association with psycological experiance called ’states’
ahwal) to experianceof Divine Reality (haqiqa) ”, metode praktis (bentuk-bentuk
lainnya, mazhab, ri’ayah, dan suluk) untuk membimbing murid dengan menggunakan
pikiran, perasaan dan tindakan melalui tingkatan-tingkatan (maqamat, kesatuan
yang utuh dari pengalaman jiwa yang disebut ’states’, ahwal) secara beruntun
untuk merasakan hakikat Tuhan”.
Tarekat berakar dari pengalaman seorang sufi –ahli tasawuf- dalam
mengajarkan ilmunya kepada orang lain, pengajaran mana kemudian dikembangkan
pengikutnya. Oleh karena itu, dalam perkembangannya kemudian, tarekat terkait
erat dengan nama guru tasawuf itu. Dalam pengertian ini, maka penamaan satu
tarekat diambil dari nama pimpinan kelompok belajar itu. Misalnya tarekat
Naqsyabandiyah dinamai demikian adalah karena kelompok pembelajaran tasawuf itu
dirintis oleh Bahauddin al- Naqsyaband. Hal ini berarti, nampaknya tarekat
mirip dengan aliran tasawuf –the sufi orders-, atau semacam pranata sosial
keagamaan yang visi dan misinya sufism. Dengan demikian tarekat yang pada
awalnya dimaknai sebagai metode mendekatkan diri kepada Allah, berubah menjadi
sistem pembelajaran tasawuf yang melembaga.
Dalam tarekat sebagai lembaga, ditemui adanya seorang mursyid atau
pembimbing dan biasanya didampingi satu orang asisten atau lebih, yang disebut
”khalifah” atau wakil, pengikutnya dinamai ”murid” atau yang berminat. Tempat
untuk belajar dan pondokan –semacam asrama- disebut ribath atau zawiyah dan
juga dinamai taqiyah yang dalam bahasa persia disebut khanaqoh.
- 3. Tujuan dan Dasar Utama Tarekat
Tujuan utama pendirian berbagai tarekat oleh para sufi, termasuk Tarekat
Qadiriyah-Naqsyabandiyah adalah untuk membina dan mengarahkan seseorang agar
bias merasakan hakikat Tuhannya dalam kehidupan sehari-hari melalui perjalanan
ibadah yang terarah dan sempurna. Dalam kegiatan semacam ini, biasanya seorang
anggota atau salik (penempuh dan pencari hakikat ketuhanan) akan diarahkan oleh
tradisi-tradisi ritual khas yang terdapat dalam tarekat bersangkutan sebagai
upaya pengembangan untuk bisa menyampaikan mereka ke wilayah hakikat atau
makrifat kepada Allah ’Azza wa Jalla. Setiap tarekat memilki perbedaan dalam
menentukan metode dan prinsip-prinsip pembinaanya. Meski demikian, tujuan utama
setiap tarekat akan tetap sama, yakni mengharapkan Hakikat Yang Mutlak, Allah
’Azza wa Jalla. Secara umum, tujuan utama setiap tarekat adalah penekanan
pada kehidupan akhirat, yang merupakan titik akhir tujuan kehidupan manusia
beragama. Sehingga, setiap aktifitas atau amal perbuatan selalu diperhitungkan,
apakah dapat diterima atau tidak oleh Tuhan.
Karena itu, Muhammad ’Amin al-Kurdi, salah seorang tokoh Tarekat
Naqsyabandi, menekankan pentingnya seseorang masuk ke dalam tarekat, agar bisa
memperoleh kesempurnaan dalam beribadah kepada Tuhannya. Menurutnya, minimal
ada tiga tujuan bagi seseorang yang memasuki dunia tarekat untuk menyempurnakan
ibadah. Pertama, supaya ”terbuka” terhadap sesuatu yang diimaninya,
yakni Zat Allah AWT, baik mengenai sifat-sifat, keagungan maupun
kesempurnaan-Nya, sehingga ia dapat mendekatkan diri kepada-Nya secara dekat lagi,
serta untuk mencapai hakikat dan kesempurnaan kenabian dan para sahabatnya. Kedua,
untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat dan akhlak yang keji, kemudian
menghiasinya dengan akhlak yang terpuji dan sifat-sifat yang diridhai (Allah)
dengan berpegangan pada para pendahulu (shalihin) yang telah memiliki
sifat-sifat itu. Ketiga, untuk menyempurnakan amal-amal syariat, yakni
memudahkan beramal salih dan berbuat kebajikan tanpa menemukan kesulitan dan
kesusahan dalam melaksanakannya.
Langkah utama dan pertama bagi seseorang yang akan memasuki dunia
tarekat adalah kesiapan untuk menaati aturan-aturan syariat Islam. Karena
seluruh aktifitas kehidupan anggota tarekat akan selalu bersandar pada
hukum-hukum syariat, terutam yang terpilih dan memiliki keunggulan, dan mereka
lebih senang menghindari hukum-hukum Islam yang ringan dan mudah. Karena itu,
mencium ambang pintu syariat, kata Abu al- Majdud as-Sana’i, merupakan
kewajiban pertama bagi seseorang yang akan menempuh perjalanan ”mistik”ini. Di
samping itu, dasar-dasar akidah yang benar juga merupakan pondasi utama bagi
berlangsungnya perjalanan seorang murid dalam tarekat, yakni akidah para salaf
salih, para sahabat, tabi’in, para wali serta para shiddiqin yang selalu
berpegang pada Al-qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Kedua dasar itu (akidah dan
syariat) sangat diperlukan bagi seorang salik (pencari hakikat ketuhanan),
mengingat perjalanan yang akan mereka tempuh sangat sulit dan mendaki, terutama
untuk sampai pada maqam-maqam yang mereka tuju. Tanpa memilliki aqidah yang
kuat, menguasai dan menjalani kehidupan syariat, maka pencapaian kehidupan
tarekat mereka mustahil bisa dilakukan dengan benar, karena sesungguhnya dalam
tarekat terjalin hal-hal yang diterangkan oleh syariat. Sebaliknya, kehidupan
syariat nampak tidak akan seimbang bila tidak diiringi dengan nilai-nilai yang
ada dalam tarekat atau dunia tasawuf secara umum. Peranan tarekat atau tasawuf
sebagai dimensi batin syariat telah diakui oleh para pendiri aliran hukum, yang
menenkankan pentingnya aspek ini dalam pendalaman etika Islam.
Di sinilah tarekat memberikan keseimbangan dalam mengiringi jalannya
syariat Islam, sebagai penghalus untuk meresapkan nilai-nilai hukum yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunah sehingga bisa mencapaiai hakikatnya.
Sebagian besar ulama salaf dalam masyarakat isalm telah mampu menjaga
keseimbangan ini, yakni menjaga jangan sampai syariat terpisah dari tarekat dan
tarekat terasing dari syariat. Vitalitas keagamaan dan spiritual Islam tumbuh
dari kedua dimensi ini (syariat dan tarekat) selama berabadabad, yang secara
bersama-sama telah membentuk tradisi keagamaan yang integraldalam masyarakat
religius. Menurut simbolisme sufi yang cukup terkenal, Islam diumpamakan dengan
buah ”kenari” yang kulitnya diibaratkan syariat, sedangkan isinya adalah
tarekat, dan minyaknya yang ada dimana-mana adalah hakikat. Kenari tanpa kulit
tidak akan tumbuh di alam, begitu pula bila tanpa isi, ia tidak akan mempunyai
arti apa-apa. Syariat tanpa tarekat seperti tubuh tanpa jiwa, dan tarekat tanpa
syariat pasti tidak akan mempunyai bentuk lahiriah serta tidak akan mampu
bertahan dan mewujudkan dirinya di dunia ini. Bagi keseluruhan tradisi,
keduanya mutlak diperlukan. Di sinilah secara universal rekat telah menunjukkan
tujuannya sebagai penyempuna dalam memberikan keseimbangan bagi setiap hamba
untuk menjalankan ajaran islam dan mengantarkan mereka menuju pintu hakikatnya.
Melalui latihan-latihan mental dan spiritual (riyadhah)- nya, tarekat telah
menunjuk kan metode praktisnya dalam memberikan nilai-nilai keseimbangan tadi.
- 4. Perkembangan Tarekat dalam Dunia Islam
Dilihat dari sisi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula
timbul sebagai lembaga, sulit diketahui karena tiadanya artifact sejarah yang
jelas. Dari beberapa literatur yang dirujuk, nampaknya Tarekat Taifuriyah
adalah tarekat tertua. Tarekat ini berdiri pada abad ke-IX di Persia yang
mengembangkan tasawuf Abu Yazid al-Busthami al-Taifuriyah. Pendapat ini
dipandang cukup beralasan, karena tarekat ini menganut paham tasawuf Abu Yazid
al-Busthami. Pada umumnya tarekat yang berkembang di Persia, menganut paham
tasawuf Abu Yazid yang lahir di Taifur, satu desa yang terletak di Khurasan
Persia atau Iran. Namun perkembangan nyata keberadaan tarekat adalah sekitar
abad ke XII di dua daerah basis, yaitu di Khurasan (Persia) dan Mesopotamia
(Irak). Tarekat yang bermunculan di daerah Khurasan beraliran tasawuf Abu
Yazid, sedangkan tarekat yang berkembang di Mesopotamia berakar pada tasawuf
Junaid al-Baghdadi. Pada era abad dua belas itu, di Khurasan berdiri tarekat
Yasaviyah yang dipelopori oleh Ahmad al-Yasavi (w. 1169) dan tarekat
khawajaganiyah yang didirikan oleh Abdul Khaliq al- Ghazdawani (1220).
Tarekat Yasaviyah melebarkan sayapnya ke kawasan Turki dengan nama baru
tarekat Bektashiyah diidentikkan dengan nama pendirinya Muhammad Atha’ bin
Ibrahim Hajji Bekhtash (w.1335). Tarekat ini cukup populer pada masa kekuasaan
Sultan Murad I, karena tarekat itu memiliki komando sebagai kekuatan inti
kerajaan Turki Osmani, yang disebut ”jenissari”. Tarekat Naqsyabandiyah adalah
salah satu tarekat yang merupakan pengembangan dari tarekat Khawajaganiyah yang
didirikan oleh Muhammad Bahauddin al-Naqsyaband al-Awisi al-Bukhari (w.1335) .
Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat ini menyebar ke Turki, India dan
Indonesia dengan nama baru sesuai dengan pendirinya di kawasan setempat. Di
Indonesia tarekat yang merupakan cabang dari Naqsyabandiyah, antara lain
tarekat Khalidiyah, Muradiyah, Mujaddidah., Ahsaniyah dan lain-lain. Selain
dari kedua tarekat induk tadi, tarekat yang tergolong rumpun Khurasan masih
banyak lagi yang berpengaruh dalam dunia tarekat, seperti tarekat Khalwatiyah
yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (w.1397). Di kawasan Mesir tarekat ini
didirikan oleh Ibrahim Ghulseni (1534) yang kemudian berganti nama tarekat
Sammaniyah yang didirikan oleh Muhammad Ibn Abdul Karim as-Sammani (w.1775),
tarekat ini disebut juga dengan nama Tarekat Hafniyah.
Tarekat yang berasal dari rumpun Mesopotamia-Irak anutannya berakar pada
tasawuf Abdul Qasim al-Junaidi yang meninggal sekitar tahun 910 atau menganut
paham tasawuf Abdul Qadir al-Jailani (w.1078). Tarekat Suhrawardiyah yang
dirintis oleh Abu Hafs as Suhrawardi (w.1234), tarekat Kubrawiyah yang
dipelopori Najamuddin al-Kubra (w.1221) dan tarekat Maulawiyah yang didirikan
oleh Jalaludin al-Rummi (w.1273), adalah tarekat-tarekat besar yang mengacu
pada tasawuf al-Junaidi. Tarekat Kubrawiyah cukup digemari di India dan
Pakistan, sedangkan Tarekat Maulawiyah berkembang subur diwilayah Turki,
Tarekat Qadariyah yang dibangun oleh Muhyidin Abdul Qadir al- Jaelani di Irak,
melebarkan ajaran tasawufnya melalui tarekat Shadziliyah yang didirikan oleh
Nuruddin as-Shadzili (w.1258) dan tarekat Rifaiyah yang dirintis oleh Ahmad Ibn
Ali Ar-Rifai (w. 1182). Tarekat yang berasal dari rumpun Qadiriyah, tersebar
luas dihampir seluruh negeri islam. Tarekat Faridiyah yang mengilhami lahirnya
tarekat Sanusiyah dan Idrisiyah di kawasan Afrika Utara, adalah tarekat yang
termasuk rumpun Qadiriyah yang berakar pada tasawuf Dzuan Nun al-Mishri
(w.860). Tarekat Qadariyah masuk ke kawasan India atas jasa Muhammad al-Ghawth
dengan mendirikan tarekat Ghawthiya sekitar tahun 1617.
Oleh karena banyaknya penyebaran tarekat dari satu induk saja, maka terasa sulit menelusuri perkembangan dan pertumbuhan tarekat secara sistematis. Tetapi yang jelas, cabang-cabang atau tarekat baru yang berdiri itu adalah karena tersebarnya abituren satu tarekat ke berbagai kawasan. Di antara abituren itu, pasti ada sekian orang yang mendapat wewenang untuk membuka tarekat baru di daerah asalnya masing-masing. Dengan cara demikian maka dari satu Ribath induk dapat melahirkan beberapa ribath cabang, dan dari satu ribath cabang dapat pula berkembang menjadi banyak ribath ranting dan seterusnya berkembang secara diasporis. Namun demikian perkembangan satu tarekat induk kekawasan manapun atau sebanyak apapun, nilai anutannya tetap sama seperti tarekat induknya. Dengan kata lain, penyebaran itu hanyalah dalam segi jumlah tetapi tidak menyentuh aspek anutannya. Kehidupan tarekat di Indonesia cukup subur dan banyak pengikut, karena sesuai dengan kultur mayoritas bangsa ini. Hal ini terbukti dari banyaknya ribath-ribath yang menyebar di hampir seluruh kawasan nusantara. Namun yang cukup luas dikenal masyarakat dan banyak pengikutnya, antara lain : Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Khalidiyah, Rifaiyah dan Khalwatiyah. Menurut Jumhur Ulama Pada abad ini terdapat 41 thariqah. Masing-masing mempunyai Syekh.
Oleh karena banyaknya penyebaran tarekat dari satu induk saja, maka terasa sulit menelusuri perkembangan dan pertumbuhan tarekat secara sistematis. Tetapi yang jelas, cabang-cabang atau tarekat baru yang berdiri itu adalah karena tersebarnya abituren satu tarekat ke berbagai kawasan. Di antara abituren itu, pasti ada sekian orang yang mendapat wewenang untuk membuka tarekat baru di daerah asalnya masing-masing. Dengan cara demikian maka dari satu Ribath induk dapat melahirkan beberapa ribath cabang, dan dari satu ribath cabang dapat pula berkembang menjadi banyak ribath ranting dan seterusnya berkembang secara diasporis. Namun demikian perkembangan satu tarekat induk kekawasan manapun atau sebanyak apapun, nilai anutannya tetap sama seperti tarekat induknya. Dengan kata lain, penyebaran itu hanyalah dalam segi jumlah tetapi tidak menyentuh aspek anutannya. Kehidupan tarekat di Indonesia cukup subur dan banyak pengikut, karena sesuai dengan kultur mayoritas bangsa ini. Hal ini terbukti dari banyaknya ribath-ribath yang menyebar di hampir seluruh kawasan nusantara. Namun yang cukup luas dikenal masyarakat dan banyak pengikutnya, antara lain : Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Khalidiyah, Rifaiyah dan Khalwatiyah. Menurut Jumhur Ulama Pada abad ini terdapat 41 thariqah. Masing-masing mempunyai Syekh.
- 5. Urgensi Mursyid dalam Tariqat
Secara luas, kata mursyid berasal dari ‘irsyad’ yang artinya petunjuk.
Sedangkan pelakunya adalah mursyid yang artinya orang yang ahli dalam memberi
petunjuk dalam bidang agama.
Menurut pengertian ini, yang disebut mursyid adalah orang-orang yang
ditugasi oleh Allah Swt untuk menuntun, membimbing dan menunjukkan manusia ke
jalan yang lurus atau benar dan menghindarkan manusia dari jalan yang sesat.
Tentu saja mereka sebelum ditugasi oleh Allah telah mendapat pengajaran
terlebih dahulu dan mendapatkan bekal yang diperlukan untuk melaksanakan tugas
pembimbingan.
Menurut Rasulullah Saw, bahwa jajaran petugas-petugas Allah Swt memimpin
dan membimbing umat adalah para Nabi, para Rasul, dan para Khalifah Allah
(Khulafaur Rasyidin al Mahdiyyin) yakni Khalifah Allah dan Khalifah Rasulullah
yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk dari Allah Swt, Nabi bersabda :
Dari Abu Hurairah ra. menyatakan: Rasulullah Saw bersabda: “Dahulu kaum
Bani Isra’il dipimpin oleh para Nabi. Setiap seorang nabi meninggal dunia, maka
diganti seorang nabi lainnya. Maka sesungguhnya tidak ada nabi yang
menggantikan setelah aku meninggal dunia, Namun yang menggantikanku adalah
khalifah-khalifah. Maka mereka banyak mempunyai pengikut-pengikut ”, Sahabat
bertanya, “Wahai Rasul apa yang engkau perintahkan pada kami?” Rasul menjawab,
“Laksanakan baiat seperti baiat pertama kali di hadapan mereka dan tunaikan
hak-hak mereka, Kalian mintalah kepada Allah yang menjadi bagian kalian, karena
Allah Ta’ala menanyakan tentang apa yang mereka pimpin.” (HR. Bukhari Muslim).
Pengertian Mursyid secara terbatas pada kalangan sufi dan ahli thareqat
adalah orang yang pernah membaiat dan menalqin atau mengajari kepada murid
tentang teknik-teknik bermunajat kepada Allah berupa teknik dzikir atau
beramalan-amalan saleh.
Mursyid adalah guru yang membimbing kepada murid untuk berjalan menuju
Allah Swt dengan menapaki jalannya. Dengan bimbingan guru itu, murid meningkat
derajatnya di sisi Allah, mencapai Rijalallah, dengan berbekal ilmu syariat dan
ilmu hakikat yang diperkuat oleh al Qur’an dan as sunah serta mengikuti jejak
ulama pewaris nabi dan ulama yang telah terdidik oleh mursyid sebelumnya dan
mendapat izin dari guru di atasnya untuk mengajar umat. Guru yang dimaksud
adalah guru yang hidup sezaman dengan murid dan mempunyai tali keguruan sampai nabi
Muhammad Saw. Guru yang demikian itu adalah yang sudah Arif Billah, tali
penyambung murid kepada Allah, dan merupakan pintu bagi murid masuk kepada
istana Allah. Dengan demikian guru merupakan faktor yang penting bagi murid
untuk mengantarkannya menuju diterimanya taubat dan dibebaskannya dari
kelalaian.
Dalam perjalanan menuju Allah Swt, murid wajib baginya menggunakan
mursyid atau pembimbing. Syekh Abu Yazid al Busthomi berkata :
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ
يُرْشِدُهُ فَمُرْشِدُهُ شَيْطَان
“Orang yang tidak mempunyai syeikh mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan”.
“Orang yang tidak mempunyai syeikh mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan”.
Muhammad Amin al Kurdi dalam kitanya yang bejudul Tanwirul Qulub fi
mu’amalati ‘alamil ghulub menjelaskan bahwa pada saat murid ingin meniti jalan
menuju Allah (thareqatullah), ia harus bangkit dari kelalaian. Perjalanan itu
harus didahului dengan taubat dan segala dosa kemudian ia melakukan amal saleh.
Setelah itu ia harus mencari seorang guru mursyid yang ahli keruhanian yang
mengetahui penyakit-penyakit kejiwaan dari murid-muridnya. Guru tersebut hidup
semasa dengannya. Yaitu seorang guru yang terus meningkatkan diri ke berbagai
kedudukan kesempurnaan, baik secara syariat maupun hakikat. Perilakunya juga
sejalan dengan al Qur’an dan al Sunnah serta mengikuti jejak langkah para ulama
pendahulunya. Secara berantai hingga kepada Nabi Saw. Gurunya itu juga telah
mendapat lisensi atau izin dari kakek gurunya untuk menjadi seorang mursyid dan
pembimbing keruhanian kepada Allah Swt, sehingga murid berhasil diantarkan
kepada maqam-maqam dalam tasawuf dan thareqat. Penentuan guru ini juga tidak
boleh atas dasar kebodohan dan mengikuti nafsu. (Amin al Kurdi, Tanwirul Qulub,
hlm.524)
Sebelum ia menjadi mursyid yang arif billahi, seseorang harus mendapat tarbiah atau pendidikan dari guru yang selalu mengawasi perkembangan ruhani murid, sehingga murid mencapai maqam ‘shiddiq’. Kemudian diizinkan oleh guru untuk membaiat kepada calon murid dengan mengajari mereka.
Sebelum ia menjadi mursyid yang arif billahi, seseorang harus mendapat tarbiah atau pendidikan dari guru yang selalu mengawasi perkembangan ruhani murid, sehingga murid mencapai maqam ‘shiddiq’. Kemudian diizinkan oleh guru untuk membaiat kepada calon murid dengan mengajari mereka.
Tampilnya menjadi mursyid itu bukan kehendak dirinya tapi kehendak
gurunya, dengan demikian orang yang memunculkan dirinya sebagai mursyid tanpa
seizin guru maka ia sangat membahayakan kepada calon muridnya. Murid yang di
bawah bimbingannya itu akan mengalami keterputusan. Berarti mursyid yang palsu
ini menjadi penghalang muridnya menuju Allah dan dosa-dosa mereka akan
ditanggung oleh mursyid jadi-jadian itu. (Amin al Kurdi: tt, hlm. 525)
Seluruh pembelajaran dan pengajaran serta bimbingan mesti bersesuaian dengan isi, terutama bagian dalam al Qur’an dan al Sunnah serta sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh nabi dan ulama pewarisnya. Orang yang menyandang demikian itulah yang layak dicontoh / diteladani oleh murid-muridnya, syaikh Imam Junaid al Baghdadi mengatakan :
Seluruh pembelajaran dan pengajaran serta bimbingan mesti bersesuaian dengan isi, terutama bagian dalam al Qur’an dan al Sunnah serta sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh nabi dan ulama pewarisnya. Orang yang menyandang demikian itulah yang layak dicontoh / diteladani oleh murid-muridnya, syaikh Imam Junaid al Baghdadi mengatakan :
عَلِمْنَا
هَذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَمَنْ لَمْ يَقْرَإِ اْلكِتَابَ
وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيْثَ وَلَمْ يَجْلِسِ اْلعُلَمَاءَ لاَ يُقْتَدَى فِى
هَذَا الشَّأْنِ
“Ilmu kami diperkuat dengan dalil-dalil al Qur’an dan al Hadits, maka
siapa yang tidak membaca al Qur’an dan tidak menulis hadits, serta tidak duduk
sering-sering dengan ulama, maka ia tidak layak menjadi panutan di dalam
perkara-perkara (thareqat) ini”.
Dengan keterangan di atas, mursyid semestinya adalah orang yang
tergolong ulama, pemimpin umat yang bersifat kamil lagi mukammil yakni
pribadinya bersih dan suci serta berakhlak yang terpuji, dan mampu
menyempurnakan akhlak murid-muridnya. Mursyid adalah kuat keyakinannya dan
menjadi kekasih Tuhan, membawa berkah untuk umatnya serta rahmat bagi kaumnya.
Ia mengetahui berbagai penyakit ruhani dan jasmani muridnya, mampu menyembuhkan
penyakit-penyakit tersebut atau mampu mengajarkan teknik-teknik penyembuhan dan
pengobatan jasmani dan ruhani. Mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang
rumit yang membelenggu umat dengan kekeramatan dan maunah yang diberikan oleh
Allah kepadanya.
- 6. Kemampuan dan syarat syarat Musyid
Idealnya seorang guru mursyid atau syaikh dalam thareqat memenuhi kemampuan-kemampuan
dan harapan di mata muridnya sebagai berikut :
- Syaikh al Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam thareqat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum tuhan, sehingga dari syaikh itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total.
- Syaikh al Iqtida’, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru oleh murid, demikian pula perkataan dan perbuatannya seyogyanya diikuti.
- Syaikh at Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka.
- Syaikh al Intisab, ialah guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, maka orang yang meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan.
- Syaikh at Talqin, adalah guru keruhanian yang mengajar setiap individu anggota thareqat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang.
- Syaikh at Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para pemula dari pengamal thareqat.
Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad,
ditegaskan, — dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan
asy-Syadzily ra, — bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak –
minimal –ada lima:
- Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
- Memiliki pengetahuan yang benar.
- Memiliki cita (himmah) yang luhur.
- Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
- Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu
tindakan berikut:
- Bodoh terhadap ajaran agama.
- Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
- Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
- Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
- Berakhlaq buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya
mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah
satu dari lima karakter di bawah ini maka, orang ini adalah seorang pendusta
ruhani:
- Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
- Mempermainkan thaat kepada Allah.
- Tamak terhadap sesama makhuk.
- Kontra terhadap Ahlullah
- Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu
kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu
pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada
Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah
berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada
Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.
Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid
yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya. Dari kalimat ini
menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para
muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula
mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini,
dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat
membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah
guru yang hakiki dalam dunia sufi.
Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka
secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
- Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
- Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
- Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
- Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
- Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.
Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah. Perwujudan atas
Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan
perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara
perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan
perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa
syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan
bencana.
Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
- Himmah yang tinggi,
- Menjaga kehormatan,
- Bakti yang baik,
- Melaksanakan prinsip utama; dan
- Mengagungkan nikmat Allah Swt.
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi
hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas,
sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju
kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh
Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum
sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai
kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir
as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh.
Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak
sehebat Khidir dalam soal batiniyah.
Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan
antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh
Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang
berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul
Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.
- 7. Tahapan-tahapan Tarekat
Empat tingkatan spiritual
Bagan yang menggambarkan kedudukan tarekat dalam empat tingkatan
spiritual (syari’ah, tariqah,
haqiqah, dan ma’rifah yang dianggap tidak terlihat)
Kaum sufi berpendapat bahwa terdapat empat tingkatan spiritual umum
dalam Islam, yaitu syari’at, tariqah, haqiqah, dan
tingkatan keempat ma’rifat yang merupakan tingkatan yang ‘tak terlihat’.
Tingkatan keempat dianggap merupakan inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi
dari seluruh tingkatan kedalaman spiritual beragama tersebut.
Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi;
yaitu amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah
merupakan latihan kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang,
maupun secara bersama- sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk
mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqaamaat” dan
“Al-Akhwaal”, meskipun kedua istilah ini ada segi perbedaannya. Latihan
kerohanian itu, sering juga disebut “Suluk”, maka pengertian Tarekat dan Suluk
adalah sama, bila dilihat dari sisi amalannya (prakteknya). Tetapi kalau
dilihat dari sisi organisasinya (perkumpulannya), tentu saja pengertian Tarekat
dan Suluk tidak sama
Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat dibedakan
dari dua segi:
a) Tingkat
kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh dengan cara pengamalan
ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan ahwaal, di samping dapat
diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat juga diperoleh manusia hanya
karena anugrah semata-mata dari Tuhan, meskipun ia tidak pernah mengamalkan
ajaran Tasawuf secara sungguh-sungguh.
b) Tingkatan
kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau bertahan lama, sedangkan
ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia, dan sering pula
hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan bahwa maqam dan
ahwaal sama pengertiannya, namun penulis mengikuti pendapat yang membedakannya
beserta alasan-alasannya.
Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama
Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada
tujuh, sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh. Adapun tingkatan maqam
menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan sebagai berikut:
- Tingkatan Taubat (At-Taubah); T
a) Tingkatan
pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh, serta yang syubhat
(Al-Wara’);
b) Tingkatan
meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu).
c) Tingkatan
memfakirkan diri (Al-Faqru).
d) Tingkatan
Sabar (Ash-Shabru).
e) Tingkatan
Tawakkal (At-Tawakkul).
f) Tingkatan
kerelaaan (Ar-Ridhaa).
- Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat dikemukakan sebagai berikut;
a) Tingkatan Pengawasan
diri (Al-Muraaqabah)
b) Tingkatan
kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu)
c) Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
d) Tingkatan takut (Al-Khauf)
e) Tingkatan harapan
(Ar-Rajaa)
f) Tingkatan kerinduan
(Asy-Syauuq)
g) Tingkatan kejinakan atau
senang mendekat kepada perintah Allah (Al-Unsu).
h) Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan)
i) Tingkatan
Perenungan (Al-Musyaahaah)
j) Tingkatan
kepastian (Al-Yaqiin).
- B. TAREKAT QODIRIYAH DAN AJARANNAYA
- 1. Tokoh Pendiri Tarekat Qodiriyah Dan Perkembanganya
Tarekat Qodiriyah adalah nama
sebuah tarekat yang
didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al
Baghdadi QS. Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian
diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Suriah, Turki, Mesir, India,
Kamerun,Kongo,Mauritania & Tanzania,& wilayah Asia tengah,serta di
tempat2 la,. Di indonesia,tradisi tarekat ini jg masih melekat di masyarakat
kita.Syekh Abdul Qadir al-jailani merupakan tokoh yg sgt masyhur.Namanya selalu
disebut dlm tradisi Tawasul acara2 keagamaan. Tarekat ini sudah berkembang
sejak abad ke-13. Namun
meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia
pada abad ke 15 M. Di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang
bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost
al-Jaelani. Lahir di Nif, distrik Gilan, sebelah selatan Laut Kaspia.tahun 470
H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah
meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak
diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad
al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, dia
tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf
al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab
pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir
Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan
akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu
dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai
wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya
Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214
M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603
H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan
Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir,
India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat
ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang
setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani.
Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua).
Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini
adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Salsilah
tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina Muhammad Rasulullah SAW, kemudian
turun temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina
Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra,
Sayidina Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja’far As Shodiq ra, Syaikh
Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa Al Rido, Syaikh
Ma’ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim
Al Junaidi Al-Baghdadi, Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul
Wahid At-Tamimi, Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari,
Syaikh Abu Sa’id Mubarok Al Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir
Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai
derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus
mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang
lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir
Jaelani sendiri, “Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia
jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat
yang masuk dalam kategori Qodiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan
lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki terdapat tarekat
Hindiyah, Khulusiyah,dal lain-lain. Dan di Yaman ada tarekat
Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah. Sedangkan di Afrika diantaranya terdapat tarekat
Ammariyah, Tarekat
Bakka’iyah, dan lain sebagainya.
Di Indonesia, pencabangan tarekat Qodiriyah ini secara khusus oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi digabungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah menjadi tarekat Qodiriyah
Wa Naqsyabandiyah . Kemudian garis salsilahnya
yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Kaim Tanara Al-Bantani berkembang pesat
di seluruh Indonesia.
Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani ini berasal dari Banten dan merupakan ulama Indonesia pertama yang menjadi Imam Masjidil Haram.
Selanjutnya jalur salsilahnya berlanjut ke Syaikh Abdullah Mubarok Cibuntu atau
lazim dikenal sebagai Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten. Terus berlanjut ke Syaikh Nur Annaum Suryadipraja bin Haji Agus
Tajudin yang berkedudukan di Pabuaran Bogor. Selanjutnya garis salsilah ini saat ini berlanjut ke Syaikh Al Waasi
Achmad Syaechudin.
Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin selain mempunyai sanad dari tarekat Qodiriyah
Wa Naqsyabandiyah juga khirkoh dari tarekat
Naqsyabandiyah dari garis salsilah Syaikh
Jalaludin. Ia sampai dengan hari ini meneruskan tradisi tarekat Qodiriyah
Wa Naqsyabandiyah dengan kholaqoh dzikirnya
yang bertempat di Bogor Baru kotamadya Bogor propinsi Jawa Barat.
‘Jalan’ ini diadakan oleh para pengikut Abdul Qadir dari Gilan dan
menggunakan terminologi sangat sederhana yang kemudian hari digunakan oleh orang-orang
Rosicrucia di Eropa. Semua kaum darwis menggunakan bunga mawar (ward) sebagai
suatu lencana dan simbol dari persamaan bunyi (rima) dari kata wird (latihan
konsentrasi-mengingat Allah).
Abdul Qadir, pendiri tarekat Qadiriyah, termasuk dalam suatu peristiwa
yang memberinya julukan Mawar dari Baghdad. Hal itu dikaitkan bahwa Baghdad
telah demikian penuh dengan para guru kebatinan (mistik), ketika Abdul Qadir
tiba di kota, maka diputuskan untuk mengiriminya sebuah pesan. Kaum mistik oleh
karena itu mengirimkan kepadanya, di pinggiran kota, sebuah bejana yang diisi
penuh dengan air. Maksudnya sudah jelas: “Cawan Baghdad sudah penuh”. Meski
musim kemarau dan di luar musim, Abdul Qadir telah menghasilkan bunga mawar
yang berkembang penuh, yang dia letakkan di atas air dalam bejana tersebut,
menunjukkan kekuatannya yang luar biasa dan juga bahwa masih ada tempat bagi
dirinya.
Ketika tanda-tanda ini telah dibawa kepada mereka, kumpulan kaum
kebatinan tersebut berteriak, “Abdul Qadir adalah mawar kami,” dan mereka pun
cepat-cepat mengantarkannya ke kota.
- 2. Ajaran Tarekat Qodiriyah
Adapun pengertian Tareqat Qodiriyah ialah : seperti yang telah dikatakan
oleh Prof.Dr.Hamka,”tharekat-tharekat itu berdiri sendiri, dibawah pimpinan
syekh dan memakai nama dibangsakan kepada syekh-syekhnya itu. Yang sangat
terkenal ialah tareqat Qodiriyah yang didirikan dan dibangsakan kepada sayyid
Abdul Qodir Jailani di negeri Baghdad.”.
Menurut Huston Smith dalam The Concise Encyclopedia of Islam, bahwa
Syekh Abdul Qodir Jailani adalah peletak dasar-dasar tareqat Qodiriyah.tariat
ini adalah yang pertama lahir dengan memiliki bentuk dan karakteristik
tersendiri.Menurut keterangan lain bahwa tareqat ini lahir setelah wafatnya
Syekh Abdul Qodir Jailani dan dibangun oleh orang-orang yang menganut dan
meneruskan ajarannya. Dengan kata lain dia tidak mendirikan tareqat Qodiriyah.
Tareqat Qodiriyah bermula dari ribath dan madrasah Syekh Abdul Qodir
Jailani, tempat dia menyampaikan ajaran-ajaran tasawufnya. Dia memimpin tempat
tersebut sejak tahun 521 H hingga wafatnya tahun 561 H .setelah itu ribath
diteruskan kepemimpinannya oleh anak-anaknya kemudian dilanjutkan oleh
murid-muridnya dengan zawiyah sebagai pusat kegiatannya, yaitu suatu tempat
dimana para sufi melatih diri dalam bertasawuf.Dari zawiyah inilah tareqat
Qodiriyah mengalami perkembangan pesat.
Ditempat tersebut para murid mendapatkan ajaran dan pembinaan ruhani
yang sesuai dengan ajarannya, bagi murid yang sudah tamat akan diberikan ijazah
yang berupa Khirqah dengan melakukan janji untuk meneruskan ajarannya yang
telah didapat. Bagi Syekh Abdul Qodir Jailani sendiri tentang perolehan khirqah
tidak terlalu penting, pembentukan jiwa sufi lebih utama dan dianggap cukup.
Murid-muridnya banyak memegan peran penting dalam penyebaran ajaran
tasawufnya.ada beberapa nama muridnya yang diketahui menyebarkan ajaranya yaitu
: Muhammad ibn Abd al-Samad di Mesir, Muhammad al-Bata’ihi dan Taqiy al-Dina
al-Yunini di Suriah, dan Ali al-Hadad di Yaman. Pada abad ke-15,tarekat ini
masuk dan berkembang di anak benua India.
Perkembangan yang sama terjadi di Afrika Utara.Pada tahun 1550 M,
tarekat ini tersebar di Afrika Timur.Pada abad ke-17, tarekat ini mulai masuk
ke Turki.Penyebar didaerah ini bernama Ismail Rumi (wafat 1631 atau 1643 M),
dia kira-kira mendirikan 40 pusat tarekat di Istambul dan sekitarnya. Tareqat
Qodiriyah tersebar di Asia Kecil dan Eropa Timur, setelah beberapa desawarsa
kemudian di Indonesia tareqat ini adalah yang pertamakali masuk menurut
sumber-sumber yang ada di Indonesia.Orang yang pertama menganut tarekat
Qodiriyah dari Indosesia ialah Hamzah Fansuri (wafat sekitar 1590 M) dia masuk
tarekat Qodiriyah antara Baghdad dan Syahr-I Naw (Ayuthia, ibukota Muangrtai).
Hamzah memperoleh ilmu Syekh Abdul Qodir Jailani melalui jalan ruhani.setelah
Hamzah Fansuri tarekat ini berkembang di Aceh.Syekh Yusuf Makasari adalah orang
yang masuk tarekat didaerah tersebut. Tarekat Qodiriyah di Aceh berhubungan
dengan tarekat yang lahir di India (Gujarat)tarekat di Indonesia juga mendapat
pengaruh dari Yaman.
Di Indonesia tarekat Qodiriyah bergabung dengan tarekat Naksabandiyah.
Pengabungan kedua tarekat ini dilakukan oleh tokoh asal Indonesia, Ahmad Khatib
ibn Abd Al-Ghaffar Sambas, yang bermukim dan mengajar di Mekkah pada
pertengahan abad ke-19 berasal dari Kalimantan barat, akan tetapi meninggal di
Mekkah tahun 1878 M.
Diantara murid-murid Ahmad Khatib ialah: Abd Al-Karim dari Banten, sebagai orang yang menyebarkan dan mempopulerkan tarekat Qodiriyah-Naqsabandiyah didaerah ini dan Syekh Tolhah dari Cirebon yang mempunyai murid bernama Abdullah Mubarak.mengenai murid syekh Tholhah yang dikenal sebagai pendiri Pesantren Suryalaya ini, penulis buku tarekat Naqsabandiyah di Indonesia.Martin Van Bruinessen mengatakan:
Diantara murid-murid Ahmad Khatib ialah: Abd Al-Karim dari Banten, sebagai orang yang menyebarkan dan mempopulerkan tarekat Qodiriyah-Naqsabandiyah didaerah ini dan Syekh Tolhah dari Cirebon yang mempunyai murid bernama Abdullah Mubarak.mengenai murid syekh Tholhah yang dikenal sebagai pendiri Pesantren Suryalaya ini, penulis buku tarekat Naqsabandiyah di Indonesia.Martin Van Bruinessen mengatakan:
“ Khalifah dari Kiyai Tolhah Cirebon yang paling penting ialah Abdallah
Mubarak, belakang dikenal sebagai Abah sepuh.Abdallah melakukan baiat ulang
dengan Abd Karim Banten di Mekkah, dan pada tahun 1905M mendirikan pesantren
Suryalaya di Pangerageung, dekat Tasikmalaya ( Jawa Barat ).Dibawah pimpinan
putranya dan penerusnya Abah Anom (atau lebih gagah ,K.H.A. Shahibilwafa Tadjul
Arifin) pesantren ini menjadi lebih terkenal secara nasional karena pengobatan
yang dilakukan terhadap para korban Narkotika, penderita gangguan kejiwaan dan
macam-macam penyakit lainya dengan mengamalkan dzikir tarekatnya. Abah Anom
banyak mendapatkan patronase dari para pejabat tinggi dari Golkar yang telah
dimasukinya hamper sejak permulaan berdirinya organisasi tersebut. Khalifahnya
ada diseluruh jawa di Singapura di Sumatra Timur, Kalimantan Barat dan Lombok.
Zikir kepada Allah dengan mengucap Laailaaha illallah , adalah amalan
utama di Pondok Pesantren Suryalaya sejak masa Abah Sepuh hingga Abah
Anom.zikir tersebut diamalkan setelah shalat wajib sebanyak 165 kali atau
lebih.diluar shalat wajib ,zikir tersebut tidak dilarang untuk diamalkan,bahkan
dianjurkan.zikir ini dinamakan zikir Jahar, yakni zikir yang diucapkan dengan
suara keras.zikir yang lain yaitu Zikir Khafi, yaitu zikir yang dibaca dalam
hati.ini juga menjadi amalan pokok sebagai realisasi tarekat
Qadiriyah-Naqsabandiyah.
Zikir pokok tarekat Qadiriyah yaitu membaca Istighfar paling sedikit dua
kali atau duapuluh kali dengan lafadz Astaghfir Allah al-ghafur al-Rahim.
Kemudian membaca shalawat sebanyak itu pula dengan lafadsz Allahuma shali’ala
sayyidina Muhammad wa’ala alihi wa shahbihi wa sallim. Setelah itu membaca La
ilaha illallah seratus enampuluh kali setelah selesai shalat fardhu. Pengucapan
lafadz Lailaha illallah memiliki cara tersendiri, yaitu kata la dibaca sambil
dibayangkan dari pikiran ditarik dari pusat hingga otak, kemudian kata ilaha
dibaca sambil menggerakkan kepala kesebelah kanan, lalu kata illallah dibaca
dengan keras sambil dipukulkan kedalam sanubari, yaitu kebagian sebelah kiri.
Setelah selesai melakukan zikir itu lalu membaca Sayyidina Muhammad Rasul Allah
Shalallah ‘alaihi wa sallam.lalu membaca shalawat Allahuma shalli’ala sayyidina
Muhammad shalatan Tunjina biha min jami al-ahwal wa al-afat hingga
akhirnya.kemudian membaca surat Al-Fatihah ditujukan kepada Rasulullah SAW dan
kepada seluruh Syekh-syekh tarekat Qadiriyah serta para pengikutnya juga
seluruh oragn islam baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.
Sebelum dan ketika melakukan zikir tersebut seorang murid membayangkan
wajah guru(mursyid) didepanya dan limpahan karunia Allah kepada Nabi dan Syekh.
Bagi setiap orang yang menganut tarekat Qadiriyah harus berpegang kepada akidah para sahabat, tabi’in dan tabi;it tabi;in yaitu yang disebut akidah al-salaf al-salih. Berpedoman kepada Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW, agar dalam menjalani tarekat tidak tersesat. Bagi pemula (mubtadi, agar memiliki sifat bersih hati, jernih muka, suka memberi kebajikan, menghapus kejahatan, sabar dalam kekafiran, menjaga kehormatan syekh, bergaul baik sesame ikhwan, memberi nasihat kepada orang kecil dan orang besar, menjauhi permusuhan dan berkorban dalam masalah agama dan dunia.
Bagi setiap orang yang menganut tarekat Qadiriyah harus berpegang kepada akidah para sahabat, tabi’in dan tabi;it tabi;in yaitu yang disebut akidah al-salaf al-salih. Berpedoman kepada Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW, agar dalam menjalani tarekat tidak tersesat. Bagi pemula (mubtadi, agar memiliki sifat bersih hati, jernih muka, suka memberi kebajikan, menghapus kejahatan, sabar dalam kekafiran, menjaga kehormatan syekh, bergaul baik sesame ikhwan, memberi nasihat kepada orang kecil dan orang besar, menjauhi permusuhan dan berkorban dalam masalah agama dan dunia.
Selain persyaratan tersebut diatas,setiap orang yang hendak mengikuti
tarekat Qadiriyah harus menjalani dua tahapan.
Pertama , yaitu tahap permulaan yang terdiri dari :
1.Mengikuti dan menerima bay’at guru sebagai pertemuan pertama antara guru dan murid.
2.Penyampaian wasiat oleh guru kepada Murid.
3.Pernyataan guru membay’at muridnya diterima menjadi murid dengan lafadz tertentu.
4.Pembacaan do’a oleh guru yang terdiri dari do’a umum dan do’a khusus.
5.Pemberian minum oleh guru kepada murid sambil dibacakan beberapa ayat Al-Quran.
Setelah pemberian minum tersebut ,maka selesailah tahap permulaan.dan dengan demikian maka resmilah seorang murid menjadi pengikut tarekat Qadiriyah.
Pertama , yaitu tahap permulaan yang terdiri dari :
1.Mengikuti dan menerima bay’at guru sebagai pertemuan pertama antara guru dan murid.
2.Penyampaian wasiat oleh guru kepada Murid.
3.Pernyataan guru membay’at muridnya diterima menjadi murid dengan lafadz tertentu.
4.Pembacaan do’a oleh guru yang terdiri dari do’a umum dan do’a khusus.
5.Pemberian minum oleh guru kepada murid sambil dibacakan beberapa ayat Al-Quran.
Setelah pemberian minum tersebut ,maka selesailah tahap permulaan.dan dengan demikian maka resmilah seorang murid menjadi pengikut tarekat Qadiriyah.
Kedua, tahap perjalanan, maksudnya ialah tahap murid menuju Allah
melaluyi bimbingan guru. Murid harus melalui tahap dalam waktu yang
bertahun-tahun sebelum ia memperoleh karunia Allah yang dilimpahkan
kepadanya.selama perjalanan itu,murid masih menerima ilmu hakikat dari
gurunya.selain itu dia dituntut untuk berbakti kepadanya, dan menjauhi
larangannya.murid harus terus berjuang untuk melawan nafsunya dan melatih diri
(mujahadah dan Riyadhah ).
Apabila murid telah berhasil melalui tahapan tersebut, maka guru
memberikan ijazah dan memberikan talqin tauhid kepada muridnya, dengan telah
diterima ijazahnya maka murid menyandang gelar guru atau syekh dalam tarekat
Qadiriyah. Seorang murid yang telah menjadi syekh sudah tidak terikat lagi
dengan gurunya, akan tetapi dia masih boleh untuk mengikutinya. Dan berdasarkan
petuah Syekh Abdul Qodir Jailani bahwa murid yang telah menjadi syekh boleh
mandiri dan yang menjadi walinya adalah Allah.
Mengenai corak tarekat Qodiriyah ,Syekh Ali ibn al-Haiti ra. Memberikan
komentar,”Tarekat adalah tauhid semata dan pentauhidan diri serta
menghadirkannya dalam segala sikap ubudiyah dengan melepaskan dari segala
sesuatu dan untuk sesuatu”. Selain itu syekh Abdi ibn Musafir ra. Juga
memberikan komentar ”Tarekatnya adalah kepasrahan kepada alur-alur takdir
dengan keselarasan hati dan ruh, pernyataan lahir dan batin, dan pembersihan
jiwa dari sifat-sifat kedirian(nafs) serta mengasingkannya dari memandang
manfaat, mudharat, kedekatan dan rasa jauh”.
Adapun pokok-pokok ajaran Tarekat Qadiriyah yaitu ada lima macam, pertama Tinggi cita-cita, Kedua Memelihara kehormatan Ketiga Memelihara nikmat, Keempat Melaksanakan maksud dan Kelima Mengagungkan nikmat.
Adapun pokok-pokok ajaran Tarekat Qadiriyah yaitu ada lima macam, pertama Tinggi cita-cita, Kedua Memelihara kehormatan Ketiga Memelihara nikmat, Keempat Melaksanakan maksud dan Kelima Mengagungkan nikmat.
Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran
agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat
menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira’
di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk
mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari
ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang
kompleks tersebut.
Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus
diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah
kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada
Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana
dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani
dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari
Allah Swt.
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561
H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi
Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di
Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan
menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di
Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang
menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, dia tetap belajar
sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535
H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab
pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir
Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan
akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu
dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai
wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya
Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214
M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603
H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan
Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir,
India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat
ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang
setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani.
Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua).
Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai
derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus
mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang
lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir
Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi
mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat
yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang
berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah
(1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di
India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631
M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah,
Mushariyyah, ‘Urabiyyah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla’iyah. Sedangkan
di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’ Aliyya, Manzaliyah dan
tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir
Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah
keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada
tahun 1492 M dan makam mereka disebut “Syurafa Jilala”.
Dari ketauladanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada
Allah swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah
menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan
mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus
mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk
kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa
Allah” dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah
contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi
Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai
melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan Subuh),
diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga
kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar
shalat agar berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat “Laa Ilaha Illa Allah” kita
harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak. Kemudian
disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa
Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang
sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan
menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang
tercela.
Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat
mu’tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki
keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai
ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya’ sahabat
Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid,
ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran
sahabat Abdillah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli
adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi
Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh
Mu’ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli
berdagang adalah Abdurrahman bin A’uf dan sebagainya.
Bai’at
Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti
Pertama, adanya pertemuan guru (syeikh) dan murid,
murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan
dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw.
Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru
mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan “infahna binafhihi
minka” dan dilanjutkan dengan ayat mubaya’ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru
mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai
ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru
berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum.
Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan
bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu
berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang
keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga
memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.
Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti “jalan” sama seperti syariah,
sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan
ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan
itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16,
Èq©9r&ur (#qßJ»s)tFó™$# ’n?tã Ïps)ƒÌ©Ü9$# Nßg»oYø‹s)ó™V{ ¹ä!$¨B
$]%y‰xî ÇÊÏÈ
Artinya :” Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah,
maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati)
yang melimpah ruah”. (QS. Al Jin : 16)
Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik
perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap
ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat
untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut
hal-hal yang bersifat “rahasia” yang bobot kerohaniannya berat, sehingga
membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus
melalui guru (mursyid) dengan bai’at dan guru yang mengajarkannya harus
mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti
terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di
dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.
Qodiriyah di Indonesia
Seperti halnya tarekat di Timur Tengah. Sejarah tarekat Qodiriyah di
Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah menyebar
ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren
Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa
Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.
Syeikh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas
yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran
tarekat Qodiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah
pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut.
Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama
ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie
Schimmel dalam bukunya “Mystical Dimensions of Islam” hal.236 yang menyebutkan
bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan
lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat
dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani yang seringkali disertai harapan
yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19
dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering berontak.
Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena
pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Dari hasil penyelidikan
(Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat
Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH Marzuki, adalah
pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891
pemberontakan yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat
(NTB) dan pada tahun 1903 KH Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH Khasan
Tafsir dari Krapyak Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.
Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat
Qodiriyah adalah organisasi tebrbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri
di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadariyah
Naqsabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.
Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab
Miftahus Shudur yang ditulis KH Ahmad Shohibulwafa Tadjul Arifin (Mbah Anom) di
Pimpinan Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya
menempati urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali
ra, Abdul Qadir Jilani dan Syeikh Khatib Sambas ke-34.
Sama halnya dengan silsilah tarekat almrhum KH Mustain Romli, Pengasuh
Pesantren Rejoso Jombang Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Khatib Sambas
ke-35. Bahwa beliau mendapat talqin dan baiat dari KH Moh Kholil Rejoso
Jombang, KH Moh Kholil dari Syeikh Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim
dan arifillah (telah mempunyai ma’rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di
Kampung Suqul Lail.
Silsilahnya.
1. M Mustain Romli, 2, Usman Ishaq, 3. Moh Romli Tamim, 4. Moh Kholil,
5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura, 6. Abdul Karim, 7. Ahmad Khotib Sambas
ibn Abdul Gaffar, 8. Syamsuddin, 9. Moh. Murod, 10. Abdul Fattah, 11.
Kamaluddin, 12. Usman, 13. Abdurrahim, 14. Abu Bakar, 15. Yahya, 16.
Hisyamuddin, 17. Waliyuddin, 18. Nuruddin, 19. Zainuddin, 20. Syarafuddin, 21.
Syamsuddin, 22. Moh Hattak, 23. Syeikh Abdul Qadir Jilani, 24. Ibu Said
Al-Mubarak Al-Mahzumi, 25. Abu Hasan Ali al-Hakkari, 26. Abul Faraj al-Thusi,
27. Abdul Wahid al-Tamimi, 28. Abu Bakar Dulafi al-Syibli, 29. Abul Qasim
al-Junaid al-Bagdadi, 30. Sari al-Saqathi, 31. Ma’ruf al-Karkhi, 32. Abul Hasan
Ali ibn Musa al-Ridho, 33. Musa al-Kadzim, 34. Ja’far Shodiq, 35. Muhammad
al-Baqir, 36. Imam Zainul Abidin, 37. Sayyidina Husein, 38. Sayyidina Ali ibn
Abi Thalib, 39. Sayyidina Nabi Muhammad saw, 40. Sayyiduna Jibril dan 41. Allah
Swt. Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang
disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di
antara para kiai itu sendiri.
Cara Mengamalkan Zikir Tarekat Qodiriyah
CONTOH :
Assalamualikum Warahmatullahi Wabaraakatuh
Wamaghfirah Kepada Saudara ikhwan Muslimin dunia dan Akhirat Jika ingin
Membaca Amalan yang Saya tulis Nama, alamat, dan usia dan konfirmasi ke
085885865599 dan Tata caranya seperti Dibawah ini :
Mandi Taubat dengan Niat Nawaitu Gushla Tobatan sunnatan
Lillahita’ala
Apabila ingin puasa sebaiknya 3 hari mulai hari Rabu, kamis dan
jumat dengan niat Nawaitu saum sunnah lillahita’ala
Sebelum Berzikir Baca Hadiah kepada:
Bismillahir rahmanir rahiim
NAWAITU HADIAHTAN LILLAHI TA’ALA
1. Ila Hadrati Nabiyi Mustofa Sayyidina Muhammadin S.A.W Wa ala
Alihi, Wa ashabihi, wa Dzuriyati wa Ahli Baiti Kirom, Wa ala Jamii’i
Anbiyai wa Ulul Adziim Wal Mursaliin, Wa’khulafatur Rasidin ( Sayyidina Abu
Bakar, sayyidina Umar, Sayyidina Ustman, Sayyidina Ali R.a), Wa Arifin, Wa
Shaddiqin, Wa Syuhada’i , wal Muttaqiin, wa Sholihin…. (Alfatihah) 1 X
2. Wa Khususon Ila Hadrati Sayyidina Maulana Sultanu Auliayi Ghausi’
lahi Mahbubillahi Tajul‘Arifin wa Qutbu wasilina Syyaidi Syeckh Muhyidin Abdul
qodir Jaelani Qoddasallahu Sirohul Aziz Mahabbatan Marhabatan Nafa‘ana Bi
‘ulumihim Wa Asrorihim wabikaromahtihim Nas ‘aluka salamatan wa Barokaahtan wa
Ijazatan wa Ijabatan wa Qobulan Bisafa’atihi rasulullah SAW… (Alfatihah) 1 X
3. Tsumma Ila Hadrati Jamii’i auliyai lahi ta’ala min masyariqil
ardhi wa magharibiha min Simaliha Wa Ila Junubihim fi Bahriha Aina Makana Fi
Ilmillahi Ta’ala Qoddasallahu sirohul aziz Nafa’ana Bi’ulumihim Wa Asrorihim
Wabi Karomahtihim Nas’Aluka Salamatan Wa barokahtan wa Ijazatan Wa Ijabatan wa
Qobulan Bisafaatihi Rasulullah SAW… (Alfatihah) 1X
4.Tsumma illa Hadraati Abaa’inna Syyaidina Syaikh Abii Muhammad Abdul
Qodir Al-ina Wa jamii’il Muminin Wal Muminat Wal Muslimin Wal Muslimat Tarekat
Qodiriyah Al’Firqoh An’Najiyah Wa alihii Wa azwajihii Wa auladihii Wa
dzurriyatihi….(Al-Fatihah) 3 X
Baca Niat wirid (zikir) :
Bismillahir rahmanir rahiim Nawaitu Taqoruban ilallah ta’ala kemudian
baru baca zikir contoh : Baca zikir asma jaljalut
Yang perlu diperhatikan Zikir di baca setiap selesai setelah sholat 5
waktu semampunya, dan juga diwaktu malam dan waktu2 yang lain. InsyaAllah apa
yang kita kerjakan semata-mata mencari rahmat, ridho dan Cinta-Nya Allahul
adzim.
Penutup Baca Shalawat, apa saja di sarankan shalawat fatih, Nurildzati
atau shalawat bani hasyim. Wabillahi Taufik Wal hidayah wal inayah wal
maghfirah
Zikir asma jaljalut sbb :
Bismillahir Rahmanir Rahiim
‘Uluwiyah , berisi Bab Takabur karena Harta ( 1266 H ) ;
Rujumiyah , berisi Bab Sholat Jum’ah ( 1266 H ) ;
Mufhamah , berisi Bab Mukmin dan Kafir ( 1266 H ;
Basthiyah , berisi Bab Ilmu Syariat ( 1267 H ) ;
Tahsinah , berisi Bab Ilmu Tajwid ( 1268 H ) ;
Tadzkiyah , berisi Bab Menyembelih Binatang ( 1269 H );
Fatawiyah , berisi Bab Cara Berfatwa Agama ( 1269 H ) ;
Samhiyah , berisi Bab Sholat Jum’ah ( 1269 H ) ;
Rukhsiyah , berisi Bab Sholat Jama’ – Qosor dan Sholat Musafir ( 1269 H
) ;
Maslahah , berisi Bab Pembagian Warisan Islami ( 1270 H ) ;
Wadlihah , berisi Bab Manasikh Haji ( 1272 H ) ;
Munawirul Himmah , berisi Bab Wasiat Kepada Manusia ( 1272 H ) ;
Surat kepada R. Penghulu Pekalongan ( 1273 H );
Tansyirah , 10 Wasiyat Agama ( 1273 H );
Mahabbatulloh , berisi Bab Nikmatulloh ( 1273 H ) ;
Mirghabut Tha’ah* , berisi Iman dan Syahadah ( 1273 H ) ;
Hujahiyyah , berisi Bab Tata Cara Berdialog ( 1273 H ) ;
Tashfiyah , Bab Makna Fatihah ( 1273 H ) ;
500 Tanbih Bahasa Jawa , ( 1273 H ) ;
700 Nadzam Do’a dan Jawabannya ( 1270 – 1273 H ) ;
Puluhan Tanbih Rejeng , Masalah Agama ( 1273 H ) ;
Shihatun Nikah , Mukhtashar Tabyanal Islah ( 1270-an H );
Nadzam Wiqoyah ( 1270 -an H )
Kitab – Kitab , Surat Wasiat
dan Tanbih yang disusun di Ambon
Targhibul Mathlabah , Berisi Bab Ushuliddin ( 1274 H ) ;
Kaifiyatul Miqshadi , Berisi Bab Fiqih ( 1275 H ) ;
Nasihatul Haq , Bab Tasawuf ( 1275 H ) ;
Hidayatul Himmah , Bab Tasawuf ( 1275 H ) ;
60 Buah kitab Tanbih bahasa Melayu ( 1275 H );
Surat wasiat kepada Maufuro dan Murid – Murid lainnya ! ( 1275 H
) ;
Perlu diketahui bahwa kitab Tanbih terdiri dari tiga halaman folio
sebanyak 114 baris nadzam dan di dalam setiap tanbih membahas satu masalah
agama yang berbeda dengan nyang lain , berati dalam 500 tanbih terdapat 500
judul. Kalau tiap satu tanbih dapat dihitung sebuah kitab , maka kitab – kitab
karangan syeikhina Kiai Haji Ahmad Rifai ada 562 Kitab yang dikarang di Pulau
Jawa saja, kitab – kitab yang dikarang di Ambon yang terdiri dari 60 Tanbih dan
4 kitab bahasa melayu serta dua surat wasiat kepada Maufuro, jadi kalau ditotal
semua karangan Guru Besar Tarjumah ada 627 buah kitab.
Adapun data mengenai nama kitab, tahun selesai dikarang, dan kandungan
bersumber pada :
- Jadwal Kitab yang disusun oleh Kiai Ahmad Nasihun bin Abu Hasan Paesan tengah Kedungwuni Pekalongan ( 1966 M ) ;
- Kitab – kitab karangan Kiai Haji Ahmad Rifai dipulau Jawa
- Buku Sejarah Nasional karangan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo , Nugroho Notosusanto dkk. Masa Akhir Perjuangan Beliau Di Pulau Jawa.
Tahun 1272 H ( 1856 ) adalah merupakan tahun permulaan
krisis bagi gerakan Syeikhina Kiai Haji Ahmad Rifai . Hal ini disebabkan hampir
seluruh kitab karangan ( dan Hasil tulisan tangan beliau ) disita oleh
pemerintah Belanda , disamping itu para murid dan Ahmad Rifai sendiri terus – menerus
mendapat tekanan Ratu Kafir Tanah Jawa ( RKTJ Bukan GITJ ) yaitu Belanda . Sebelum Haji Ahmad Rifai diasingkan
dari kaliwungu Kendal Semarang , tuduhan yang dikenakan
hanyalah persoalan menghasut pemerintah Belanda dan membawa Haji Ahmad Rifai dipenjara beberapa hari di Kendal , Semarang dan terakhir di Wonosobo .
Maka selama di Kalisalak persidangan panjang dialaminya , menghasut ,
mendoktrin jamaah membuat Syair – Syair protes dan beberapa Kitab yang isinya
menyinggung Anti kolonial Belanda dan Kroni – kroninya serta mengkader pejuang pejuang militan di
Pesantrennya adalah selalu menjadi tuduhannya. Tuduhan itu dari wedono
Kalisalak yang meminta agar Haji Ahmad Rifai diasingkan dari Kalisalak ternyata
tidak bisa dibuktikan sebagaimana dalam surat keputusan kelima dari Gubernur
Jenderal Duymaer Van
Twist yang dibuat pada tanggal 2 Juli 1855 menyatakan bahwa seluruh tuduhan terhadap Haji Ahmad Rifai belum bisa
dibuktikan , dan perlu diperiksa dalam persidangan biasa . Untuk sementara
waktu waktu perkara tersebut ditutup.
Pada tahun 1856 Jendral Albertus Jacub Duymaer Van Twist oleh Jendral
Charles Ferdinand Pahud, Wedono Kalisalak memandang perlu untuk mengangkat
kembali permasalahan pengasingan Kiai Haji Ahmad Rifai , namun ternyata jendral
Pahud pun menyatakan menolak sebagaimana yang ditulis dalam suratnya tertanggal
23 November
1858. Akan tetapi tekad dan dendam Iblis Wedono Kalisalak tidak berhenti sampai disini , Dia menulis surat kepada Bupati Batang
tertanggal 19 April 1859 No.1 A yang isinya diteruskan ke Karisidenan Pekalongan oleh bupati Batang pada tanggal 24 April 1859 No.29 . Inti surat tersebut isinya adalah sebagaimana bunyi surat yang
pernah dikirim sebelumnya tertanggal 9 November
1858 No.578 dan 5 November
1858 No.700, mengigat belum juga mendapat perhatian dari Residen Pekalongan, maka diperjelas lagi dengan
suratnya tertanggal 29 April 1859. Selain itu pada tanggal 30 April 1859 Residen Pekalongan menulis surat kepada Buiten Zorg di Bogor yang isinya agar Kyai Haji Ahmad Rifai disidangkan
ke pengadilan dan diasingkan dari Kalisalak. Pada tanggal 6 Mei 1859 secara resmi Haji Ahmad Rifai dipanggil Residen Pekalongan Franciscus
Netscher untuk pemeriksaan terakhir dan syarat untuk
memenuhi pengasingan ke Ambon. Sejak tanggal 6 Mei 1859 Haji Ahmad Rifai sudah tidak diperkenankan kembali ke rumah lagi untuk
menunggu keberangkatan pengasingan hingga tanggal 9 Mei 1859, berdasarkan surat keputusan No.35 tertanggal 19 Mei 1859 K.H. Ahmad Rifai meninggalkan jamaah beserta para keluarganya karena
mulai hari itu beliau diasingkan di Ambon,Maluku.
Setelah dua tahun Haji Ahmad Rifai di Ambon beliau telah mengirim kitab sebanyak empat buah dalam bahasa Melayu dan 60 buah judul Tanbih
berbahasa Melayu juga surat wasiat tertanggal 21
Dzulhijjah 1277 H kepada menantunya Kyai
Maufura bin Nawawi di Keranggongan, Batang yang isinya agar para muridnya beserta keluarganya jangan sekali-kali
taat pada pemerintah Belanda dan orang-orang yang berkolaborasi dengannya. Setelah di Ambon Haji
Ahmad Rifai bersama Kyai Modjo dan 46 ulama lainnya dipindahkan ke kampung Jawa Tondano, Manado, Sulawesi Utara karena ia bersama ulama-ulama
Tarojumah menganggap perlu lahirnya organisasi Rifaiyah secara nasional , dan
dia tinggal disana untuk menanti panggilan dari sang Robb, Beliau wafat dengan
tenang sebagai ” Pahlawan Islam dan bukan Pahlawan Nasional” pada Kamis 25 Robiul
Akhir 1286 H (usia 86 tahun) , ada riwayat lain yang
mengatakan beliau wafat pada 1292 H (92 tahun, semoga yang ini benar, karena
itu berarti beliau panjang umur) di kampung Jawa Tondono Kabupaten Minahasa, Manado Sulawesi Utara dan dimakamkan dikomplek
makam pahlawan kiai Modjo disebuah bukit yang terletak kurang lebih 1 km dari kampung Jawa Tondano (Jaton).
- D. TARIKAT SYAZILIYAH DAN AJARANNYA
Tarekat ini lahir di Maroko,yg direalisasikan oleh Syekh Abdul Hasan
as-Syadzili(1258). Tarekat ini merupakan salah satu komunitas ajaran sufistik
yg memiliki pengikut yg luar biasa banyaknya. Sekarang ,tarekat ini sudah
menyebar di berbagai negara.Diantaranya,di Afrika utara,Mesir, Kenya, Tanzania,
Timur-tengah,& Sri langka.Bahkan ,aliran tarekat ini telah merambah ke
Amerika barat/utara.Tarekat ini umumnya diikuti oleh kalangan kelas menengah,
pengusaha, pejabat, dan pegawai negeri. Sebagian ajaran tarekat ini
dipengaruhi oleh iman al-Ghazali & al-Makki.
- 1. Pendiri Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah adalah tarekat yang dipelopori oleh Syeh Abul Hasan Asy Syadzili. Nama Lengkapnya adalah Abul Hasan Asy Syadzili al-Hasani bin Abdullah
Abdul Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Hatim bin Qushay bin Yusuf bin Yusya’ bin
Ward bin Baththal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad anak pemimpin
pemuda ahli surga dan cucu sebaik-baik manusia: Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a dan Fatimah al-Zahra binti Rasulullah SAW.[1].
Nama kecil Syeh Abul Hasan Asy Syadzili adalah Ali, gelarnya adalah
Taqiyuddin, Julukanya adalah Abu Hasan dan nama populernya adalah Asy Syadzili. al-Syadzili lahir di sebuah desa yang bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah pada tahun 593 H(1197 M). menghapal al-Quran dan pergi ke Tunis ketika usianya masih sangat muda. Ia tinggal di desa Syadzilah. Oleh
karena itu, namanya dinisbatkan kepada desa tersebut meskipun ia tidak berasal
dari desa tersebut.[1]
- Intisari tarekat
Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf,
begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, doa, dan hizib. Ibn Atha’illah as- Sukandari adalah orang yang
prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya,
sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha’illah juga
orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat
tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.
Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha’illah, tareqat Syadziliyah mulai
tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi
ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema
ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili
sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan
atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang
digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para
murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa
mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki.
Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: “Seandainya kalian
mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid
al-Ghazali”. Perkataan yang lainnya: “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya
al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki,
mewarisi anda cahaya.” Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam
al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya
An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi,
Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah’illah.
- 3. Silsilah
Sanad dan Silsilah Tariqah
- As-Syaikh As-Sayyid Abil Hasan Asy-Syadzili ra drp
- As-Syaikh Abdus Salam b Mashish ra drp
- As-Syaikh Muhammad bin Harazim ra drp
- As-Syaikh Muhammad Salih ra drp
- As-Syaikh Shuaib Abu Madyan ra drp
- As-Syaikh As-Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani ra drp
- As-Syaikh Abu Said Al-Mubarak ra drp
- As-Syaikh Abul Hasan Al-Hukkari ra drp
- As-Syaikh At-Tartusi ra drp
- As-Syaikh Asy-Shibli ra drp
- As-Syaikh Sari As-Saqati ra drp
- As-Syaikh Ma’ruf Al-Kharkhi ra drp
- As-Syaikh Daud At-Tai ra drp
- As-Syaikh Habib Al-Ajami ra drp
- Imam Hasan Al-Basri ra drp
- Sayyidina Ali bin Abu Talib ra drp
- Sayyidina Muhammad saw
Sanad Nasab Abil Hasan Asy-Syadzili
- As-Sayyid Asy-Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzili bin
- Ali bin
- Abdullah bin
- Tamim bin
- Hurmuz bin
- Hatim bin
- Qusay bin
- Yusuf bin
- Yusya bin
- Ward bin
- Bathaal bin
- Ali bin
- Ahmad bin
- Muhammad bin
- Isa bin
- Muhammad bin
- Abi Muhammad bin
- Imam Hasan bin
- Sayyidna Ali ra dan Sayyidatina Fathimah binti
- Rasulullah Sayyidina Muhammad saw.
- 4. Wejangan Dasar
Tauhid dengan sebenar-benarnya tauhid yang tidak musrik kepada Alloh
ta’ala
- Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara’ dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.
- Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
- Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
- Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana’ah/ tidak rakus) dan menyerah.
- Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.
Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:
- Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
- Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.
- Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
- Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.
- Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.
Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala
kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang)
merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan
diperkokoh oleh Ibn Atha’illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya,
jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia
adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada
masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan
menghalanginya untuk berbuat positif.
Perkembangan Tarekat
Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn
Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan
kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah
berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa
kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada
Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya
agar memberi syukur kepada kita.”
Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat,
secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat
adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua
baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung
barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini,
kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari
dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan
memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai
maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma
Allah diberikan oleh Ibn Atha’ilah berikut: “Asma al-Latif,” Yang Halus harus
digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha
mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat
sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam
kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma
al-Faiq, “Yang Mengalahkan” sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi
hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.
Demografik Para Pengikut
Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah,
pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak
begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang
terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib
mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan
mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya,
ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian
mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah
“ketenagan” yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya:
asy-Syadzili, Ibn Atha’illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat
dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini.
Kitab ar-Ri’ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis
mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya
al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri “ketenangan” ini tentu sja
tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara
yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.
Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya’nya,
Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini
adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi
anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali
Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.
Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa
pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat
individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan
yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara
individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai
kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib,
paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang
guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru
tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang
anggota dari sebuah tareqat.
Amalan-Amalan
Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, Hizb Barr disamping
Hizib al-Hafidzah, merupakan Hizib-Hizib yang terkenal dari
as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi
SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama
dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan dan bermanfaat dalam
meningkatkan kadar ibadah kepada Alloh ta’ala.
Sebagai contoh, Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama
perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Di Indonesia, dimana doa ini
diamalkan secara luas, secara umum dipercaya doa ini baik dan tidak
bertentangan dengan Sunatulloh dan Sunnatur Rosul. Untuk pengamalan hizb ini
sebaiknya dalam bimbingan guru yang mengamalkannya.
Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan
oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah),
dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan
dengan tareqat Rifa’iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat
Qadiriyah. Akan tetapi yang utama adalah Hizb tersebut dipergunakan untuk
meningkatkan kadar ibadah yang sebenarnya kepada Alloh ta’ala.
Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia bukan
hanya merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah
A’zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkah dan
menjamin respon supra natural dan yang terpenting adalah mendapatkan Ridho
Alloh ta’ala semata. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para
syekh tareqat biasanya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan
wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan
personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka
mengamalkannya tanpa berlandaskan Al Qur’an dan tuntunan Rosululloh SAW, sebab
murid tersebut sedang mengikuti suatu pelatihan dari sang guru untuk dapat
beribadah kepada Alloh ta’ala dengan benar.
Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna
hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari
Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan
juga mengandung doktrin tingkah laku islami, pemahaman, adab hati,
penyaksian, pembuktian yang sangat dahsyat.
Pengaruh dan Cabang-Cabang Tarekat Syadziliyyah
Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang
tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri
langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat
dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini,
tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah,
al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah,
al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al-
Hasyimiyyah.
Kata-Kata Hikmah
Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili:
Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan
meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku
memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian
sebuah suara memanggilku, katanya ” Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu
bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan
Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya.”Maka akupun
memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji itu milik Alloh
ta’ala!
Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): “Jangan anda
melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkan keridhoan Allah
ta’ala, dan jangan duduk dimajelis kecuali majelis yang aman dari murka Allah.
Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah.
Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap
Allah.”
Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat
atau usaha ikhtiar sendiri.
Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya
hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus
menjadi tujuan dari doamu adalah untuk dapat selalu taat kepada Allah yang
memiliki pemelihara dirimu.
Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah
di dalam berbagai macam bala’ dan ni’mat yang menimpanya sehari-hari, dan
mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya
dan bersyukur atas syukur yang mendalam.
Sedikit amal dengan mengakui dan mensyukuri karunia Allah, lebih baik
dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.
Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu’min yang berbuat dosa,
niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya
menjelaskan : “Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali,
niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.
- Ibn Abi-Qasim al-Humairi: “Jejak-jejak Wali Allah”, halaman 2-4. Penerbit ERLANGGA, 2009 -033-319-2
- E. TARIKAT MAULAWIYAH DAN AJARANNYA
Bagi kalangan pencinta musik sufi,nama tarekat ini cukup dikenal.
Maulawiyah merupakan tarekat yg berasal dari ajaran sufi besar bernama
Jalaluddin Rumi (1273) di Turki. Tarekat ini menyebar luas ke beberapa
wilayah,diantaranya di Turki dan Amerika Utara.Salah satu keunikan pd praktik
ajaran sufi tarekat ini adalah tata cara meditasinya,yaitu berputar-putar spt
menari-mari cukup lama. Upaya ini merupakan bagian dari cara untuk mengingatkan
seseorang bahwa segala sesuatu berawal dari sebuah putaran. Hidup merupakan
putaran dari tiada menjadi ada,kemudian tidak ada, ada, dan tiada lagi.
Biografi Maulana Jalaluddin Ar Rummy
Maulānā Jalāluddīn Muhammad Rūmī[2] (Parsi: مولانا جلال الدین محمد رومی, Bahasa Turki: Mevlânâ Celâleddin Mehmed
Rumi) , juga dikenali Maulānā Jalāluddīn Muhammad Balkhī (Parsi: محمد بلخى), atau Rumi sahaja di negara-negara bertutur
Inggeris, (30 September, 1207–17 Disember, 1273), merupakan penyair, Qadi dan ahli teologi Parsi Muslim abad ke 13 Farsi (Tājīk)[3][4]. Namanya bermaksud “Keagungan
Agama”, Jalal berarti “agung” dan Din berarti
“agama”.[5]
Rumi lahir di Balkh (ketika itu
sebahagian dari Khorasan Besar di Negeri Parsi, kini dalam Afghanistan) dan meninggal dunia di Konya ( di Turki sekarang )
Tempat lahir dan bahasa ibunda/tempatannya menggambarkan latar belakang
Farsi. Beliau juga menulis puisi Farsi dan karya-karyanya tersebar di Iran, Afghanistan, Tajikistan, dan dialih bahasa di Turki, Azerbaijan, A.S., dan Asia Tenggara. Sebahagian besar hayat dan
era penulisan ketika Empayar Seljuk.[6] Disamping puisi Farsi beliau
juga menulis beberapa rangkap dalam bahasa Arab, Greek, dan Turki Oghuz.
Kepentingan Rumi melangkaui batas bangsa, budaya dan negara. Sepanjang
abad dia mempunyai pengaruh dalam Kesusasteraan Parsi disamping dalam Kesusasteraan Urdu dan Kesusasteraan Turki. Sajak-sajak karangannya dibaca dengan meluas di negara-negara seperti Iran, Afghanistan dan Tajikistan dan telah banyak diterjemah dalam pelbagai bahasa di dunia dalam
pelbagai bentuk.
Mawlana Jalaludin Rumi yaitu Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
(Grandson of Mawlana Rumi )
“Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan, Saya mencintainya dan
Saya mengaguminya, Saya memilih jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya.
Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih yang abadi. Dia
adalah orang yang Saya cintai, dia begitu indah, oh dia adalah yang paling
sempurna.
Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah
sekarat. Dia adalah dia dan dia dan mereka adalah dia. Ini adalah sebuah
rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.
( Sulthanul Awliya Mawlana Syaikh Nazhim Adil al-Haqqani – Cucu dari
Mawlana Rumi, Lefke, Cyprus Turki, September 1998)
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang tokoh sufi yang
berpengaruh di zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah
thariqat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Thariqat
Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan
kalangan seniman sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indera
dalam menentukan kebenaran.Di zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda
penyakit itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila mampu
digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh
indera dan akal, dengancepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan
Iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula,
kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan
berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.
Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala
hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka
merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka
dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali
tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah
melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera.
Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah
penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa
menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya.
Bukankah
Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.
Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.
PENGARUH TABRIZ
Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi, ketika berjumpa
dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu
kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan
Fariduddin Attar itu tidak meleset.
Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207.
Mawlana Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi
al-Qunuwi.Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnyadihabiskan di
Konya (kini Turki), yang dahulu dikenalsebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar
bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya,
ia digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada
sebagian ulama lain. Dan mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin
ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus
meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima
tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari
suatu negara ke negara lain.
Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq
at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga
menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Beliau baru kembali ke
Konya pada 634 H, dan ikut mengajar di perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya.
Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga
menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak tokoh ulama yang berkumpul
di Konya. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul
para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau sudah berumur cukup
tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah
madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama,
beliau juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu.
Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau berjumpa
dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi dari kota Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan
banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba seorang lelaki asing–yakni
Syamsi Tabriz–ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?”
Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu
dan tepat pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab. Akhirnya Rumi
berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum
kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu,
“Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap
hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup
alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar
itumelihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya
berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut
berperan mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi penyair yang sulit
ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis
syair-syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz.
Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama
Maqalat Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syaikh
Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun
terakhir masahidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar
dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi.
Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran
tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.
Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran
tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.
Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karyatulisnya yang lain
adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi
(dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang metafisika), dan
Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan Thariqat Maulawiyah
atau Jalaliyah. Thariqat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes
(para Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut
thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan
suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
WAFATNYA MAWLANA RUMI
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi
pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar
bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita sakit keras. Meskipun
demikian, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan,“Semoga Allah
berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut,
“Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi
kematian ada juga yang kafir dan pahit.”
Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68
tahun Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak
diberangkatkan,penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan
kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (Malam
Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Thariqat Maulawiyah masih
memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.
“SAMA”, Tarian Darwis yang Berputar
Suatu saat Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya dalam tarian “Sama” ketika
itu seorang sahabatnya memainkan biola dan ney (seruling), beliau mengatakan,
“Seperti juga ketika salat kita berbicara dengan Tuhan, maka dalam
keadaan extase para darwis juga berdialog dengan Tuhannya melalui cinta. Musik
Sama yang merupakan bagian salawat atas baginda Nabi Sallallahu alaihi wasalam
adalah merupakan wujud musik cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuanNya.
Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia tersembunyi dalam Musik dan
Sama, dimana musik merupakan gerbang menuju keabadian dan Sama adalah seperti
electron yangmengelilingi intinya bertawaf menuju sang Maha Pencipta. Semasa
Rumi hidup tarian “Sama” sering dilakukan secara spontan disertai jamuan
makanan dan minuman. Rumi bersama teman darwisnya selepas solat
Isa sering melakukan tarian sama dijalan-jalan kota Konya.
Isa sering melakukan tarian sama dijalan-jalan kota Konya.
Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi yang memuji Sama dan perasaan
harmonis alami yang muncul dari tarian suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi,
Rumi menuliskan puisi tentang kefanaan dalam Sama, “ketika gendang ditabuh
seketika itu perasaan extase merasukbagai buih-buih yang meleleh dari debur
ombak laut”.
Tarian Sakral Sama dari tariqah Mevlevi Haqqani atau Tariqah Mawlawiyah
ini masih dilakukan saat ini di Lefke, Cyprus Turki dibawah bimbingan Mawlana
Syaikh Nazim Adil al-Haqqani. Ajaran Sufi Mawlana Syaikh Nazim dan mawlana
Syaikh Hisyam juga merambah keberbagai kota di Amerika maupun Eropa, sehingga
tarian Whirling Dervishes ini juga dilakukan di banyak kota-kota di Amerika,
Eropa dan Asia di bawah bimbingan Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani.
Tarian Sama ini sebagai tiruan dari keteraturan alam raya yang diungkap
melalui perputaran planet-planet. Perayaan Sama dari tariqah Mevlevi dilakukan
dalam situasi yang sangat sakral dan ditata dalam penataan khusus pada abad ke
tujuh belas. Perayaan ini untuk menghormati wafatnya Rumi, suatu peristiwa yang
Rumi dambakan dan ia lukiskan dalam istilah-istilah yang menyenangkan.
Para Anggota Tariqah Mevlevi sekarang belajar menarikan tarian ini
dengan bimbingan Mursyidnya. Tarian ini dalam bentuknya sekarang dimulai dengan
seorang peniup suling yang memainkan Ney, seruling kayu. Para penari masuk
mengenakan pakaian putih yang sebagai simbol kain kafan, dan jubah hitam besar
sebagai symbol alam kubur dan topi panjang merah atau abu-abu yang menandakan
batu nisan.
Akhirnya seorang Syaikh masuk paling akhir dan menghormat para Darwish
lainnya. Mereka kemudian balas menghormati. Ketika Syaikh duduk dialas karpet
merahmenyala yang menyimbolkan matahari senja merah tua yang mengacu pada
keindahan langit senja sewaktu Rumiwafat. Syaikh mulai bersalawat untuk
Rasulullah saw yang ditulis oleh Rumi disertai iringan musik,
gendang, marawis dan seruling ney. Peniup seruling dan penabuh gendang memulai musiknya,maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara perlahan yang merupakaan simbolisasi bagi tiga tahapan yang membawa manusia menemui Tuhannya. Pada puatran ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbulkan kuburan untuk mengalami ‘ mati sebelum mati”,
kelahiran kedua. Ketika Syaikh mengijinkan para penari menari, mereka mulai dengan gerakan perlahan memutar seperti putaran tawaf dan putaran planet-planet mengelilingi matahari. Ketika tarian hamper usai maka syaikh berdiri dan alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan musik penutup danpembacaan ayat suci Al-Quran.
gendang, marawis dan seruling ney. Peniup seruling dan penabuh gendang memulai musiknya,maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara perlahan yang merupakaan simbolisasi bagi tiga tahapan yang membawa manusia menemui Tuhannya. Pada puatran ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbulkan kuburan untuk mengalami ‘ mati sebelum mati”,
kelahiran kedua. Ketika Syaikh mengijinkan para penari menari, mereka mulai dengan gerakan perlahan memutar seperti putaran tawaf dan putaran planet-planet mengelilingi matahari. Ketika tarian hamper usai maka syaikh berdiri dan alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan musik penutup danpembacaan ayat suci Al-Quran.
Rombongan Penari Darwis, secara teratur menampilkan Sama di auditorium
umum di Eropa dan Amerika Serikat. Sekalipun beberapa gerakan tarian ini pelan
dan terasa lambat tetapi para pemirsa mengatakan penampilan ini sangat magis
dan menawan. Kedalaman konsentrasi, atauperasaan dzawq dan ketulusan para
darwis menjadikan gerakan mereka begitu menghipnotis. Pada akhir penampilan
para hadirin diminta untuk tidak bertepuktangan karena “Sama” adalah sebuah
ritual spiritual
bukan sebuah pertunjukan seni.
bukan sebuah pertunjukan seni.
Pada abad ke 17, Tariqah Mevlevi atau Mawlawiyahdikendalikan oleh
kerajaan Utsmaniyah. Meskipun Tariqah Mawlawiyah kehilangan sebagian
besarkebebasannya ketika berada dibawah dominasi Ustmaniyah, tetapi
perlindungan Sang Raja menungkinkan.Tariqah Mawlawi menyebar luas keberbagai
daerah danmemperkenalkan kepada banyak orang tentang tatanan musik dan tradisi
puisi yang unik dan indah. Pada Abad ke 18, Salim III seorang Sultan Utsmaniyah
menjadi anggota Tariqah Mawlawiyah dan kemudian diamenciptakan musik untuk
upacara-upacara Mawlawi.
Selama abad ke 19 , Mawlawiyah merupakan salah satu dari sekitar
Sembilan belas aliran sufi di Turtki dan sekitar tigapuluh lima kelompok
semacam itu dikerajaanUtsmaniyah. Karena perlindungan dari raja mereka, Mawlawi
menjadi kelompok yang paling berpengarhdiseluruh kerajaan dan prestasi cultural
mereka dianggap sangat murni. Kelompok itu menjadi terkenal di barat., Di Eropa
dan Amerika pertunjukkan keliling mereka menyita perhatian public. Selama abad
19, sebuah panggung pertunjukkan yang didirikan di Turki menarik perhatian
banyak kelompok wisatawan Eropa yang datang ke Turki.
Pada tahun 1925, Tariqah Mawlawi dipaksa membubarkan diri ditanah kelahiran
mereka Turki, setelah Kemal Ataturk pendiri modernisasi Turki melarang semua
kelompok darwis lengkap dengan upacara serta pertunjukkan mereka. Pada saat itu
makam Rumi di Konya diambil alih pemerintah dan diubah menjadi museumNegara.
Motivasi utama Atatutrk adalah memutuskan hubungan Turki dengan masa
pertengahan guna mengintegrasikan Turki dengan dunia modern seperti demokrasi
ala barat. Bagi Ataturk tariqah sufi menjadi ancaman bagi modernisasi Turki.
Pada saat itulah Syaikh Nazim ق mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan mengajar agama Islam di
Siprus, Turki.
Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
Banyak murid yang mendatangi Mawlana Syaikh Nazim danmenerima Thariqat
Naqsybandi Haqqani. Selain itu beliau adalah pemegang otoritas Mursyid tujuh
Tariqah Sufi besar lainnya, termasuk Mevlevi Haqqani atau Mawlawiyah, Qodiriah,
Syadziliyah, Chisty. Namun sayang, waktu itu semua agama dilarang di Turki dan
karena beliau berada di dalam komunitas orang-orang Turki di Siprus, agama pun
dilarang di sana. Bahkanmengumandangkan azan pun tak diperbolehkan.
Langkah Syaikh Nazim yang pertama ketika itu adalah menuju masjid di
tempat kelahirannya dan mengumandangkan azan di sana, segera beliau
dimasukkanpenjara selama seminggu. Begitu dibebaskan, Syaikh Nazim ق pergi menuju masjid besar di Nikosia dan melakukan azan di menaranya.
Hal itu membuat parapejabat marah dan beliau dituntut atas pelanggaran hukum.
Sambil menunggu sidang, Syaikh Nazim ق terus mengumandangkan azan di menara-menara masjid di seluruh Nikosia.
Sehingga tuntutannya pun terus bertambah, ada 114 kasus yang menunggu beliau.
Pengacara menasihati beliau agar berhenti melakukan azan, namun Syaikh Nazim ق mengatakan, “ Tidak, aku tidak bisa mengehntikannya. Orang-orang
harusmendengar panggilan azan untuk shalat.”
Ketika hari persidangan tiba, Mawlana Syaikh Nazim didakwa atas 114
kasus mngumandangkan azan diseluruh Cyprus. Jika tuntutan 114 kasus itu
terbukti, maka beliau bisa dihukum 100 tahun penjara. Tetapi pada hari yang
sama hasil pemilu diumumkan di Turki. Seorang laki-laki bernama Adnan Menderes
dicalonkan untuk berkuasa. Langkah pertamanya ketika terpilih menjadi Presiden
adalah membuka seluruh masjid-masjid dan mengizinkan azan dikumandangkan dalam
bahasa Arab. Inilah keajaiban yang diberikan Allah swt kepada Mawlana Syaikh
Nazim.
Hingga saat ini makam Rumi di Konya tetap terpeliharadan dikelola oleh
pemerintah Turki sebagai tempat wisata. Meskipun demikian pengunjung yang
datang kesana yang terbanyak adalah para peziarah dan bukan wisatawan. Melalui sebuah
kesepakatan pemerintah Turki, pada tahun 1953 akhirnya menyetujui tarian “Sama”
Tariqah Mawlawi dipeertontonkan lagi di Konya dengan syarat pertunjukan
tersebut bersifat culturaluntuk para wisatawan.
Rombongan Darwis juga diijinkan untuk berkelana secara Internasional.
Meskipun demikian secara keseluruhan berbagai aspek sufisme tetap menjadi
praktek yang illegal di Turki dan para sufi banyak diburu sejakAtaturk melarang
agama mereka.
———————————-
Maulana Jalaluddin Rumi, Menari di Depan Tuhan
“AKAN tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan makam kita tegak
di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita,
menggemakan ucapan-ucapan kita.”
Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, Sultan Walad, di suatu
pagi. Dan waktu kemudian berlayar, melintasi tahun dan abad. Konya seakan
terlelap dalam debu sejarah. “Tetapi, kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri
sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,” tulis Talat Said Halman, peneliti
karya-karya mistik Rumi.
Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi bak bayangan yang
abadi mengawal Konya, terutama untuk pada pengikutnya, the whirling dervishes,
para darwis yang menari. Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember, jutaan
peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin mereka berarak untuk
memperingatikematian Rumi, 727 tahun silam.
Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telahmenegakkan sebuah pilar di
tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? “Dialah
penyairmistik terbesar sepanjang zaman,” kata orientalis Inggris Reynold A
Nicholson. “Ia bukan nabi, tetapi iamampu menulis kitab suci,” seru Jami,
penyair Persia Klasik, tentang karya Rumi,Matsnawi.
Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt mengabadikannya dikanvas,
Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair Pakistan, sekali waktu pernah
berdendang,“Maulana mengubah tanah menjadi madu…. Aku mabuk oleh anggurnya; aku
hidup dari napasnya.” Bahkan, Paus Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan
khusus: “Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala penuh hormat
mengenang Rumi.”
Besar dalam kembara
Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini wilayah
Afganistan. Ia Putra Bahauddin Walad, ulama dan mistikus termasyhur, yang
diusir dari kota Balkh tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntutperbedaan
pendapat antara Sultan dan Walad.
Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di situ
kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru bahasa Arab yang tersohor. Tak lama
di Damakus, keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia Tengah, atas
permintaan Sultan Seljuk Alauddin Kaykobad.
Konon, Kaykobad membujuk dalam sebuah surat kepada Walad, “Kendati saya
tak pernah menundukkan kepala kepada seorang pun, saya siap menjadi pelayan dan
pengikut setia Anda.” Di kota ini ibu Jalaluddin, Mu’min Khatum, meninggal
dunia. Tak lama kemudian, dalam usia 18 tahun, Jalaluddin menikah. 1226, putra
pertama Jalaluddin, Sultan Walad, lahir. Setahun kemudian, keluarga ini pindah
ke Konya, 100 Km dariLaranda. Di sini, Bahauddin Walad mengajar di madrasah. 1229,
anak kedua Jalaluddin, Alauddin, lahir. Dua tahun kemudian, dalam usia 82
tahun, Bahaudin Walad meninggal dunia.
Era baru pun dialami Jalaluddin. Dia menggantikan Walad, dan mengajarkan
ilmu-ilmu ketuhanan tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun
setelahkematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan tamu, Burhannuddin
Muhaqiq, yang ternyata murid terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru
telahtiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin. Burhanuddin pun
menggembleng muridnya dengan latihan tasawuf yang telah dimatangkan selama 4
abad terakhir oleh para sufi, dan beberapa kali meminta dia ke Damakus untuk
menambah lmu. 8 tahun menggembleng, 1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri.
Jalaluddin Rumipun menggembleng diri sendiri.
Cinta adalah menari
Tahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah berada di atas semua
ulama di Konya. Ilmu yang dia timba dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki,
Yunani dan Ibrani, membuat dia nyaris ensiklopedis. Gelar Maulana Rumi (Guru
bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuah senja Oktober, sehabis pulang dari
madrasah, seseorang yang tak dia kenal, menjegat langkahnya, dan menanyakan
satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumilangsung pingsan!
Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu bertanya, “Siapa yang
lebih agung, Muhammad Rasulullah yang berdoa, ‘Kami tak mengenal-Mu seperti
seharusnya’ atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang berkata, ‘Subhani,
mahasuci diriku, betapa agungnya kekuasaanku’. Pertanyaan mistikus Syamsuddin
Tabriz itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi terpisahkan dari Syams.
Dan di bawah pengaruh Syams,ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh
gairah, tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka menghabiskan hari
bersama-sama, dan menurut riwayat, selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan
hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk menuju Cinta Ilahiah.
Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya, membuat Syams pergi. Dan
saat Syams kembali, warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar
yangdia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari.
Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat Jalaluddin menari. Pukulan
penempa besi itu, Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan
puisi-puisi mistis, yang berisi ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun
kemudian bersabahat dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi
Syams. Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambil memadahkan syair-syair
cinta Ilahi. “Tarian para darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentukratapan
Rumi atas kehilangan Syams,” jelas Talat.
Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti menari,
kerana dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat
peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang
dicintai. (Aulia A Muhammad)
Wikipedia akan berubah kepada muka baru.
Bantulah kami mengesan kesilapan dan menlengkapkan penterjemahan.
Bantulah kami mengesan kesilapan dan menlengkapkan penterjemahan.
Jalaluddin Muhammad Rumi
Ahli
falsafah Parsi
Zaman Pertengahan |
|
Nama:
|
Jalāluddīn
Muhammad Rūmī
|
Kelahiran:
|
|
Kematian:
|
|
Mazhab:
|
|
Minat
utama:
|
sajak,
syair, muzik
|
Idea
terkenal:
|
|
Dipengaruhi:
|
|
Mempengaruhi:
|
Tarekat maulawiyah adalah sebuah tarekat pengikut jalaluddin rumi.
Tarekat ini mengajarkan ajaran sufistik beraliran jalldn rumi. Jalaludn sendri
mrupkan seorang sufi yg memprknalkn tarian the whirling dervishes (tarian
sufistik). Ajaran tasawuf yg ditekankn lbh trknal pd sisi musik sufistik.
Bentuk cinta nya di metmorphosiskn pada syair2 nya.
Jalaluddin Rumi
Penyair dan tokoh sufi terbesar dari Persia
Ia berkata, “Siapa itu berada di pintu?”
Aku berkata, “Hamba sahaya Paduka.”
Ia berkata, “Kenapa kau ke mari?”
Aku berkata, “Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti.”
Ia berkata, “Berapa lama kau bisa bertahan?”
Aku berkata, “Sampai ada panggilan.”
Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah
Bahwa demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.
Ia berkata, “Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan.”
Aku berkata, “Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku.”
Ia berkata, “Saksi tidak sah, matamu juling.”
Aku berkata, “Karena wibawa keadilanmu mataku terbebas dari dosa.”
Aku berkata, “Hamba sahaya Paduka.”
Ia berkata, “Kenapa kau ke mari?”
Aku berkata, “Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti.”
Ia berkata, “Berapa lama kau bisa bertahan?”
Aku berkata, “Sampai ada panggilan.”
Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah
Bahwa demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.
Ia berkata, “Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan.”
Aku berkata, “Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku.”
Ia berkata, “Saksi tidak sah, matamu juling.”
Aku berkata, “Karena wibawa keadilanmu mataku terbebas dari dosa.”
Syair religius di atas adalah cuplikan dari salah satu puisi karya
penyair sufi terbesar dari Persia, Jalaluddin Rumi. Kebesaran Rumi terletak
pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa
yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal
mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah –kedalaman makna dan keindahan
bahasa– yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi
sebelum maupun sesudahnya.
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang
berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah
–sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya.
Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki
Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal dan indera
dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda
penyakit itu.
Bagi kelompok yang mengagul-agulkan akal, kebenaran baru dianggap benar
bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba
oleh indera dan akal, cepat-cepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal, menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat
melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran
seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang
diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.
Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala
hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka
merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka
dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali
tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah
melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera.
Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah
penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa
menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya.
Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di
dalamnya?” tegas Rumi.
PENGARUH TABRIZ. Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi juga, ketika
berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil
itu kelak bakal menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat,
ramalan Fariduddin itu tidak meleset.
Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 Rumi
menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi.
Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini
Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar
bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya,
ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan
rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan
mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga
Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru
beruisa lima tahun.
Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari
suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur
laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran
tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad,
mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai
pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini
pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq
at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga
menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya
pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya.
Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi
da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul.
Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para
ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua,
48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah
yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga
memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu
berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi
pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan
banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing
–yakni Syamsi Tabriz– ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan
ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu
jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi
berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada
Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang
berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga
berhari-hari.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu,
“Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap
hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup
alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu
melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”
Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz
benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas
mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing
itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya,
Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya.
Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu,
kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka.
Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz
yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena
merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai
mengajar lagi.
Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari
Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan
permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan
gurunya bila berkenan kembali ke Konya.
Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan
mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para
muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan
tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan
Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke
Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi.
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya
berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut
berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit
ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair,
yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia
bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama
Maqalat-i Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh
Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama
15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan
mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan
berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf
yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot,
dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris
dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan
himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya
kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah
atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes
(Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut
tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan
suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
WAFAT. Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang
terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar
kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit
keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan, “Semoga Allah
berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut,
“Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi
kematian ada juga kafir dan pahit.”
Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke
rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat
berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati
ummatnya.
Aku mati sebagai mineral
dan menjelma sebagai tumbuhan,
aku mati sebagai tumbuhan
dan lahir kembali sebagai binatang.
Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.
Kenapa aku harus takut?
Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku.
dan menjelma sebagai tumbuhan,
aku mati sebagai tumbuhan
dan lahir kembali sebagai binatang.
Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.
Kenapa aku harus takut?
Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku.
Sekali lagi,
aku masih harus mati sebagai manusia,
dan lahir di alam para malaikat.
Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,
aku masih harus mati lagi;
Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal abadi.
aku masih harus mati sebagai manusia,
dan lahir di alam para malaikat.
Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,
aku masih harus mati lagi;
Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal abadi.
Setelah kelahiranku sebagai malaikat,
aku masih akan menjelma lagi
dalam bentuk yang tak kupahami.
Ah, biarkan diriku lenyap,
memasuki kekosongan, kasunyataan
Karena hanya dalam kasunyataan itu
terdengar nyanyian mulia;
aku masih akan menjelma lagi
dalam bentuk yang tak kupahami.
Ah, biarkan diriku lenyap,
memasuki kekosongan, kasunyataan
Karena hanya dalam kasunyataan itu
terdengar nyanyian mulia;
“Kepada Nya, kita semua akan kembali”
Apa Yang mesti Ku lakukan
Apa yang mesti kulakukan, O Muslim? Aku tak mengenal didiku sendiri
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim
Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukan dari darat, bukan dari laut,
Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar,
Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api,
Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukan dari wujud dan bukan dari hal
Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan dari Bulgaria, bukan dari Saqsin,
Aku bukan dari Kerajaan Iraq, bukan dari negeri Korazan.
Aku bukan dari dunia in ataupun dari akhirat, bukan dari Sorga ataupun Neraka
Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukan dari Firdaus bukan dari Rizwan
Tempatku adalah Tanpa tempat, jejakku adalah tak berjejak
Ini bukan raga dan jiwa, sebab aku milik jiwa Kekasih
Telah ku buang anggapan ganda, kulihat dua dunia ini esa
Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat, Esa yang ku panggil
Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, Ia yang bathin
Tidak ada yang kuketahui kecuali :Ya Hu” dan “Ya man Hu”
Aku mabok oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpa kutahu
Aku tak berbuat apa pun kecuali mabok gila-gilaan
Kalau sekali saja aku semenit tanpa kau,
Saat itu aku pasti menyesali hidupku
Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenak senyum,
Aku akan merambah dua dunia, aku akan menari jaya sepanjang masa.
O Syamsi Tabrizi, aku begitu mabok di dunia ini,
Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang mabok dan gila-gilaan.
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim
Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukan dari darat, bukan dari laut,
Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar,
Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api,
Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukan dari wujud dan bukan dari hal
Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan dari Bulgaria, bukan dari Saqsin,
Aku bukan dari Kerajaan Iraq, bukan dari negeri Korazan.
Aku bukan dari dunia in ataupun dari akhirat, bukan dari Sorga ataupun Neraka
Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukan dari Firdaus bukan dari Rizwan
Tempatku adalah Tanpa tempat, jejakku adalah tak berjejak
Ini bukan raga dan jiwa, sebab aku milik jiwa Kekasih
Telah ku buang anggapan ganda, kulihat dua dunia ini esa
Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat, Esa yang ku panggil
Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, Ia yang bathin
Tidak ada yang kuketahui kecuali :Ya Hu” dan “Ya man Hu”
Aku mabok oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpa kutahu
Aku tak berbuat apa pun kecuali mabok gila-gilaan
Kalau sekali saja aku semenit tanpa kau,
Saat itu aku pasti menyesali hidupku
Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenak senyum,
Aku akan merambah dua dunia, aku akan menari jaya sepanjang masa.
O Syamsi Tabrizi, aku begitu mabok di dunia ini,
Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang mabok dan gila-gilaan.
Pembacaan Pujian untuk Kanjeng Nabi SAW dengan nama Na’t-ı Şerif Na’t-ı
Şerif:
“Yâ Hazret-i Mevlana Hak dost,
Ya Habiballah rasul-i Halık-ı yekta tüyi,
Ber güzin-i Zülcelâli pak-ü bihemta tüyi
Dost Sultanım,
Nazenin-i Hazret-i Hak sadr-ü bedr-i kainat,
Nur-i çeşm-i Enbiya çeşm-i çerağ-i ma tuyi
Ya Mevlana hak dost
Şemsi Tebrizi ki dared na’ti Peygamber ziber,
Mustafa vü Mücteba an seyyid-i ala tüyi
Ya tabibel kulúb ya Veliyallah Allah dost
Ya Habiballah rasul-i Halık-ı yekta tüyi,
Ber güzin-i Zülcelâli pak-ü bihemta tüyi
Dost Sultanım,
Nazenin-i Hazret-i Hak sadr-ü bedr-i kainat,
Nur-i çeşm-i Enbiya çeşm-i çerağ-i ma tuyi
Ya Mevlana hak dost
Şemsi Tebrizi ki dared na’ti Peygamber ziber,
Mustafa vü Mücteba an seyyid-i ala tüyi
Ya tabibel kulúb ya Veliyallah Allah dost
- F. TARIKAT SYATHARIYAH DAN AJARANNYA
Syattariyah adalah aliran tarekat pertama di india pd abad ke-15.
Tarekat ini dinisbahkan kpd Abdullah as -Syattar. Tarekat ini awalnya dikenal
di Iran & Transoksania dgn nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki
Usmani,tarekat ini disebut Bistamiyah.Martin Van Bruinessen.ahli
antropologi,menyebutkan bahwa tarekat ini banyak ditemukan di jawa &
sumatra.Tapi,antara satu dgn lainya tdk berhubungan. Tarekat ini relatif
gampang berpadu dgn berbagai tradisi setempat sehingga menjadi tarekat paling
“mempribumi “diantara tarekat yg ada.
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke-15. Tarekat ini dinisbahkan
kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah
asy-Syattar.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.
Tarekat Syathariyah
Tarekat Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429
M). Tarekat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah)
dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani
(w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili
ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke
Minangkabau.
Tarekat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din berkembang pada 4
(empat) kelompok, yaitu; Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana.
Kedua, Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan
Ulakan. Ketiga, Silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan.
Keempat; Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang
berjudul Syifa’ aI-Qulub.
Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa tarekat Syaththariyah di Minangkabau masih terpelihara kokoh. Untuk
mendukung ke1embagaan tarekat, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa
organisasi sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang
dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi – tetangga
Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan tarekat Syaththariyah dapat
ditemukan wujudnya pada kegiatan bersafar ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.
Adapun ajaran tarekat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga;
Adapun ajaran tarekat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga;
Bahagian Pertama, Ketuhanan dan hubungannya
dengan alam. Paham ketuhanan dalam hubungannya dengan alam ini seolah-olah
hampir sama dengan paham Wahdat a1- Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan
alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam, bedanya oleh
al-Sinkili ini dijelaskannya dengan menekankan pada trancendennya Tuhan dengan
alam. la mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam
ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam
transendennya, al-Sinkili menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam raya
(al- ‘a/am), Dia selalu memikirkan (berta’akul) tentang diri-Nya, yang kemudian
mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu
Tuhan menciptakan pola-pola dasar (a/ ‘ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua
alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (a/-‘ayan alkharijiyah)
yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya.
Ajaran tentang ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur dan dikembangkan
oleh Syekh Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. Kajian
mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman
dan Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari’at, Tauhid tarekat, dan Tauhid
hakekat, yaitu tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi.
Bahagian kedua, Insan Kamil atau manusia
ideal. Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan
penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada
esensi-Nya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak
mungkin disifatkan itu. Oleh karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk
rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga “Ia adalah
Dia.” Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat
akhirnya. Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai dengan
pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman itu, itulah yang
lahir dalam rupa-rupa para Nabi–dari Nabi Adam as sampat Nabi Muhammad SAW– dan
para qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka.
Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan
bayangannya. Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok:
Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan
kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.
Bahagian ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari’at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah 1a ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma’nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.
Bahagian ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari’at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah 1a ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma’nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.
- G. TARIKAT NAQSABANDIYAH DAN AJARANNYA
- 1. Sekilas Tarekat Naqsabandiyah
Tarekat yg diambil dari mana sendirinya,Syekh Bahaudin Naqsaband dr
Bukhara(1390)Tarekat ini tersebar luas di wilayah Asia Tengah,Volga,&
Kaukasus,China,Indonesia,India,Turki,Eropa & Amerika Utara. Ini adalah
satu2nya tarekat yg silsilah penyampaian ilmunya berakar dari Abu Bakar as-Shidiq.
Syeikh Yusup Makassari (1623-1699)adalah orang pertama yg memperkenalkan
tarekat ini di indonesia. Penyebarannya meluas,dari
Makasar,Kalimatan,Sumatra,Jawa Tengah/timur
Tarekat merupakan sebuah organisasi tasawuf dibawah pimpinan seorang
Syeikh yang menerapkan ajarannya kepada para murid-muridnya. Tareqat juga
dimaksudkan sebagai suatu jalan yang dilalui oleh calon sufi dalam mencapai
ma’rifat. Tidak mudah bagi seorang sufi untuk mencapai titik puncak yang harus
dicapai olehnya dalam menjalani kehidupan bertasawuf. Sehingga pilihan lain
dari hal ini adalah menjalaninya dengan kehidupan bertareqat.
Dalam perkembangannya, Tareqat sebagai suatu organisasi keagamaan kaum
sufi sudah banyak lahir dengan corak yang berbeda. Ini sudah berkembang pesat
dan tersebar ke Asia Tenggara, Asia Tengah, Afrika Timur, Afrika Utara, India,
Iran dan Turki. Perbedaan-perbedaan tersebut dalam realitasnya mengarah kepada
tujuan yang sama, yaitu berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Karena Tareqat
merupakan sebuah Organisasi yang lahir dari seorang Syeikh yang berniat ingin
melestarikan ajaran-ajaran kaum sufi maka masing-masing dari syikeh tersebut
tentu punya cara tersendiri dalam pengembangannya tersebut. Terbukti dengan
lahirnya tarekat tersebut semakin berbeda pulalah metode-metode yang digunakan.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi mudahnya Tarekat berkembang yaitu
: a) Sufi mempunyai kegemaran mengembara dari sustu tempat ke tempat
yang lain. Dalam setiap persinggahannya para sufi ini sennatiasa menyampaikan
ajaran tareqat yang dianutnya. b) Ajaran Tarekat yang mudah dipahami
oleh siapa pun dan tidak mensyaratkan bagi calon murid mempunyai tingkat
inteaktual yang tinggi.[1]
Di Indonesia, Tarekat juga sudah mulai berkembang pada abad ke-13
hijriah. Terbukti pada periode yang sama lahir 3 organisasi tarekat besar yang
berkembang yaitu Qadiriyah, Naqsabandiyah dan Sattariyah. Kemudian disusul oleh
tarekat Rifai’iah yang mengabadikan beberapa jenis kesenian rakyat aceh.
Sebagai salah satu Tareqat yang juga sudah berkembang di Indonesia
ialah Tareqat Naqsabandiyah juga sebagai salah satu Tareqat yang paling
luas penyebarannya. Maka, dalam pembahasan makalah ini akan di jelaskan hal
ihwal tentang Tareqat Naqsabandiyah baik seputar latar belakang, perkembangan
dan penyebarannya di dunia dan khususnya di Indonesia serta ajaran-ajarannya.
- 2. Pendiri Tarekat Naqsabandiyah.
Istilah Naqsabandiyah pertama kali diperkenalkan oleh Muhammad bin
Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi, yang juga sekaligus
sebagai pendiri Tarekat Naqsabandiyah. Beliau dilahirkan pada tahun 1318 di
desa Qasr-i-Hinduvan (yang kemudian bernama Qasr-i Arifan) di dekat Bukhara,
yang juga merupakan tempat di mana ia wafat pada tahun 1389. Sebagian besar
masa hidupnya dihabiskan di Bukhara, Uzbekistan serta daerah di dekatnya,
Transoxiana. Ini dilakukan untuk menjaga prinsip “melakukan perjalanan di dalam
negeri”, yang merupakan salah satu bentuk “laku” seperti yang ditulis oleh Omar
Ali-Shah dalam bukunya “Ajaran atau Rahasia dari Tariqat Naqsyabandi”.
Perjalanan jauh yang dilakukannya hanya pada waktu ia menjalankan ibadah haji
dua kali.
Dari awal, ia memiliki kaitan erat dengan Khwajagan, yaitu para guru
dalam mata rantai Tariqat Naqsyabandi. Sejak masih bayi, ia diadopsi sebagai
anak spiritual oleh salah seorang dari mereka, yaitu Baba Muhammad Sammasi.
Sammasi merupakan pemandu pertamanya dalam mempelajari ilmu tasawuf. tepatnya
ketika ia menginjak usia 18 tahun, dan yang lebih penting lagi adalah
hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, yaitu Amir Sayyid Kulal
al-Bukhari (w. 772/1371). Dari Kulal inilah ia pertama kali belajar terekat
yang didirikannya.
Terakat Naqsabandiyah adalah satu-satunya tarekat terkenal yang silsilah
penyampaian ilmu spritualnya kepada Nabi Muhammad saw. melalui penguasa Muslim
pertama yakni Abu Bakar Shidiq , tidak seperti tarekat-tarekat sufi
terkenal lainnya yang asalnya kembali kepada salah satu imam Syi’ah, dan dengan
demikian melalui Imam ‘Ali, sampai Nabi Muhammad SAW. Tariqat Naqshbandiyah
terbina asas dan rukunnya oleh 5 bintang yang bersinar diatas jalan Rasulullah
(s.a.w) ini dan inilah yang merupakan ciri yang unik bagi tariqat ini yang
membezakannya daripada tariqat lain. Lima bintang yang bersinar itu ialah Abu
Bakr as-Siddiq,Salman Al-Farisi,Bayazid al-Bistami,Abdul Khaliq al-Ghujdawani
dan Muhammad Bahauddin Uwaysi a-Bukhari yang lebih dikenali sebagai Shah
Naqshband – Imam yang utama didalam tariqat ini.
3. Perkembangan Tarekat Naqsabandiyah
a. Gambaran Umum Perkembangan Tarekat Naqsabandiyah
Dalam perkembangannya Tarekat Naqsabandiyah sudah menyentuh lapisan
masyarakat muslim di berbagai wilayah, dengan dampak dan pengaruhnya Tarekat
ini pertama kali berdiri di Asia Tengah kemudian meluas ke Turki, Suriah,
Afganistan, dan India. Di Asia Tengah bukan hanya di kota-kota penting,
melainkan di kampung-kampung kecil pun tarekat ini mempunyai Zawiyah (padepokan
sufi) dan rumah peristirahatan Naqsabandi sebagai tempat berlangsungnya
aktivitas keagamaan yang semarak[5] Disamping itu tarekat ini juga berkembang Bosnia-Herzegovina, dan
wilayah Volga Ural.
Pengaruh mereka mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan
yang paling lemah adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh
Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan “Islam bawah tahan” di Kaukasus Asia
Tengah. Namun, pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak diikuti perkembangan
Naqsyabandiyah di permukaan.
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag dalam ”Tarekat-tarekat Muktabarah di
Indonesia” memberikan ciri-ciri yang menonjol dalam tarekat ini[6] yaitu :
- Mengikuti syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah dan menolak musik dan tari dalam ibadah dan lebih menyukai berzikir dalam hati.
- Upaya yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama. Berbeda dengan tarekat lainnuya, tarekat naqsabandiyah tidak menganut kebijaksanan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu. Sebaliknya berusaha untuk mengubah pandangan mereka melalui gerakan politiknya.
- membebankan tanggung jawab yang sama kepada para penguasa sebagai usaha untuk memperbaik masyarakat.
b. Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah dan Tokohnya
Baha’ al-Din Naqsabandi sebagai pendiri tarekat ini, dalam menjalankan
aktivitas dan penyebaran tarekatnya mempunyai khalifah utama, yaitu Ya’qub Carkhi,
Ala’ al-Din Aththar dan Muhammad Parsa. Yang paling menonjol dalam perkembangan
selanjutnya adalah ’Ubaidillah Ahrar. Ubaidillah terkenal dengan Syeikh yang
memilki banyak lahan, kekayaan, dan harta. Ia mempunyai watak yang sederhana
dan ramah, tidak suka kesombongan dan keangkuhan. Ia menganggap kesombongan dan
keangkuhan merendahkan tingkat moral seseorang dan melemahkan tali pengikat
spritual.[7] Ia juga berjasa dalam meletakkan ciri khas tarekat ini yang terkenal
dalam menjalin hubungan akrab dengan para penguasa saat itu sehingga ia
mendapat dukungan yang luas jangkauannya. Pada tatanan selanjutnya tarekat ini
mulai menyebarkan gerakannya diluar Islam.
Tokoh lain yang berperan besar dalam penyebaran tarekat ini secara
geografis adalah Said al-Din Kashghari. Ia juag telah membai’at penyair dan
ulama besar ’Abd al-Rahman Jami’ ia yang kemudian mempopulerkan tarekat ini
dikalangan istana. Kontribusi utama Jami’ adalah paparannya tentang pemikiran
Ibnu ’Arabi dan mengomentari karya-karya Ibnu Arabi, Rumi, Parsa dan
sebagainya, sehingga tersusun dalam gubahan syair yang mudah dipahami dari
gagasan mereka tersebut.
Di India, Tarekat ini mulai tersebar pada tahun 1526. Baqi Billah,
dilahirkan di Kabul merupakan syeikh yang menyebarkan ajaran Tarekat ini di
India. Ia mengembangkan ajaran Tarekat ini kepada orang awam dan kaum bangsawan
Mughal. Dakwahnya di India berlangsung selama 5 tahun. Hampir semua garis
silsilah pengikut Naqsabandiyah di India mengambil garis spritual mereka
melalui Baqi Biillah dan Khalifahnya Ahmad Sirhindi.[8]
Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang
Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani
(“Pembaru Milenium kedua”). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim
dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan
sebagian besar Asia Tengah.[9] Orientasi Baru yang di bawa Sirhindi ini terlihat pada pemahamannya
yang menolak paham Wahdatul Wujud yang dibawa Ibnu ’Arabi. Sirhindi sangat
menuntut murid-muridnya agar berpegang secara cermat pada Al-Qur’an dan
Tradisi-tradisi Nabi.
- c. Pelopor dan Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah Di Nusantara
AjaranTarekat Naqsabandiyah di Indonesia pertama kali di perkenalkan
oleh Syeikh Yusuf Al-Makassari(1626-1699). Seperti disebutkan dalam bukunya safinah
al-Najah ia telah mendapat ijazah dari Syeikh Naqsabandiyah yaitu Muhammad
’Abd al Baqi di Yaman dan mempelajari tarekat ini ketika berada di Madinah
dibawah bimbingan Syaikh Ibrahim al-Kurani. Syeikh Yusuf berasal dari Kerajaan
Gowa Sulawesi. Pada tahun 1644 ia pergi ke Yaman kemudian diteruskan lagi ke
makkah, madinah untuk menuntut ilmu dan naik haji. Karena kondisi politik saat
itu, ia mengrungkan niatnya untuk pulang ke tanah kelahirannya di Makassar
sehingga membawanya menetap di Jawa Barat Banten hingga ia menikah dengan putri
Sultan Banten. Kehadirannya di Banten membawa sumbangan besar dalam mengangkat
nama Banten sebagai pusat pendidikan Islam. mIa terkenal sebagai ulama
Indonesia pertama yang menulis tentang tarekat ini.
Syeikh Yusuf telah menulis berbagai risalah mengenai Tasawuf dan menulis
surah-surah tentang nasihat kerohanian untuk orang-orang penting. Kebanyakan
risalah dan surah-surahnya ditulis dalam bahasa Arab dan Bugis[10]. Didalam tulisan-tulisannya, Syeikh Yusuf tetap
konsisten pada paham Wahdatul Wujud dan menekankan akan pentingnya
meditasi melalui seorang Syeikh (Tawassul) dan kewajiban sang murid untuk patuh
tanpa banyak tanya kepada gurunya. Ia mengemukakan bahwa kepatuhan paripurna
kepada syeikh merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi demi pencapaian
spiritual.[11]
Tarekat Naqsabandiyah menyebar di nusantara berasal dari pusatnya di
Makkah, yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang beajar disana dan oleh
para jemaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan
tarekat ini keseluruh pelosok nusantara.
Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara dapat dilihat dari para
tokoh-tokoh tarekat ini yang mengambangkan ajaran Tareqat Naqsabandiyah di
bebarapa pelosok nusantara diantaranya adalah :
- Muhammad Yusuf adalah yang dipertuan muda di kepulauan Riau, beliau menjadi sultan di pulau tempat dia tinggal. Dan mempunyai istana di penyengat dan di Lingga.
- Di Pontianak, sebelum perkembangannya telah ada Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah. Tarekat Naqsabandiyah mulai dikembangkan oleh Ismail Jabal yang merupakan teman dari Usman al-Puntani (ulama yang terkenal di Pontianak sebagai penganut Tasawuf dan penerjemah tak sufi)
- Di Madura, Tarekat Naqsabandiyah sudah hadir pada abad ke 11 hijriyah. Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah merupakan Tarekat yang paling berpengaruh di Madura dan juga di beberapa tempat lain yang banyak penduduknya bersal dari madura, seperti surabaya, Jakarta, dan Kalimantan Barat.
- Di Dataran Tinggi Minangkabau tarekat Naqsabandiyah adlah yang paling padat. Tokohnya adalah jalaludin dari Cangking, ’Abd al Wahab, Tuanku Syaikh Labuan di Padang. Perkembangannya di Minangkabau sangat pesat hingga sampai ke silungkang, cangking, Singkarak dan Bonjol.
- Di Jawa Tengah berasal dari Muhammad Ilyas dari Sukaraja dan Muhammad Hadi dari Giri Kusumo. Popongan menjadi salah satu pusat utama Naqsabandiyah di Jawa Tengah.\
Perkembangan selanjutnya di Jawa antara lain di Rembang, Blora,
Banyumas-Purwokerto, Cirebon, Jawa Timur bagian Utara, Kediri, dan Blitar.
Tarekat ini merupakan satu-satunya tarekat yang terwakili di semua
provinsi yang berpenduduk mayoritas muslim. Tarekat ini sudah tersebar hampir
keseluruh provinsi yang ada di tanah air yakni sampai ke Jawa, Sulawesi
Selatan, Lombok, Madura, Kalimantan Selatan, Sumatra, Semenanjung Malaya,
Kalimantan Barat, dan daerah-daerah lainnya. Pengikutnya terdiri dari berbagai
lapisan masyarakat dari yang berstatus sosial rendah sampai lapisan menengah
dan lapisan yang lebih tinggi.
d. Ajaran Tarekat Naqsabandiyah
1). Azas-Azas
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari
asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah
penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu
dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut
Khalidiyah, Jami al-’Ushul Fi al-’Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi
itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir
al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di
Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian
besar mirip dengan uraian Taj al-Din Zakarya (“Kakek” spiritual dari Yusuf
Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan
namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut
Naqsyabandiyah India).[12]
- Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
- Nazar bar qadam: “menjaga langkah”. Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
- Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”. Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].\
- Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”. Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep “innerweltliche Askese” dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang”; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
- Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.
- Baz gasyt: “kembali”, ” memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.
- Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): “Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.”
- Yad dasyt: “mengingat kembali”. Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.
- Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
- Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
- Wuquf-I qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di atasnya.
2). Zikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah
dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la
ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan
yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah
membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah
dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan
dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua,
jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat
Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri.
Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara
sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung
ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir
berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu,
pada malam Jum’at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari
sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.
- Dzikir ism al-dzat, “mengingat yang Haqiqi” dan dzikir tauhid, ” mengingat keesaan”. Yang duluan terdiri dari pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata.
- Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.
Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih
tinggi tingkatannya adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan
kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas)
berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh.
- Mukasyah. Mula-mula zikir dengan nama Allah dalam hati sebanyak 5000 kali sehari semalam. Kemudian melaporkan kepada syeikh untuk di naikkan zikirnya menjadi 6000 kali sehari-semalam. Zikir 5000 dan 6000 itu dinamakan maqam pertama.
- lathifah (jamak latha’if), zikir ini antara 7000 hingga 11.000 kali sehari-semalam. Terbagi kepada tujuh macam yaitu qalb (hati), ruh (jiwa), sirr (nurani terdalam), khafi (kedalaman tersembunyi), akhfa (kedalaman paling tersembunyi), dan nafs nathiqah (akal budi),. Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Ternyata latha’if pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu letaknya berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi seluruhnya sama saja.
- Nafi’ Itsbat, pada tahap ini, atas pertimbangan syeikh, diteruskan zikirnya dengan kalimat la ilaha illa Allah. Merupakan maqam ke-tiga
- Waqaf Qalbi
- Ahadiah
- Ma’iah
- Tahlil, Setelah samapat pada maqam terakhir ini maka sang murid tersebut akan memperolah gelar Khalifah, dengan ijazah dan berkewajiabn menyebarluaskan ajaran tarekat ini dan boleh. Mendirikan suluk yang dipimpin oleh mursyid.
Ajaran tarekat naqsabandiyah
Ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat
aspek pokok yaitu: syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus
dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah.
Ajaran yang nampak kepermukaan dan memiliki tata aturan adalah suluk atau
khalwat. Suluk ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang
terpencil, guna melakukan zikir di bawah bimbingan seorang syekh atau
khalifahnya selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari.
Tata cara bersuluk ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging,
ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul
dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau
mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan
untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah.
Sebelum suluk ada beberapa tahapan yaitu; Talqin dzikir atau bai’at
dzikir, tawajjuh, rabithah, tawassul dan dzikir. Talqin dzikir atau bai’at
dzikir dimulai dengan mandi taubat, bertawajjuh dan melakukan rabithah dan
tawassul yaitu melakukan kontak (hubungan) dengan guru dengan cara membayangkan
wajah guru yang mentalqin (mengajari dzikir) ketika akan memulai dzikir.
Dzikir ada 5 tingkatan, murid belum boleh pindah tingkat tanpa ada izin
dari guru. Kelima tingkat itu adalah (a) dzikir ism al-dzat, (b) dzikr
al-lata’if, (c) dzikir naïf wa isbat, (d) dzikir wuquf dan ( e) dzikir
muraqabah.
Ajaran Asasnya:
- Ismu Zat (Allah), Nafi Isbat (La ilaha Illa Allah)
- 2. Baz Ghast – kembali kpd Allah
- 3. Nigah Dasyat
– menjaga, mengawasi, memelihara , bersungguh-sungguh.
- 4. Yad Dasyat
– mengingati Allah secara bersungguh
- Zikir memelihara hati dalam setiap nafas
- 5. Hosh Dar Dam
– sadar dalam nafas/berzikir secara sedar dalam nafas/empat ruang nafas,
-2 ruang nafas keluar masuk, dua ruangan antara nafas keluar
masuk/zikirnya adalah ALLAH
- 6. Nazar Bam Qadar
– Bila berjalan sentiasa memandang ke arah kakinya, jangan melebihkan
pandang , duduk pandang ke hadapan, merendahkan pandangan, jangan toleh kiri
dan kanan
- 7. Safar dar watan –
Bersiar-siar dalam kampong dirinya/ meningkatkan dirinya kpd sifat
malaikat:
- Taubat
- Inabat
- Sabar
- Syukur
- Qana’ah
- Wara’
- Taqwa
- Taslim
- Tawakkal
- Redha
Perjalanan ada dua jenis:
a) Perjalanan luar: dari satu tempat ke satu tempat mencari pembimbing Rohani
b) Perjalanan dalam- tinggalkan segala tabiat buruk kepada adab tertib yang baik dan mengeluarkan segala isi hainya dari keduniaan (Dalam hatinya akan muncul segala apa yang diperlukan olehnya dalam kehidupan ini dan kehidupan mereka yang berada di sampaingnya) - 8. Khalwat dar Anjuman
Bersendirian dalam keramaian/Khalawt kabir dan jalwat (Apabila sudah mencapai
fana menerusi zikir fikir dan semua dari luaran difanakan, pada waktu itu deria dalam
bebas meneroka ke alam kebesaran dan keagungan kerajaan Allah SWT.) - 9. Wukuf Qalbi
– Tumpuan hati dan hati pula tumpu pada Allah
10. Wuquf Abadi
– memerhatikan bilangan ganjil dalam zikir naïf isbat
11. Wuquf zamani
– Selepas solat lakukan beberapa minit sentiasa memerhatikan hati
bertawajjuh kepada Allah swt
- Selang beberapa jam/setiap jam semak semula kedaan hati , mempastikan
hati sentiasa ingat kepada Allah
Cabang:
Yasawi – Kwajagan
Sidiqiyah – Saidina Abu Bakar as Siddiq
Taifuriyah – Abu Yazid Bustami
Khawajahganiyah – Abdul Khaliq Ghudjuwani
Naqsyabandiyah – Muhammad Bahauddin
Ahrariyah – Ubaidullah Ahrar Ragamatullah
Mujaddidiyah – Syekh Ahmad Faruqi Sirhindi
Mazhariyah – Mirza Mashar Jan janan Syahid
Aliyah – Shah Abdullah Ghulam Ali Dehlawi
Khalidiyah – Syekh Ziauuddin Muahammad Khalid Uthmani Kurdi
Yasawi – Kwajagan
Sidiqiyah – Saidina Abu Bakar as Siddiq
Taifuriyah – Abu Yazid Bustami
Khawajahganiyah – Abdul Khaliq Ghudjuwani
Naqsyabandiyah – Muhammad Bahauddin
Ahrariyah – Ubaidullah Ahrar Ragamatullah
Mujaddidiyah – Syekh Ahmad Faruqi Sirhindi
Mazhariyah – Mirza Mashar Jan janan Syahid
Aliyah – Shah Abdullah Ghulam Ali Dehlawi
Khalidiyah – Syekh Ziauuddin Muahammad Khalid Uthmani Kurdi
- H. TARIKAT SUHRAWARDIYAH DAN AJARANNYA
Syeikh Ziauddin Jahib Suhrawardi, mengikuti disiplin Sufi kuno, Junaid
al-Baghdadi, dianggap sebagai pendiri tarekat ini pada abad kesebelas Masehi.
Seperti halnya tarekat-tarekat lain, guru-guru Suhrawardi diterima oleh
pengikut Naqsyabandi dan lainnya. India, Persia dan Afrika semuanya dipengaruhi
aktikitas mistik mereka melalui metode dan tokoh-tokoh tarekat, kendati
pengikut Suhrawardi ada diantara pecahan terbesar kelompok-kelompok
Sufi.Praktek-praktek mereka diubah dari kegembiraan mistik kepada latihan diam
secara lengkap untuk ‘Persepsi terhadap Realitas’.
Bahan-bahan instruksi (pelajaran) tarekat seringkali, untuk seluruh
bentuk, hanya merupakan legenda atau fiksi. Bagaimanapun bagi penganut, mereka
mengetahui materi-materi esensial untuk mempersiapkan dasar bagi
pengalaman-pengalaman yang harus dijalani murid. Tanpa itu, diyakini, ada
kemungkinan bahwa murid dengan sederhana mengembangkan keadaan pemikiran yang
sudah berubah, yang membuatnya tidak cakap dalam kehidupan sehari-hari.
Syihabuddin Yahya ibn Habasyi ibn Amirak dari Suhrawardi (dekat Zanjan di Iran barat- laut), dalam tradisi filosofis dan mistik (tasawuf) di dunia Islam timur, dikenal sebagai Syaikh Al-Isyraq (‘Guru Pencerah’) menyusul aliran Isyraqiyyah dalam teosofi dan filsafat dimana dia dianggap sebagai pendirinya. Dipenjara di Aleppo atas perintah putra Shaladin, Al-Malik Azh-Zhahir, dan dihukum mati pada tahun 1191 dalam usia 38 tahun, dan karena inilah dia dikenal sebagai Suhrawardi Maqtul (yang dihukum mati), untuk membedakannya dari beberapa Suhrawardi terkenal lainnya.
Syihabuddin Yahya ibn Habasyi ibn Amirak dari Suhrawardi (dekat Zanjan di Iran barat- laut), dalam tradisi filosofis dan mistik (tasawuf) di dunia Islam timur, dikenal sebagai Syaikh Al-Isyraq (‘Guru Pencerah’) menyusul aliran Isyraqiyyah dalam teosofi dan filsafat dimana dia dianggap sebagai pendirinya. Dipenjara di Aleppo atas perintah putra Shaladin, Al-Malik Azh-Zhahir, dan dihukum mati pada tahun 1191 dalam usia 38 tahun, dan karena inilah dia dikenal sebagai Suhrawardi Maqtul (yang dihukum mati), untuk membedakannya dari beberapa Suhrawardi terkenal lainnya.
Syeikh Ziauddin Jahib Suhrawardi, mengikuti disiplin Sufi kuno, Junaid
al-Baghdadi, dianggap sebagai pendiri tarekat ini pada abad kesebelas Masehi.
Seperti halnya tarekat-tarekat lain, guru-guru Suhrawardi diterima oleh
pengikut Naqsyabandi dan lainnya.
India, Persia dan Afrika semuanya dipengaruhi aktikitas mistik mereka
melalui metode dan tokoh-tokoh tarekat, kendati pengikut Suhrawardi ada
diantara pecahan terbesar kelompok-kelompok Sufi.
Praktek-praktek mereka diubah dari kegembiraan mistik kepada latihan
diam secara lengkap untuk ‘Persepsi terhadap Realitas’.
Bahan-bahan instruksi (pelajaran) tarekat seringkali, untuk seluruh
bentuk, hanya merupakan legenda atau fiksi. Bagaimanapun bagi penganut, mereka
mengetahui materi-materi esensial untuk mempersiapkan dasar bagi
pengalaman-pengalaman yang harus dijalani murid. Tanpa itu, diyakini, ada
kemungkinan bahwa murid dengan sederhana mengembangkan keadaan pemikiranang
sudah berubah, yang membuatnya tidak cakap dalam kehidupan sehari-hari.
IBNU YUSUF SI TUKANG KAYU
Pada suatu waktu, terdapat seorang tukang kayu bernama Nazhar bin Yusuf.
Ia menghabiskan sebagian hidupnya selama bertahun-tahun untuk mempelajari
kitab-kitab kuno yang berisi banyak pengetahuan yang sudah agak terlupakan.
Ia mempunyai pelayan setia, dan suatu hari ia berkata padanya: “Aku
sekarang berhasil memperoleh pengetahuan kuno yang harus digunakan untuk
menjamin keberadaanku selanjutnya. Oleh karena itu aku ingin engkau membantuku
menyelesaikan proses yang akan membuatku muda lagi dan abadi.”
Ketika ia menjelaskan prosesnya, si pelayan pertama kali merasa segan
untuk menyelesaikannya. Si pelayan memotong-motong Nazar dan memasukkannya di
dalam sebuah tong besar, diisi dengan cairan tertentu.
“Aku tidak dapat membunuhmu,” ujar pelayan.
“Ya, engkau harus, karena toh aku akan mati, dan engkau akan kehilangan.
Ambillah pedang ini. Jaga terus tong ini, jangan katakan siapa pun apa yang
sesungguhnya engkau lakukan. Setelah duapuluh delapan hari, bukalah tongnya dan
keluarkan aku. Aku akan memperoleh kembali kemudaanku.”
Setelah beberapa hari, dalam kesepiannya, pelayan mulai merasa sangat
tidak nyaman, dan semua jenis keraguan pun menjangkitinya. Maka ia mulai
membiasakan diri dengan peran anehnya. Secara teratur orang datang ke rumah dan
menanyakan majikannya, tetapi ia cuma dapat menjawab, “Sementara ini ia tidak
di sini.”
Akhirnya pihak berwenang datang, curiga bahwa si pelayan berbuat sesuatu
pada majikannya sehubungan dengan lenyapnya dia. “Biarkan memeriksa rumah,”
kata mereka, “Jika kami tidak menemukan apa pun, kami akan menahanmu sampai
majikanmu muncul.”
Si pelayan tidak tahu apa yang harus dilakukan, pada saat itu sudah
berlangsung selama duapuluh satu hari. Tetapi ia mengambil keputusan, dan
berkata;
“Tinggalkan aku di sini bersama tong ini sebentar, dan kemudian aku siap
ikut denganmu.”
Ia pun pergi ke kamar dan membuka tutup tong.
Tiba-tiba manusia kecil, tampak lebih muda tetapi persis seperti
majikannya, kendati cuma setinggi tangan, melompat keluar tong, dan berlari
berputar-putar, sambil terus berucap.
“Terlalu cepat, terlalu cepat…”
Kemudian, saat pelayan masih memandang dengan terkejut, benda kecil itu
lenyap di udara.
Pelayan keluar dari kamar, petugas menangkapnya. Majikannya tidak pernah
terlihat lagi, kendati banyak sekali legenda tentang Nazar bin Yusuf si tukang
kayu; tetapi harus kita tinggalkan untuk kesempatan lain.
GADIS YANG KEMBALI DARI KEMATIAN
Pada zaman dulu terdapat seorang gadis cantik; putri seorang pria yang
baik, seorang perempuan yang kecantikan dan kehalusan gerak-geriknya tiada
banding.
Ketika usianya dewasa, tiga pemuda, masing-masing menunjukkan kapasitas
yang tinggi dan menjanjikan, melamarnya.
Setelah memutuskan bahwa ketiganya sebanding, sang ayah menyerahkan
keputusan akhir pada putrinya.
Berbulan-bulan sudah, dan si gadis tampaknya belum juga mengambil
keputusan.
Suatu hari ia tiba-tiba jatuh sakit. Dalam beberapa saat ia meninggal.
Ketiga pemuda tersebut, bersama-sama ikut ke makam, membawa jasadnya ke
pemakaman dan dikebumikan dengan kesedihan yang sangat dalam.
Pemuda pertama, menjadikan pusara sebagai rumahnya, menghabiskan
malam-malamnya di sana dalam penderitaan dan perenungan, tidak dapat memahami
berjalannya takdir yang membawanya pergi.
Pemuda kedua, memilih jalanan dan berkelana ke seluruh dunia mencari
pengetahuan, menjadi seorang fakir.
Pemuda ketiga, menghabiskan waktunya untuk menghibur sang ayah yang
kehilangan.
Sekarang, pemuda yang menjadi fakir dalam perjalanan menuju ke sebuah
tempat di mana terdapat seorang yang terkenal karena karya seninya yang luar
biasa. Melanjutkan pencarian pengetahuan, ia kemudian berdiri di sebuah pintu,
dan diterima di meja tuan rumah.
Ketika tuan rumah mengundangnya makan, ia sudah mulai menyantap hidangan
ketika seorang anak kecil menangis, cucu orang bijak tersebut.
Si guru menggendong bocah dan melemparnya ke api.
Seketika si fakir melompat dan meninggalkan rumah, menangis:
“Iblis keji! Aku sudah membagi penderitaanku ke seluruh dunia, tetapi
kejahatan ini melebihi semua yang pernah dicatat sejarah!”
“Jangan berpikir apa pun,” ujar tuan rumah, “Untuk hal-hal sederhana
akan tampak muncul secara terbalik, kalau engkau tidak memiliki pengetahuan.”
Sambil berkata, ia membaca suatu mahtera dan mengacungkan sebuah emblem
berbentuk aneh, bocah tersebut keluar dari api tanpa luka.
Si fakir mengingat-ingat kata-kata dan emblem tersebut, pagi berikutnya
ia kembali ke pemakaman di mana kekasihnya dimakamkan.
Singkat kata, si gadis berdiri di depannya, kembali hidup sepenuhnya.
Gadis itu kembali ke ayahnya, sementara para pemuda berselisih siapa
diantara mereka yang bakal dipilih.
Yang pertama berkata, ‘Aku tinggal di pusara, memeliharanya dengan
kesiap-siagaanku, berhubungan dengannya, menjaga kebutuhan ruhnya akan dukungan
duniawi.”
Yang kedua mengatakan, “Kalian berdua mengabaikan kenyataan, bahwa
akulah yang sesungguhnya berkeliling dunia mencari pengetahuan, dan akhirnya
menghidupkannya kembali.”
Yang ketiga mengatakan, “Aku telah berduka untuknya, dan seperti seorang
suami serta menantu aku tinggal di sini, menghibur ayah, membantu merawatnya.”
Mereka meminta si gadis menjawab, yang kemudian dijawabnya:
“Ia yang menemukan mantera untuk mengembalikan aku, adalah seorang
pengasih sesama manusia; ia yang merawat ayahku seolah anak baginya; ia yang
berbaring di sisi pusaraku – ia bertindak seperti seorang kekasih. Aku akan
menikahinya.”
PERUMPAMAAN TUAN RUMAH DAN TAMU
Para guru seperti tuan di rumahnya sendiri. Tamu-tamunya adalah mereka
yang mencoba mempelajari ‘Jalan’. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak
pernah di rumah tersebut sebelumnya, dan mereka hanya mempunyai pemikiran yang
samar, seperti apa sebenarnya rumah tersebut. Meskipun demikian, rumah itu ada.
Ketika tamu memasuki rumah dan melihat tempat khusus untuk duduk, mereka
bertanya, “Apakah ini?” Dijawab, “Ini tempat di mana kami duduk.” Maka mereka
duduk di kursi, dengan sedikit kesadaran tentang fungsi kursi.
Tuan rumah menjamu mereka, tetapi mereka terus bertanya, kadang-kadang
tidak berhubungan. Sebagai tuan rumah yang baik, ia tidak menyalahkan mereka.
Mereka ingin tahu, misalnya, di mana dan kapan mereka akan makan. Mereka tidak
tahu kalau tidak seorang pun sendirian, dan pada saat itu juga ada orang lain
yang memasak makanan, serta terdapat ruang lain di mana mereka akan duduk dan
menikmati makanan. Karena mereka tidak dapat melihat makanan atau persiapannya,
maka mereka bingung, barangkali penuh keraguan, kadang-kadang perasaannya
kurang tentram.
Tuan rumah yang baik, mengetahui masalah tamunya, harus menentramkan
mereka, sehingga mereka dapat menikmati makanan saat disajikan. Pada mulanya
mereka segan mendekati makanan. Sebagian tamu cepat mengerti dan menghubungkan
satu hal tentang rumah tersebut kepada yang lain. Mereka ini adalah orang-orang
yang dapat mengkomunikasikan kepada teman mereka yang lambat. Tuan rumah,
sementara itu, memberi jawaban kepada masing-masing tamu sesuai kapasitasnya
memahami kesatuan dan fungsi sebuah rumah.
Namun hal itu tidaklah cukup untuk keberadaan sebuah rumah –karena harus
siap menerima tamu– maka harus ada tuan rumahnya. Seseorang harus latihan
secara aktif tentang fungsi rumah, supaya orang asing yang menjadi tamu serta
mereka yang menjadi tanggung jawab tuan rumah, memungkinkannya terbiasa dengan
rumah tersebut. Pada awalnya, sebagian besar dari mereka tidak menyadari bahwa
mereka adalah tamu, dan apa makna tamu sesungguhnya; apa yang dapat mereka
bawa, dan apa yang diberikan kepada mereka.
Tamu yang berpengalaman, yang telah belajar tentang rumah dan keramahan,
pada akhirnya berkurang kikuknya, dan ia kemudian berada pada kedudukan untuk
lebih memahami rumah dan beberapa bentuk kehidupan di dalamnya. Sementara ia
tetap mencoba memahami apa rumah itu, atau mencoba mengingat aturan-aturan
etika, perhatiannya terlalu banyak disita oleh faktor-faktor ini sehingga dapat
meneliti, katakanlah, keindahan, nilai atau fungsi perabotan.
ILMU PERBINTANGAN
Suatu ketika, melalui ilmunya, seorang Sufi mengetahui bahwa sebuah kota
akan diserang musuh. Ia mengatakannya kepada tetangga, yang menyadari bahwa ia
orang yang jujur tetapi sederhana, kemudian menganjurkan:
‘Aku yakin kalau engkau benar, dan engkau harus pergi memberitahu raja.
Tetapi jika engkau ingin dipercaya, tolong katakan bahwa engkau diilhami, bukan
dari kearifan, tetapi dari ilmu perbintangan. Maka ia akan bertindak, dan kota
mungkin selamat.”
Sufi tersebut melakukannya, dan penduduk kota diselamatkan dengan
tindakan pencegahan yang tepat.
PERKATAAN SYEIKH ZIAUDDIN
Pembenaran diri lebih buruk daripada perasaan murni.
TIGA CALON SUFI
Tiga orang berhasil memasuki lingkaran Sufi, meminta izin untuk
pengajarannya. Salah seorang diantara mereka hampir saja melepaskan diri, marah
karena perilaku aneh sang guru.
Yang kedua, diberitahu oleh murid-murid lainnya (atas petunjuk guru)
bahwa guru tersebut seorang penipu. Ia segera mengundurkan diri.
Yang ketiga dibiarkan bicara, tetapi ia sama sekali tidak ditawari
pelajaran dalam waktu yang lama, hingga ketertarikannya hilang dan meninggalkan
lingkaran tersebut.
Ketika semuanya pergi, sang guru berkata demikian:
“Orang pertama adalah gambaran tentang prinsip: ‘Jangan menilai hal-hal
fundamental melalui penglihatan’.”
Orang kedua adalah gambaran tentang keputusan, ‘Jangan menilai hal-hal
yang amat penting hanya dengan mendengarkan.’
Orang ketiga adalah contoh tentang ucapan: ‘Jangan menilai melalui
pidato (ceramah), atau kekurangan akan hal itu’.”
Ditanya oleh murid, mengapa para pelamar tidak diberi petunjuk dalam
persoalan tersebut, sang guru menjawab:
“Aku di sini untuk memberi pengetahuan yang lebih tinggi; bukan mengajar
orang-orang yang menganggap bahwa mereka sudah tahu di lutut ibunya.”
MEMBUATKU BERPIKIR TENTANG …
Suhrawardi mengatakan:
“Aku pergi menemui teman, dan kami duduk mengobrol.
Terdapatlah seekor unta melintas dengan lambat, dan aku berkata padanya:
Apa yang membuatmu berpikir?’
Katanya, ‘Makanan.’
‘Tetapi engkau bukan orang Arab; sejak kapan daging unta untuk makanan?’
‘Tidak, tidak seperti itu,’ katanya. ‘Kau lihat, semuanya membuatku
berpikir tentang makanan’.”
TAREKAT
KHALWATIYAH
28 Mar 2010
Berjuang Melawan Penjajah hingga Rezim Otoriter
Umumnya, nama sebuah tarekat sufi diambil dari nama sang pendiri.
Seperti Tarekat Qadiriyah dari Syekh AbdulQadir al-Jailani atau Tarekat
Naqsyabandiyah dari Muhammad Bahauddin Naqsyabandi. Tapi, Tarekat Khalwatiyah
justru diambil dari kata khalwat yang artinya menyendiri untuk merenung.
Secara naab, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat
Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah yang
didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi
(539-632 H).
Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern,
ajaran Tarekat Khalwatiyah pertama kali muncul di wilayah Asia Tengah pada abad
ke-15 M, yakni saat Dinasti Usmaniyah berkuasa. Dalam waktu satu abad, tarekat
ini telah menjelma menjadi tarekat sufi yang paling luas dan menyebar di
wilayah kesultanan Islam tersebut. Meskipun, dalam perkembangannya, mengalami
saat-saat kemandekan, kemunduran, dan kebangkitan kembali.
Kebangkitan kembali Khalwatiyah diprakarsai oleh Musthafa ibn Kamal
al-Din al-Bakri (1688-1748 M). Al-Bakri merupakan seorang penyair sufi asal
Damaskus, Syria, yang menjalani hampir seluruh kehidupannya di Yerusalem. Ia
mengambil tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin
Syekh Husamuddin al-Halabi.
Musthafa al-Bakri sejak kecil dikenal sebagai seorang zahid yang cerdas.
Dalam salah satu bukunya, ia menceritakan bahwa dirinya pernah mengalami
kehidupan sebatang kara. Kedua orang tuanya bercerai saat ia berusia dua tahun.
Ia kemudian tinggal bersama ayahnya setelah ibunya menikah lagi.
Semasa hidupnya, al-Bakri senang bepergian, terutama ke negeri-negeri di
kawasan Timur Tengah. Hal itu ia lakukan untuk menambah wawasan dan
pengetahuan. Ia pun belajar pada guru-guru yang berilmu tinggi. Beberapa tempat
yang pernah ia kunjungi adalah Palestina, Tripoli, Makkah, Baghdad, Basrah, dan
Mesir.
Khalwatiyah mengalami perkembagan pesat di Mesir ketika dipimpin oleh
murid al-Bakri, Muhammad ibn Salim al-Hifni (1689-1768). Pada pertengahan abad ke-18
M, Khalwatiyah menjadi tarekat sufi yang dominan di negeri berjuluk 1.000
menara itu. Selama lebih dari delapan puluh tahun (1757-1838), kedudukan Syekh
al-Azhar dipangku oleh penganut Khalwatiyah.
Dengan diilhami oleh al-Bakri, al-Hifni menjadikan Khalwatiyah di Mesir
sebagai tarekat yang berorientasi syariat. Ia juga berusaha merangkul semua
kalangan, tidak hanya para ulama terkemuka, tetapi juga orang kebanyakan.
Cabang Khalwatiyah Pengikut Khalwatiyah dari kalangan ulama tidak hanya
berasal dari kota-kota di penjuru Mesir. Para ulama Maghribi yang tengah
menunaikan haji ke Makkah pada abad ke-18 M dan singgah di Kairo jumlahnya
terus meningkat. Sebagian dari mereka sangat terpengaruh oleh al-Hifni dan para
syekh Khalwatiyah pengganti al-Hifni, seperti Mahmud al-Kurdi (1715-1780) dan
Ahmad al-Dardiri (1715-1786).
Berkat peran dari para ulama Maghribi ini, dua tarekat sufi baru
berkembang di Maghribi sebagai turunan Khalwatiyah. Muhammad ibn Abd al-Rahman
al-Azhari (1713-1793) menyebarkan Khalwatiyah di Aljazair. Lahirlah cabang baru
Khalwatiyah yang bernama Rahmaniyah.
Al-Azhari pula yang mengantarkan Sidi Ahmad al-Tijani, pendiri Tarekat
Tijaniyah, bergabung dengan Khalwatiyah. Al-Tijani mempelajari rahasia-rahasia
dari Mahmud al-Kurdi di Kairo dan dari Muhammad ibn Abd Al-Karim al-Samman di
Madinah.
Al-Samman mempunyai murid dari Indonesia bernama Abdul al-Shamad
al-Palimbani (1703-1788), yang kemudian mengajarkan Tarekat Sammaniyah di Tanah
Air (Sumatra). Seorang muridnya lagi berasal dari Sudan yang bernama Ahmad
al-Tayyib ibn al-Basyir (wafat 1823 M), lalu ia menyebarkan tarekat ini di
sana.
Pada abad ke-19 M, tiga cabang Khalwatiyah tersebut membangkitkan
gerakan melawan penjajah di pelbagai wilayah di Afrika. Rahmaniyah memimpin
pemberontakan melawan Prancis di Aljazair pada 1871. Sementara itu, al-Hajj
Umar al-Futi memprakarsai jihad Tijaniyah di Afrika Barat.
Di Mesir, kegiatan-kegiatan Khalwatiyah bersama dengan perhimpunan sufi
lainnya diatur dan diawasi secara ketat oleh pemerintah berdasarkan dekrit
Muhammad Ali pada 1812. Hampir satu setengah abad kemudian, pemerintah otoriter
lainnya, yaitu pemerintah Gamal Abdul Nasser, berupaya membatasi gerakan dan
sumber daya ekonomi tarekat-tarekat sufi. Dalam daftar tentang tarekat-tarekat
sufi yang berkembang di Mesir, yang disusun pada tahun 1964, tercatat ada 10
cabang Khalwatiyah meskipun sebagian besar tidak aktif.
Sementara itu, di Turki tarekat-tarekat sufi dinyatakan terlarang pada
1925 sebagai bagian dari program pembaruan penguasa Turki saat itu, Mustafa
Kemal Attaturk. Akan tetapi, tarekat-tarekat sufi tetap bergerak di bawah tanah
dan-mulai muncul kembali dalam kehidupan publik pada akhir 1950-an. Khalwatiyah
merupakan bagian dari proses kebangkitan Islam abad ke-20 itu.
Di wilayah Balkan, sejumlah pusat tarekat Khalwatiyah terus berkembang,
khususnya di Albania. Di sini, Khalwatiyah mampu bertahan hidup di bawah rezim
komunis.
berbagai sumber, ed rido
Secara naab, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat
Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah yang
didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi
(539-632 H). Dalam waktu satu abad, tarekat ini telah menjelma menjadi tarekat
sufi yang paling luas dan menyebar di wilayah kesultanan Islam tersebut. Pada
pertengahan abad ke-18 M, Khalwatiyah menjadi tarekat sufi yang dominan di
negeri berjuluk 1.000 menara itu. Cabang Khalwatiyah Pengikut Khalwatiyah dari
kalangan ulama tidak hanya berasal dari kota-kota di penjuru Mesir. Berkat peran
dari para ulama Maghribi ini, dua tarekat sufi baru berkembang di Maghribi
sebagai turunan Khalwatiyah. Al-Tijani mempelajari rahasia-rahasia dari Mahmud
al-Kurdi di Kairo dan dari Muhammad ibn Abd Al-Karim al-Samman di Madinah. Pada
abad ke-19 M, tiga cabang Khalwatiyah tersebut membangkitkan gerakan melawan
penjajah di pelbagai wilayah di Afrika. Di wilayah Balkan, sejumlah pusat
tarekat Khalwatiyah terus berkembang, khususnya di Albania.
STANDAR
KOMPETENSI
|
KOMPETENSI
DASAR
|
2.
Mengenal tarikat mu’tabaroh di Indonesia dan ajarannya
|
2.1.
Menjelaskan tarikat-tarikat mu’tabaroh di Indonesia dan
tokoh-tokohnya2.2. Membandingkan antara tarikat-tarikat
mu’tabaroh di Indonesia2.3. Mengaitkan ajaran-ajaran tarikat mu’tabaroh
di Indonesia dengan fenomena kehidupan sekarang
|
Perkembangan tarekat di Indonesia
1. Sejarah Perkembangan Tasawwuf dan Tarekat di Indonesia
Dalam hal kelahiran tasawwuf dalam islam, ada beberapa pendapat yang
berbeda. Menurut kayakinan sebagian besar orang Islam, lahirnya tasawwuf
bersamaan dengan lahirnya islam itu sendiri.Artinya, tasawwuf murni bersumber
dari sumber pokok ajaran islam itu sendiri, yaitu al Qur’an dan al Hadits. Hal
ini mengingat banyaknya isyarat yang tersirat bahkan tersurat dalam al Qur’an
dan al Hadits. Salah satunya adalah:
Artinya : “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” ( QS. Al Baqarah: 186)
(Ibid hal. 11)
Ayat diatas menunjukkan bahwa sejak awal Islam telah menyinggung masalah
umatnya dengan Tuhannya, yang merupakan spesialisasi ajaran tasawwuf.
Setelah tasawwuf itu lahir, ajaran ini terus mengalami perkembangan.
Namun para ulama berpendapat bahwa pada abad ke-5 Hijriyyah atau 13 Masehi,
baru muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan sufi sebelumnya. Hal ini
ditandai dengan adanya silsilah tarekat yang selalu dihubungkan nama pendiri
atau tokoh sufi yang yang lahir pada abad itu.(Sri Mulyati, Mengenal dan
Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hal.
6.)
Di Indonesia sendiri, kelahiran ajaran tasawwuf serta lembaga-lembaga
tarekatnya bersamaan dengan kehadiran Islam di kawasan ini. Sebagian muballigh,
yang menyebarkan Islam di Nusantara, telah mengenalkan ajaran Islam dalam
kapasitas mereka sebagai guru sufi.
Pendapat lain mengatakan bahwa, tasawwuf merupakan akulturasi ajaran
Islam dengan ajaran Kristen atau Hindu dan Budha. Noer Iskandar Al Barsyany,
Tasawwuf, Tarekat dan Para Sufi,(Jakarta: Grafindo, 2001) hal. 8-9
9Tentang kapan pribum nusantara memeluk Islam, para ahli berbeda
pendapat. Hal ini terjadi karena
Islamisasi di Indonesiatidak terdokumentasi dengan baik sehingga banyak
spekulasi dikalangan ilmuwan yang menimbulkan polemic yang hingga saat ini
belum selesai. Mungkin orang muslim asing memang sudah ada yang menetap di
pelabuhan dagang di Sumatra dan Jawa beberapa abad sebelum abad ke-16, namun
baru menjelang abad ke-10 ada bukti-bukti orang-orang pribumi memeluk Islam di
suatu kerajaan kecil Perlak, dilanjutkan pada abad ke-13 oleh kerajaan smudera
Pasai. Selama abad ke 14 dan 15 Islam secara berangsur-angsur menyebar ke
pantai utara Jawa dan Maluku. Terlepas dari semua itu,
Sejarawan mencatat bahwa karena factor tasawwuf dan tarekatlah
Islamisasi Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berlangsung damai. Ajaran
tasawwuf dapat dengan mudah dipadukan dengan ide-ide sufistik India dan pribumi
yang dianut masyarakat setempat.10
Dari perpaduan itulah, menyebabkan banyaknya tarekat dan organisasi
mirip tarekat yang
berkembang di Indonesia. Beberapa di antaranya hanya merupakan tarekat
local, misalnya
Wahidiyahdan Shiddiqiyah di Jawa Timur dan Syahadatain di Jawa Tengah.
Bahkan ada yang
merupakan cabangdari gerakan sufi Internasional, misalnya tarekat
Syattariyah, Khalwatiyah,
Naqsabandiyah, Syadziliyah dan lain sebagainya.11 Namun tampaknya, dari
sekian banyak
tarekat yang ada di seluruh dunia, hanya ada beberapa tarekat yang bisa
masuk dan berkembang di Indonesia. Faktor kemudahan system komunikasi dalam
kegiatan transmisinya serta tarekat – tarekat itu dibawa langsung oleh tokoh-tokoh
pengembangnya, yang kebanyakan berasal dari Persia dan India, sangat
mempengaruhi.12 Bahkan saat ini Indonesia telah mampu memilah dan memilih
antara tarekat yang mu’tabarah dan ghoiru mu’tabarah. KH. Dzikron Abdullah
memberi batasan-batasan suatu tarekat bisa dikategorikan sebagai tarekat
mu’tabarah apabila memenuhi kriteria dibawah ini:
a. sanad(silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi.
b.Pelaksanaan syari’at dalam suatu tarekat harus benar dan ketat.13
9 Ajid thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, (Bandung: Pustaka Hidayah,
2002) Hal 27.
10 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006 hal.7-
11 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,(Bandung:
Mizan, 1996), hal. 16
12 Ajid thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002)Hal 27-28
13ht t p:/ / orgawam .wordp ress.com / 2008/ 05/ 01/ t areqah – m ut abarah- di – indonesi
12 Ajid thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002)Hal 27-28
13ht t p:/ / orgawam .wordp ress.com / 2008/ 05/ 01/ t areqah – m ut abarah- di – indonesi
Bahkan lebih dari itu, ada beberapa tarekat yang lahir dan berkembang di
Indonesia. Ada yang merupakan hasil ulama’ lokal yang mengkolaborasikan
beberapa tarekat, dan ada juga yang memang hasil ijtihadnya. Diantaranya adalah
tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah didirikan oleh Syaikh Ahmad Katib Sambas,(
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2006) hal. 253). tarekat Shiddiqiyah yang didirikan oleh
Kyai Muchtar Mukti.( ht t p:/ / www.republ i ka.co.i d/ be ri t a/ 61218/ P
erkem bangan_T ar ekat _di _Duni a_Isl am)
- Pengaruh Tasawwuf dan Tarekat Terhadap Pemikiran Islam di Indonesia
Seperti telah di sebutkan di atas, bahwa ajaran tasawwuf berkembang
pesat karena orang- orang pribumi sangat antusias terhadap ajaran ini. Hal ini
dipengaruhi oleh kekentalan kehidupan pribumi terhadap mistik sebelum Islam
datang. Sehingga tidak lama setelah Islam bersama ajaran Tasawwufnya masuk ke
Nusantara, banyak ulama’ nusantara yang menggeluti ajaran ini, diantaranya
adalah Syaikh Yusuf Makassar, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al Sumatrani, Nuruddin
Al Raniri, Abdul Ra’uf Singkel dan lain-lain. (ht t p:/ / bai t ul am i n.org/
ri sal ah/ perkem bangan – tarekat – nusantara.ht m l). Ketika itu, corak
pemikiran Islam diwarnai oleh tasawwuf. Pemikiran para sufi besar Ibn Al ‘Araby
dan Abu Hamid Al Ghazali sangat berpengaruh terhadap pengamalan-pengamalan
muslimin generasi pertama.( Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat
Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hal.8)
Bahkan, kehadiran tarekat di tengah-tengah masyarakat Indonesia pada
masa penjajahan itu telah memberikan angin segar bagi rakyat jajahan yang ingin
melepaskan diri dari penjajahan. Timbulnya beberapa pemberontakan di Banten
pada tahun 1888, Kediri pada tahun 1888, dan Sidoarjo pada tahun 1904. Dengan
hal ini, terlihat bahwa pada waktu itu tarekat berfungsi tidak hanya sebagai
gerakan keagamaan, tetapi juga gerakan politik dalam menghadapi
penjajahan.(Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2002)hal 32-34 )
Saat ini, tarekat masih mendapat tempat tempat d hati kaum muslimin
Indonesia. Bahkan terus berkembang di kota-kota besar di Indonesia. Juga tidak
hanya terbatas kalangan ekonomi menengah ke bawah, tetapi telah merambah pada
kalangan ekonomi ke atas, bahkan para bangsawan. Hal ini dapat dilihat dari
antusiasme warga setiap acara rutinan jam’iyyah tarekat tertentu
1.1. TARIKAT-TARIKAT MU’TABAROH DI INDONESIA DAN TOKOH-TOKOHNYA
Beberapa sumber menyebutkan bahwa ajaran tarekat baru muncul pada abad
ke-11, yakni sejak Abdul Qadir Jilani memperkenalkan Tarekat Qadiriyah di
Baghdad. Namun praktik kesufian atau tasawuf diduga sudah ada sejak awal agama
Islam muncul. Sri Mulyati dkk dalam buku berjudul Mengenal dan Memahami
Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia menyebutkan bahwa praktek tasawuf
muncul setidaknya sejak abad ke-2 hijriyah, atau sekitar abad ke-10 masehi.
Pembahasan tentang tarekat kadang dibingungkan dengan istilah ‘tasawuf’
dan ‘sufi’. Dalam tradisi pesantren Jawa, istilah tasawuf dipakai semata-mata
dalam kaitan aspek intelektual dari suatu tarekat. Sedangkan tarekat itu
sendiri lebih mengarah pada pengertian yang bersifat etis dan praktis.
Sedangkan sufi, biasanya dialamatkan kepada orang yang menjalani kegiatan
tarekat tersebut.
APA DAN MENGAPA TAREKAT
Bagi kaum muslimin, syariah Islam diyakini mampu membantu setiap manusia
dalam upayanya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan memperoleh kebahagiaan
sejati di dunia dan akherat. Dari syariah Islam yang kaya ‘makna’ itulah
kemudian lahir terobosan-terobosan spiritual baik berupa pemahaman yang lebih
mendalam maupun metodelogi yang mendukung syariah dalam membantu mencapai
tujuan manusia secara lebih efektif dan efisien (tarekat). Maka dengan tarekat,
setiap kaum Muslimin dapat menghayati syariah Islam yang dijalaninya secara
lebih bermakna.
TOKOH-TOKOH PERINTIS TAREKAT DI INDONESIA
Beberapa tokoh yang dianggap sebagai perintis ajaran tarekat di
Indonesia diantaranya : Hamzah Fansuri (w.1590), Syamsuddin al Sumatrani
(w.1630), Nuruddin al Raniri (1637-1644), Syekh Yusuf al Makasari (1626-1699),
Abdul Basir al Dharir al Khalwati alias Tuang Rappang I Wodi, Abdul Shamad al
Palimbani, Nafis al Banjari, Syekh Ahmad Khatib Sambas (w.1873), Syekh Abdul
Karim al Bantani, Kyai Thalhah dari Cirebon, dan Kyai Ahmad Hasbullah dari
Madura.
Tiga nama terakhir, yakni Syekh Abdul Karim al Bantani, Kyai Thalhah,
dan Kyai Ahmad Hasbullah adalah murid-murid dari Syekh Ahmad Khatib Sambas,
ketiganya bertemu dan belajar dari Khatib Sambas di Makkah. Syekh Abdul Karim
al Bantani beberapa tahun pulang ke Banten kemudian kembali lagi ke Makkah
menjadi Syaikh menggantikan Khatib Sambas. Kyai Thalhah mengajarkan tarekat di
Cirebon, dari garis beliau lahir beberapa tokoh tarekat diantaranya Syekh Abdul
Mu’in yang mendirikan pesantren di Ciasem-Subang, Pangeran Sulendraningrat di
Cirebon, dan Abah Sepuh pendiri pesantren Suryalaya, Tasikmalaya. Sedangkan
dari garis Kyai Ahmad Hasbullah, muncul banyak nama dari klan Hasyim As’ari
pendiri pesantren Tebu Ireng-Jombang.
MACAM-MACAM TAREKAT DI INDONESIA
Banyak macam tarekat yang tumbuh subur di Indonesia, beberapa
diantaranya : Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah, Tarekat Syadziliyah, Tarekat Khalwatiyah, Tarekat Syattariyah,
Tarekat Sammaniyah, dan Tarekat Tijaniyah. Beberapa tarekat lain yang
pengikutnya agak sedikit di Indonesia adalah Tarekat Chisytiyah, Tarekat
Mawlayiyah, Tarekat Ni’matullah, dan Tarekat Sanusiyah.
1.2. Membandingkan antara tarikat-tarikat mu’tabaroh di Indonesia
1.3. Mengaitkan ajaran-ajaran tarikat mu’tabaroh di Indonesia
dengan fenomena kehidupan sekarang
Tarekah Mu’tabarah di Indonesia
Dalam tasawwuf seringkali dikenal istilah Thoriqoh, yang berarti jalan,
yakni jalan untuk mencapai Ridlo Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan,
adanya kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi menyatakan, Aturuk
biadadi anfasil mahluk, yang artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya
mahluk, aneka ragam dan bermacam macam. Kendati demikian orang yang hendak
menempuh jalan itu haruslah berhati hati, karena dinyatakan pula, Faminha
Mardudah waminha maqbulah, yang artinya dari sekian banyak jalan itu, ada yang
sah dan ada yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima. Yang
dalam istilah ahli Thoriqoh lazim dikenal dengan ungkapan, Mu’tabaroh. Wa
ghoiru Mu’tabaroh.
KH. Dzikron Abdullah menjelaskan, awalnya Thoriqoh itu dari Nabi yang
menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Jadi, semua Thoriqoh yang
Mu’tabaroh itu, sanad(silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi.
Kalau suatu Thoriqoh sanadnya tidak muttashil sampai kepada Nabi bisa disebut
Thoriqoh tidak (ghoiru) Mu’tabaroh. Barometer lain untuk menentukan
ke-mu’tabaroh-an suatu Thoriqoh adalah pelaksanaan syari’at. Dalam semua
Thoriqoh Mu’tabaroh syariat dilaksanakan secara benar dan ketat.
Diantara Thoriqoh Muktabaroh itu adalah :
Diantara Thoriqoh Muktabaroh itu adalah :
Thoriqoh Syathariyah pertama kali digagas oleh
Abdullah Syathar (w.1429 M). Thoriqoh Syathariyah berkembang luas ke Tanah Suci
(Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh
Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh ‘Abd
al-Rauf al-Sinkili ke Nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh
Burhan al-Din ke Minangkabau. Thoriqoh Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din,
berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama silsilah yang diterima dari
Imam Maulana. Kedua, silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan
Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di
Sikabu Ulakan. Keempat; silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam
Kitabnya yang berjudul Syifa’ al-Qulub. Thoriqoh ini berkembang di Minangkabau
dan sekitarnya. Untuk mendukung ke1embagaan Thoriqoh, kaum Syathariyah membuat
lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jama’ah Syathariyah Sumatera
Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di
propinsi-tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan Thoriqoh
Syathariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan ziarah bersama ke makam
Syekh Burhan al-Din Ulakan.
Sementara Thoriqoh Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan
Minangkabau pada tahun 1850. Thoriqoh Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau
sejak abad ke 17, pintu masuknya me1alui daerah Pesisir Pariaman, kemudian
terus ke Agam dan Limapuluh kota. Thoriqoh Naqsyabandiyah diperkenalkan ke
wilayah ini pada paruh pertama abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang
Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjukan ke Bayt
al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India. Naqsyabandiyah merupakan salah satu
Thoriqoh sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah
Asia Muslim serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di
Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah
tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan
baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad
Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (Pembaru Milenium kedua, w. 1624). Pada akhir
abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan Thoriqoh tersebut di seluruh Asia
Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol
dari Thoriqoh Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan
dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih
mengutamakan berdzikir dalam hati (Sirri). Penyebaran Thoriqoh Naqsyabandiyah
Khalidiyah ditunjang oleh ulama ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah
dan Medinah, mereka mendapat bai’ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh
Muhammad Ridwan di Medinah. Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar
Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali
Padang (w. 1936), dan Syekh Muhammad Sai’d Bonjol. Mereka adalah ulama besar
dan berpengaruh pada zamannya serta mempunyai anak murid mencapai ratusan ribu,
yang kemudian turut menyebarkan Thoriqoh ini ke daerah asal masing masing Di
Jawa Tengah Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyyah disebarkan oleh KH. Abdul Hadi
Girikusumo Mranggen yang kemudian menyebar ke Popongan Klaten, KH. Arwani Amin
Kudus, KH. Abdullah Salam Kajen Margoyoso Pati, KH. Hafidh Rembang. Dari dari
tangan mereka yang penuh berkah, pengikut Thoriqoh ini berkembang menjadi
ratusan ribu. Ajaran dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada
empat aspek pokok yaitu: syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Ajaran
Thoriqoh Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang
harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan
Allah. Ajaran yang nampak ke permukaan dan memiliki tata aturan adalah khalwat
atau suluk. Khalwat ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang
terpencil, guna melakukan zikir dibawah bimbingan seorang Syekh atau
khalifahnya, selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari.
Tata cara khalwat ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging,
ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul
dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau
mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan
untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah..
Thariqat Ahmadiyah didirikan oleh Ahmad ibn ‘Aly
(al-Husainy al-Badawy). Diantara nama-nama gelaran yang telah diberikan kepada
beliau ialah Syihabuddin, al-Aqthab, Abu al-Fityah, Syaikh al-‘Arab dan
al-Quthab an-Nabawy. Malah, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diberikan nama
gelar (laqab) yang banyak, sampai dua puluh sembilan nama. Al-Ghautha al-Kabir,
al-Quthab al-Syahir, Shahibul-Barakat wal-Karamat, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy
adalah seorang lelaki keturunan Rasulullah SallAllahu ‘alaihi wa sallam,
melalui Sayidina al-Husain. Sholawat Badawiyah sughro dan Kubro, adalah
sholawat yang amat dikenal masarakat Indonesia, dinisbatkan kepada waliyullah
Sayid Ahmad Badawi ini, akan tetapi Tarekat badawiyah sendiri tidak berkembang
secara luas di indonesia khususnya di Jawa.
Abul Hasan Ali asy-Sadzili, merupakan tokoh Thoriqoh Sadziliyah
yang tidak meninggalkan karya tulis di bidang tasawuf, begitu juga muridnya,
Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ketika
ditanya akan hal itu, ia menegaskan :”karyaku adalah murid muridku”, Asadzili mempunyai
murid yang amat banyak dan kebanyakan mereka adalah ulama ulama masyhur pada
zamannya, dan bahkan dikenal dan dibaca karya tulisnya hingga hari ini. Ibn
Atha’illah as-Sukandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran,
pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah Thoriqoh Sadziliyah
tetap terpelihara. Ibn Atha’illah juga orang yang pertama kali menyusun karya
paripurna tentang aturan-aturan Thoriqoh Sadziliah, pokok-pokoknya,
prinsip-prinsipnya, yang menjadi rujukan bagi angkatan-angkatan setelahnya.
Sebagai ajaran, Thoriqoh ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah
satu perkataan as-Sadzili kepada murid-muridnya: “Jika kalian mengajukan suatu
permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali”. Perkataan
yang lainnya: “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu.
Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya.” Selain kedua
kitab tersebut, al-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi,
Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyad,
Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah’illah.
Thoriqoh Sadzaliah berkembang pesat di Jawa, tercatat Ponpes Mangkuyudan Solo,
Kyai Umar , Simbah Kyai Dalhar Watucongol, Simbah Kyai Abdul malik Kedongparo
Purwokerto, KH Muhaiminan Parakan, KH. Abdul Jalil Tulung Agung. KH . Habib
Lutfi Bin Yahya, Pekalongan .Simbah KH.M.Idris, kacangan Boyolali, adalah
pemuka pemuka Sadzaliah yang telah membaiat dan membina ratusan ribu bahkan jutaan
murid Sadziliah.
Thoriqoh Qodiriyah dinisbahkan kepada Syekh
Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu
Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di Jilan tahun
470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia
sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Riwayat hidup
dan keutamaan akhlak (Manaqib) Syech Abdul Qodir Jaelani ini, dikenal luas oleh
masarakat Indonesia khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan dibaca dalam
acara-acara tertentu guna tabarruk dan tawassul kepada Syekh Abdul Qodir.
Thoriqoh Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti
oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun
meski sudah berkembang sejak abad ke-13, Thoriqoh ini baru terkenal di dunia
pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w
1517 M) juga mengaku keturunan Syekh Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail
Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah,
Thoriqoh Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M. Thoriqoh Qodiriyah ini
dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak
mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti Thoriqoh gurunya. Bahkan dia
berhak melakukan modifikasi Thoriqoh yang lain ke dalam Thoriqohnya. Hal itu
seperti tampak pada ungkapan Syekh Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa murid
yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syekh dan
Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.” Seperti halnya Thoriqoh di
Timur Tengah. Sejarah Thoriqoh Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah
al-Mukarromah. Thoriqoh Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16,
khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat,
Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa
Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syekh Abdul Karim dari Banten
adalah murid kesayangan Syekh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan
ulama paling berjasa dalam penyebaran Thoriqoh Qodiriyah. Murid-murid Syekh
Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura, setelah pulang ke Indonesia menjadi
penyebar Thoriqoh Qodiriyah tersebut.
Di Jawa Tengah Thoriqoh Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah muncul dan
berkembang antara lain dari Mbah Ibrahim Brumbung Mranggen diturunkan kepada
antara lain KH. Muslih pendiri Ponpes Futuhiyyah ,Mranggen. Dari Kyai Muslih
ini lahir murid-murid Thoriqoh yang banyak. Dan dari tangan mereka berkembang
menjadi ratusan ribu pengikut. Demikian pula halnya Simbah Kyai Siradj Solo
yang mengembangkan Thoriqoh ini ke berbagai tempat melalui anak muridnya yang
tersebar ke pelosok Jawa Tengah hingga mencapai puluhan ribu pengikut. Sementara
di Jawa Timur, Thoriqoh ini dikembangkan oleh KH. Musta’in Romli Rejoso Jombang
dan Simbah Kyai Utsman yang kemudian dilanjutnya putra-putranya diantaranya KH.
Asrori yang juga mempunyai murid ratusan ribu. Di Jawa Barat tepatnya di Ponpes
Suryalaya Tasikmalaya juga turut andil membesarkan Thoriqoh ini sejak mulai
zaman Abah Sepuh hingga Abah Anom dan murid-muridnya yang tersebar di berbagai
penjuru Jawa Barat.
Thoriqoh Alawiyyah berbeda dengan Thoriqoh sufi
lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak
menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) yang berat, melainkan lebih
menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga
wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski
tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni
Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad.serta beberapa ratib lainnya seperti Ratib
Al Attas dan Alaydrus juga dapat dikatakan, bahwa Thoriqoh ini merupakan jalan
tengah antara Thoriqoh Syadziliyah (yang menekankan olah hati) dan batiniah)
dan Thoriqoh Al-Ghazaliyah (yang menekankan olah fisik). Thoriqoh ini berasal
dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti
Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Thoriqoh ini didirikan
oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir–lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin
Ahmad al-Muhajir—seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat. Al Imam Faqihil
Muqaddam Muhammad bin Ali Baalwi, juga merupakan tokoh kunci Thoriqoh ini.
Dalam perkembangannya kemudian, Thoriqoh Alawiyyah dikenal juga dengan
Thoriqoh Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah al-Haddad,
Attasiyah yang dinisbatkan kepada Habib Umar bin Abdulrahman Al Attas, serta
Idrusiyah yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah bin Abi Bakar Alaydrus, selaku
generasi penerusnya. Sementara nama “Alawiyyah” berasal dari Imam Alawi bin
Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Thoriqoh Alawiyyah, secara umum, adalah
Thoriqoh yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai saadah
atau kaum sayyid – keturunan Nabi Muhammad SAW–yang merupakan lapisan paling
atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal Thoriqoh
ini didirikan, pengikut Thoriqoh Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid di
Hadhramaut, atau Ba Alawi.Thoriqoh ini dikenal pula sebagai Toriqotul abak wal
ajdad, karena mata rantai silisilahnya turun temurun dari kakek,ayah, ke anak
anak mereka, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim
lain dari non-Hadhrami. Di Purworejo dan sekitarnya Thoriqoh ini berkembang
pesat, diikuti bukan hanya oleh para saadah melainkan juga masarakat non saadah
, Sayid Dahlan Baabud, tercatat sebagai pengembang Thoriqoh ini, yang sekarang
dilanjutkan oleh anak cucunya.
Umumnya, nama sebuah Thoriqoh diambil dari nama sang pendiri Thoriqoh
bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau
Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband. Tapi Thoriqoh Khalwatiyah
justru diambil dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung.
Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717
H), pendiri Thoriqoh Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.
Secara “nasabiyah”, Thoriqoh Khalwatiyah merupakan cabang dari Thoriqoh
Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah,
yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi
(539-632 H). Thoriqoh Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa
oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri
as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria. Ia mengambil Thoriqoh
tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin
al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan Thoriqoh ini di Mesir, tak heran jika
Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya.
Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan
karya sastra sufistik. Diantara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat
Al-Ahzan (Pelipur Duka).
Thoriqoh Syattariyah adalah aliran Thoriqoh yang
pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Thoriqoh ini dinisbahkan kepada
tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.
Awalnya Thoriqoh ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah)
dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, Thoriqoh ini disebut
Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang
dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya
Thoriqoh Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan
sufi mana pun. Thoriqoh ini dianggap sebagai suatu Thoriqoh tersendiri yang
memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik.
Perkembangan mistik Thoriqoh ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan
yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus
melalui tahap fana’. Penganut Thoriqoh Syattariyah percaya bahwa jalan menuju
Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama
menurut Thoriqoh ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan
Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu
harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan
Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu
ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan Thoriqoh ini, yaitu
taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan
musyahadah.
Thoriqoh Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas
Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh
dari gerakan “Neosufisme”. Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya
terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara
ketat ketentuan-ketentuan syari’at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu
dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.
At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di ‘Ain Madi, bagian selatan
Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat
mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia
sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada
tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu,
dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan
intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun. Di Indonesia, Tijaniyah ditentang
keras oleh Thoriqoh-Thoriqoh lain. Gugatan keras dari kalangan ulama Thoriqoh
itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Thoriqoh Tijaniyah beserta
keturunannya sampai tujuh generasi akan diperlakukan secara khusus pada hari
kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama
dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu, para
pengikut Thoriqoh Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para
guru Thoriqoh lain, Meski demikian, Thoriqoh ini terus berkembang, utamanya di
Buntet- Cirebon dan seputar Garut (Jawa Barat), dan Jati barang brebes, Sjekh
Ali Basalamah, dan kemudian dilanjutkan putranya, Sjekh Muhammad Basalamah,
adalah muqaddam Tijaniah di Jatibarang yang pengajian rutinnya, dihadiri oleh
puluhan ribu ummat Islam pengikut Tijaniah. Demikian pula Madura dan ujung
Timur pulau Jawa, tercatat juga, sebagai pusat peredarannya.
Penentangan terhadap Thoriqoh ini, mereda setelah, Jam’iyyah
Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah menetapkan keputusan, Thoriqoh ini bukanlah
Thoriqoh sesat, karena amalan-amalannya sesuai dan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Keputusan itu diambil setelah para ulama ahli Thoriqoh memeriksa
wirid dan wadzifah Thoriqoh ini.
Thoriqah Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad
Samman yang bernama asli Muhammad bin Abd al-Karim al-Samman al-Madani al-Qadiri
al-Quraisyi dan lebih dikenal dengan panggilan Samman. Beliau lahir di Madinah
1132 H/1718 M dan berasal dari keluarga suku Quraisy. Semula ia belajar
Thoriqoh Khalwatiyyah di Damaskus, lama kelamaan ia mulai membuka pengajian
yang berisi teknik dzikir, wirid dan ajaran teosofi lainnya. Ia menyusun cara
pendekatan diri dengan Allah yang akhirnya disebut sebagai Thoriqoh Sammaniyah.
Sehingga ada yang mengatakan bahwa Thoriqoh Sammaniyah adalah cabang dari
Khalwatiyyah. Di Indonesia, Thoriqoh ini berkembang di Sumatera, Kalimantan dan
Jawa. Sammaniyah masuk ke Indonesia pada penghujung abad 18 yang banyak
mendapatkan pengikut karena popularitas Imam Samman. Sehingga manaqib Syekh
Samman juga sering dibaca berikut dzikir Ratib Samman yang dibaca dengan gerakan
tertentu. Di Palembang misalnya ada tiga ulama Thoriqoh yang pernah berguru
langsung pada Syekh Samman, ia adalah Syekh Abd Shamad, Syekh Muhammad
Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin dan Syekh Kemas Muhammad bin Ahmad. Di Aceh
juga terkenal apa yang disebut Ratib Samman yang selalu dibaca sebagai dzikir
(team Al Mihrab )
Kyai Siradj Solo yang mengembangkan Thoriqoh Qadiriyyah wa
Naqsabandiyyah
2.2. PERBANDINGAN ANTARA TARIKAT-TARIKAT MU’TABAROH DI INDONESIA
2.3. AJARAN-AJARAN TARIKAT MU’TABAROH DI INDONESIA DENGAN FENOMENA
KEHIDUPAN SEKARANG
STANDAR
KOMPETENSI
|
KOMPETENSI
DASAR
|
|
2.1.
Menjelaskan problematika masyarakat modern2.2. Menjelaskan relevansi
tasawuf dalam kehidupan modern2.3. Menjelaskan peranan tasawuf dalam
kehidupan modern
|
A. Masyarakat Modern
Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern.
Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (himpunan orang yang hidup bersama di
suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu). Sedangkan modern diartikan
yang terbaru, secara baru, mutakhir. Jadi masyarakat modern berarti suatu
himpunan yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan
tertentu yang bersifat mutakhir.
Menurut Deliar Noer ada 5 ciri-ciri masyarakat modern sebagai berikut :
- Bersifat rasional,
- Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh,
- Menghargai waktu,
- Bersikap terbuka,
- Berpikir objektf.
Dalam pada itu, Alfin Toffler, sebagai dikemukakan oleh Jalaludin
Rahmat, membagi masyarakat ke dalam tiga bagian. Yaitu masyarakat pertanian
(Agricultural Society), masyarakat industri (Industrial Society), dan
masyarakat infomasi (Informatical Society).
Masyarakat pertanian, ekonominya bertumpu pada tanah / sumber alam.
Teknologi yang digunakan adalah teknologi kecil seperti pompa penyemprot hama,
racun tikus, dan sebagainya. Informasi yang mereka gunakan adalah media
tradisional, dari mulut ke mulut, bersifat lokal, dan informasi terpusat pada
salah seorang yang dianggap tokoh. Dari segi kejiwaan, mereka banyak
menggunakan kekuatan yang bersifat irrasional, seperti penanganan masalah
dengan cara pergi ke dukun.
Selanjutnya masyarakat industri berbeda dengan masyarakat pertanian.
Modal dasar berupa peralatan produksi dan mesin-mesin produksi. Teknologi yang
digunakan adalah teknologi tinggi. Informasi yang mereka gunakan sudah
menggunakan media cetak atau tulisan yang dapat disimpan oleh siapa saja.
Secara kejiwaan, mereka adalah manusia yang cerdas, berilmu pengetahuan,
menguasai teknologi, dan berpikir untuk hidup secara makmur dalam bidang
materi.
Yang ketiga adalah masyarakat informasi, yang paling menentukan dalam
masyarakat informasi adalah orang-orang yang paling banyak memiliki informasi.
Dari segi teknologi, masarakat informasi menggunakan teknologi elektronika.
Penggunaan teknologi elektronika telah mengubah lingkungan informasi dari yang
bersifat lokal dan nasional kepada lingkungan yang bersifat internasional,
mendunia, dan global. Secara kejiwaan, mereka adalah manusia yang serba ingin
tahu, mampu menjelaskan, dan imajinatif.
B. Problematika Masyarakat Modern.
Kemajuan di bidang teknologi pada zaman modern ini telah membawa manusia
ke dalam dua sisi, yaitu bisa memberi nilai tambah (positif), tapi pada sisi
laian dapat mengurangi (negatif).
Efek positifnya tentu saja akan menigkatkan keragaman budaya melalui
penyediaan informasi yang menyeluruh sehingga memberikan orang kesempatan untuk
mengembangkan kecakapan-kecakapan baru dan meningkatkan produksi. Sedangkan
efek negatifnya kemajuan teknologi akan berbahaya jika berada di tangan orang
yang secara mental dan keyakinan agama belum siap. Mereka dapat menyalahgunakan
teknologi untuk tujuan-tujuan yang destruktif dan mengkhawatirkan. Misalnya
penggunaan teknologi kontrasepsi dapat menyebabkan orang dengan mudah dapat
melakukan hubungan seksual tanpa harus takut hamil atau berdosa.
Jaringan-jaringan peredaran obat-obat terlarang, tukar menukar informasi,
penyaluran data-data film yang berbau pornografi di bidang teknologi komunikasi
seperti komputer, faximile, internete, dan sebagainya akan semakin intensif
pelaksanaannya.
Hal tersebut di atas adalah gambaran-gambaran masyarakat modern yang
obsesi keduniaannya tampak lebih dominan ketimbang spritual. Kemajuan teknologi
sains dan segala hal yang bersifat duniawi jarang disertai dengan nilai
spiritual.
Menurut Sayyed Hossein Nasr, seorang ilmuwan kenamaan dari Iran,
berpandangan bahwa manusia modern dengan kemajuan teknologi dan pengetahuaannya
telah tercebur ke dalam lembah pemujaan terhadap pemenuhan materi semata namun
tidak mampu menjawab problem kehidupan yang sedang dihadapinya. Kehidupan yang
dilandasi kebaikan tidaklah bisa hanya bertumpu pada materi melainkan pada
dimensi spiritual. Jika hal tersebut tidak diimbangi akibatnya jiwa pun menjadi
kering, dan hampa. Semua itu adalah pengaruh dari sekularisme barat, yang
manusia-manusianya mencoba hidup dengan alam yang kasat mata.
Menurut Nashr, manusia barat modern memperlakukan alam seperti pelacur.
Mereka menikmati dan mengeksploitasi alam demi kepuasan dirinya tanpa rasa
kewajiban dan tanggung jawab apa pun. Nashr melihat, kondisi manusia modern
sekarang mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar dan bersifat spiritual,
mereka gagal menemukan ketentraman batin, yang berarti tidak ada keseimbangan
dalam diri. Hal ini akan semakin parah apabila tekanannya pada kebutuhan materi
semakin meningkat sehingga keseimbangan semakin rusak. Oleh karena itu, manusia
memerlukan agama untuk mengobati krisis yang dideritanya.
Dari sikap mental yang demikian itu kehadiran iptek telah melahirkan
sejumlah problematika masyarakat modern, sebagai berikut :
Desintegrasi ilmu pengetahuan
Banyak ilmu yang berjalan sendiri-sendiri tanpa ada tali pengikat dan
penunjuk jalan yang menguasai semuanya, sehingga kian jauhnya manusia dari
pengetahuan akan kesatuan alam.
Kepribadian yang Terpecah
Karena kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang
coraknya kering nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak, maka manusianya
menjadi pribadi yang terpecah, hilangnya kekayaan rohaniah karena jauhnya dari
ajaran agama.
Penyalahgunaan Iptek
Berbagai iptek disalahgunakan dengan segala efek negatifnya sebagaimana
disebutkan di atas.
Pendangkalan Iman
Manusia tidak tersentuh oleh informasi yang diberikan oleh wahyu, bahkan
hal itu menjadi bahan tertawaan dan dianggap tidak ilmiah dan kampungan.
Pola Hubungan Materialistik
Pola hubungan satu dan lainnya ditentukan oleh seberapa jauh antara satu
dan lainnya dapat memberikan keuntungan yang bersifat material.
Menghalalkan Segala Cara
Karena dangkalnya iman dan pola hidup materialistik manusia dengan mudah
menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan.
Stres dan Frustasi
Manusia mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan kemampuannya untuk terus
bekerja tanpa mengenal batas dan kepuasan. Sehingga apabila ada hal yang tidak
bisa dipecahkan mereka stres dan frustasi.
Kehilangan Harga Diri dan Masa Depannya
Mereka menghabiskan masa mudanya dengan memperturutkan hawa nafsu dan
menghalalkan segala cara. Namun ada suatu saat tiba waktunya mereka tua segala
tenaga, fisik, fasilitas dan kemewahan hidup sudah tidak dapat mereka lakukan,
mereka merasa kehilangan harga diri dan masa depannya.
C. Perlunya Pengembangan Akhlak Tasawuf
Akhlak tasawuf merupakan solusi tepat dalam mengatasi krisis-krisis
akibat modernisasi untuk melepaskan dahaga dan memperoleh kesegaran dalam
mencari Tuhan. Intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan
langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan
kesadarannya iu brrada di hadirat-Nya. Tasawuf perlu dikembangkan dan
disosialisasikan kepada masyarakat dengan beberapa tujuan, antara lain:
Pertama, untuk menyelamatkan kemanusiaan dari kebingungan dan kegelisahan yang
mereka rasakan sebagai akibat kurangnya nilai-nilai spiritual. Kedua, memahami
tentang aspek asoteris islam, baik terhadap masyarakat Muslim maupun non
Muslim. Ketiga, menegaskan kembali bahwa aspek asoteris islam (tasawuf) adalah
jantung ajaran islam. Tarikat atau jalan rohani (path of soul) merupakan
dimensi kedalaman dan kerahasiaan dalam islam sebagaimana syariat bersumber
dari Al-Quran dan Al- Sunnah. Betapapun ia tetap menjadi sumber kehidupan yang
paling dalam, yang mengatur seluruh organisme keagamaan dalam
islam. Ajaran dalam tasawuf memberikan solusi bagi kita untuk
menghadapi krisis-krisis dunia. Seperti ajaran tawakkal pada Tuhan, menyebabkan
manusia memiliki pegangan yang kokoh, karena ia telah mewakilkan atau
menggadaikan dirinya sepenuhnya pada Tuhan. Selanjutnya sikap frustasi dapat
diatasi dengan sikap ridla. Yaitu selalu pasrah dan menerima terhadap segala
keputusan Tuhan. Sikap materialistik dan hedonistik dapat diatasi dengan menerapkan
konsep zuhud. Demikan pula ajaran uzlah yang terdapat dalam tasawuf. Yaitu
mengasingkan diri dari terperangkap oleh tipu daya keduniaan. Ajaran-ajaran
yang ada dalam tasawuf perlu disuntikkan ke dalam seluruh konsep kehidupan.
Ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan lain
sebagainya perlu dilandasi ajaran akhlak tasawuf.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1991), hlm 636.
Deliar Noer, Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1987),
hlm 24.
Abudin Nata, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1997), hlm 286.
Agussyafii.blogspot.com/2007/12/problem-dan-solusi-masyarakat-modern.html
Sayyed Hossein Nashr, Man and Nature…….. 57.
Sayyed Hossein Nashr, ideals and realities of islam ….. hlm 121.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Islam didenfisikan sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan Nabi kita Rasulullah SAW, untuk mengatur segenap urusan manusia, baik berkaitan hubungan dengan Allah (ibadah dan aqidah), hubungan dengan sesama manusia (muamalah, uqabat atau sanksi), dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, untuk itu kami sebagai penulis mengangkat sebuah permasalahan yang terjadi dalam masyarakat modern khususnya.
Islam didenfisikan sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan Nabi kita Rasulullah SAW, untuk mengatur segenap urusan manusia, baik berkaitan hubungan dengan Allah (ibadah dan aqidah), hubungan dengan sesama manusia (muamalah, uqabat atau sanksi), dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, untuk itu kami sebagai penulis mengangkat sebuah permasalahan yang terjadi dalam masyarakat modern khususnya.
Orang-orang dalam menjalani hidupnya haruslah dinilai sebagai orang yang
melaksanakan perintah Allah, bukan hanya melihat dari segi status sosial
ataupun material saja. Ukuran dalam menjalani hidup sama saja dihadapan Allah
SWT yang membedakan hanya kadar ketakwaan kita, bukan berdasarkan dari status
sosial atau materil dalam pandangan manusia saja.
Disamping itu, kalau seorang muslim dalam menjalani kehidupannya bisa dan tidak mudah terpengaruh akan segala ritangan yang selalu menghadang dalam setiap langkah hidupnya dan mempunyai filter dalam menyaring segala problematika yang kian hari kian banyak membuat orang bingung.
Problematika masyarakat modern adalah Sebuah permasalahan yang muncul dan hangat diperbincangkan oleh khalayak orang, sehingga menjadi sebuah hal yang sifatnya penting sekali dalam kehidupan ini. Maka semua permasalahan yang dilakukan mesti penuh pemikiran dan pertimbangan dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian baik buruknya seorang manusia tergantung bagaimana orang tersebut menyikapi segala problematika yang terjadi saat ini..
Manusia dizaman modern ini diharapkan pada masalah problematika masyarakat cukup serius. Kemudian khazanah fikiran dan pandangan dalam menyikapi mesti adanya suatu pengembangan pola fikir yang lebih baik.
Dengan demikian, menjadi sangatlah penting kita mempelajari hal-hal yang berkenaan suatu permasalahan yang banyak dialami masyarakat modern. Namun penjabaran dalam menjalani hidup ini seseorang dituntut untuk tidak berjalan begitu saja dan tidak akan sempurna dalam proses perubahannya tanpa mengetaui pengembangan pembentukan masyarakat modern yang lebih maju.
Disamping itu, kalau seorang muslim dalam menjalani kehidupannya bisa dan tidak mudah terpengaruh akan segala ritangan yang selalu menghadang dalam setiap langkah hidupnya dan mempunyai filter dalam menyaring segala problematika yang kian hari kian banyak membuat orang bingung.
Problematika masyarakat modern adalah Sebuah permasalahan yang muncul dan hangat diperbincangkan oleh khalayak orang, sehingga menjadi sebuah hal yang sifatnya penting sekali dalam kehidupan ini. Maka semua permasalahan yang dilakukan mesti penuh pemikiran dan pertimbangan dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian baik buruknya seorang manusia tergantung bagaimana orang tersebut menyikapi segala problematika yang terjadi saat ini..
Manusia dizaman modern ini diharapkan pada masalah problematika masyarakat cukup serius. Kemudian khazanah fikiran dan pandangan dalam menyikapi mesti adanya suatu pengembangan pola fikir yang lebih baik.
Dengan demikian, menjadi sangatlah penting kita mempelajari hal-hal yang berkenaan suatu permasalahan yang banyak dialami masyarakat modern. Namun penjabaran dalam menjalani hidup ini seseorang dituntut untuk tidak berjalan begitu saja dan tidak akan sempurna dalam proses perubahannya tanpa mengetaui pengembangan pembentukan masyarakat modern yang lebih maju.
B.Tujuan
Didalam penulisan makalah ini adalah bertujuan untuk menambah wawasan dalam pengertahuan mengenai ilmu akhlak dan memenuhi tugas kelompok.
Didalam penulisan makalah ini adalah bertujuan untuk menambah wawasan dalam pengertahuan mengenai ilmu akhlak dan memenuhi tugas kelompok.
C. RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas maka penulis mengajukan beberapa masalah berupa :
1. Apa-apa saja yang menyebabkan timbulnya problematika masyarakat modern?
2. Kepada siapakah perubahan problematika masyarakat modern?
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas maka penulis mengajukan beberapa masalah berupa :
1. Apa-apa saja yang menyebabkan timbulnya problematika masyarakat modern?
2. Kepada siapakah perubahan problematika masyarakat modern?
PEMBAHASAN
.FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN AKHLAK
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya,ada tiga aliran yang sudah amat popular.Pertama aliran Nativisme,Kedua aliran Emperisme, dan ketiga aliran konvergensi.
Menurut aliran Nativisme bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain.Aliran ini tamaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam pada diri manusia, dan hal ini kelihatan erat kaitannya dengan pendapat aliran intuisme dalam hal penentuan baik dan buruk sebagaimana telah diuraikan diatas.
Menurut aliran Empirisme bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor dari luar, yaitu lingkungan luar, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pembinaan dan prnddikan yang diberikan kepada anak itu,maka baiklah anak itu.Dengan demikian jika sebaliknya.
Dalam pada itu aliran konvergensi berpendapat pembebntukan akhlak dipengaruhi oleh factor internal,yaitu pembawaan si anak,dan factor dari luar, yaitu pendidikan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan social.
Aliran yang ketiga, yakni aliran konvergensi itu tampak sesuai dengan ajaran islam. Hal ini dapat dipahami dari ayat dan hadis di bawah ini:
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya,ada tiga aliran yang sudah amat popular.Pertama aliran Nativisme,Kedua aliran Emperisme, dan ketiga aliran konvergensi.
Menurut aliran Nativisme bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain.Aliran ini tamaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam pada diri manusia, dan hal ini kelihatan erat kaitannya dengan pendapat aliran intuisme dalam hal penentuan baik dan buruk sebagaimana telah diuraikan diatas.
Menurut aliran Empirisme bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor dari luar, yaitu lingkungan luar, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pembinaan dan prnddikan yang diberikan kepada anak itu,maka baiklah anak itu.Dengan demikian jika sebaliknya.
Dalam pada itu aliran konvergensi berpendapat pembebntukan akhlak dipengaruhi oleh factor internal,yaitu pembawaan si anak,dan factor dari luar, yaitu pendidikan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan social.
Aliran yang ketiga, yakni aliran konvergensi itu tampak sesuai dengan ajaran islam. Hal ini dapat dipahami dari ayat dan hadis di bawah ini:
والله اخرجكم من بطون امهتكم
لاتعلمون شيئاوجعل لكم السمع والابصاروالافثدة العلكم تثقرون
Dan allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadan yang tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dan dia memberikamu pendengaran dan penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur. (QS. Al-Nahl)
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk
didik, yaitu penglihatan, pendengaran, dan hati sanubari.Potensi tersebut harus
dusyukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan.Hal ini sesuai
pula dengan yang dilakukan Lukmanul Hakim kepada anaknya sebagai terlihat pada
ayat yang berbunyi:
وإدقال لقمن لابنه وهوبعظة يبني
لاتش رك الله ان الشرك لظلم عظيم ووصيناالاانسان بوالديه حملته امه وهناعنا على
وهن وفصله نى عا مين ان اشكرلي ولوا لديك الي المصير
Dan (ingatlah) ketika luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberikan pelajaran kepadanya.”Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
allah, sesungguhnya mempersekutukan (allah) adlah benar-benarkezalima yang
besar.Dan kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada duaorang ibu
bapaknya; ibunya telah mengadungnya dalam keadaanlemah yang
bertambah-tambah,dan menyapihnya dalam dua tahun.Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanyakepada kulah kembalimu.QS. Luqman 31:13-14.
Ayat tersebut selain menggambarkan tentang pelaksanaan pendidukan
jugaberisi materi pelajaran dan yang utamanya, yaitu pendidikan tauhid dan
keimanan, karena keimananlah yang menjadi salah satu dasar yang kokoh bagi
pembentuka akhlak.
Kesesuaian teori Konvergensi tersebut diatas juga sejalan dengan hadist Nabi yang berbunyai:
Kesesuaian teori Konvergensi tersebut diatas juga sejalan dengan hadist Nabi yang berbunyai:
كل مولوديولد على الفطرة فابواه
يهودانه اوينصرانه اويمجسانه
Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan memvbawa fitrah (rasa
ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran),maka kudua orang tuanyaalah yang
membentuk anakn itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.(HR. Bukhari)
Ayat dan hadist tersebut di atas selain menggambarkan adanya teori
konvergensi juga menunjukan dengan jelas bahwa pelaksana utama dalam pendidikan
adalah kedua orang tua.
Dengan demikian factor yang mempengaruhi pembinan ahklak di anak ada
dua, yaitu factor daridalam yaiti, potensi fisik, intelektual dan
hati(rohaniah) yang dibawa si anak dari sejak lahir ,dan dari factor luar,
yaitu kedua orang tua di rumah,guru di sekolah dan tokoh-tokoh serta pemimpin
di masyarakat.Melalui kerjasama yang baik antara tiga lembaga pendidikan
tersebut,maka aspek konditif(pengentahuan),efektif(penghayatan),dan
psikomotorik(pengamalan) ajaran yang diajarka akan terbentuk pada diri anak .
Faktor yang lain dalam pembentukan akhlak adalah keluarga,dalam pembentulan kepribadian anak.Melalui fungsi ini keluarga berusaha mempersiapkan anak-anak bekal selengkap-lengkapnya dengan memperkenalkan pola tingkahlaku,sikap,keyakinan,cita-cita dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan yang diharapkan akan dijalankan mereka kelak.
Proses sosialisasi tidak sewajarnya diberikan kepada orang lain.Peran orang tua sangat besar dalam proses sosialisasi ini,sebab disitu anak akan meniru segala yang dilihat dan dipelajari dari orangtuanya.Apabila orang tua tidak menjalankan fungsi sosialisasi secara baik,maka problem lain yang muncul adalah anak kehilangan perhatian,setelah itu ia akan mencari tokoh lain diluar orang tuanya itu untuk ditiru.
Semua masyarakat sangat menggantungkan diri kepada keluarga dalam hal sosialisasi anak-anak.Peranan orang tua dalam sosialisasi ini sebagai persiapan untuk memasuki usia dewasa agar anak dapat berperan secara positif ditengah-tengah masyarakat.Salahsatu caranya adalah pemberian model bagi anak.Anak belajar menjadi laki-laki.Sosialisasi akan menemukan kesulitan apabila model semacam itu tidak ada dan bila anak harus mengandalkan diri pada model yang disaksikan dalam keluarga lain.Studi semacam ini semakin menegaskan bahwa keluarga adalah factor penentu utama bagi sosialisasi anak.
Tetapi sebaliknya,dalam keluarga yang serba susah yangmenghadapi berbagai masalah kemiskinan yang mencekik,problem sosialisasi dalam keluarga akan berjalan tidak normal.Keluarga seperti ini akan mensosialisasikan anak-anak mereka untuk meneruskan pola ketidakmampuan dan ketergantungan orang tua.
Didalam sebuah hadits Qudsi mengatakan yang artinya,Sesuatu yang diriwayatkan dari Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi,Dia berfirman”Wahai hambaku sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman atas diri-Ku dan kedzaliman itu Aku haramkan diantara kalian maka janganlan kalian saling mendzalimi.Wahai hamba-Ku masing-masing dari kau akan sesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk mintalah petunjuk kepada-Ku maka Aku akan memberi petunjuk kepadamu.Wahai hamba-Ku masing-masing dari kamu akan lapar kecuali orang yang Aku beri makan mintalah kepada-Ku maka akan Aku akan memberi kepadamu.Wahai hamba-Ku masing-masing kamu itu telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian mintalah pakaian kepada-Ku maka Aku akan memberikan kepadamu.Wahai hamba-Ku sesungguhnya kamu melakukan kesalahan siang dan malam sedang Aku mengampuni semua dosa mintalah ampun kepada-Ku maka Aku akan memberi ampunan kepadamu.Wahai hamba-Ku sesungguhnya kamu tidak akan bias menghindar dari kemudharatan-Ku maka kamu tidak akan mendapatkan kemanfatan-Ku maka mohonlah kemanfaatan kepada-Ku.Wahai hamba-Ku seandainya orang yang pertama dan terakhir dari kamu manusia dan jin dikalangan itu berada pada hati seseorang laki-laki yang paling taqwa diantaramu maka yang demikian itu tidak akan menambahsedikitpun dari kerajaan-Ku .Wahai hamba-Ku seandainya orang pertam dan terakhir dari kamu jin dan manusia berada pada hati seseorang hati seorang laki-laki yang jahat maka yang demikian itu tidak akan mengurangi sedikitpun kerajaan-Ku.Wahai hamba-Ku seandainya orang yang pertama dan terakhir diantara kamu manusia dan jin berdiri pada suatu bukit lalu mereka minta kepada-Ku maka Aku akan memberinya dari setiap orang yang permintaanya.maka yang demikian itu tidak akan mengurangi apa yang ada di sisi-Ku melainkan seperti air laut apabila dimasukan kedalamnya.Wahai hamba-Ku itu adalah amal-amal kalian yang Aku hitung semua untuk kalian dan kemudian Aku sempurnakan bagi kalian.Maka barang siapa yang mendapatkan kebaikan hendaklah memuji Allah dan barang siapa yang mendapatkan selain itu maka janganlah mencela selain dari pada dirinya sendiri(Hadits dikeluarkan Muslim).
Faktor yang lain dalam pembentukan akhlak adalah keluarga,dalam pembentulan kepribadian anak.Melalui fungsi ini keluarga berusaha mempersiapkan anak-anak bekal selengkap-lengkapnya dengan memperkenalkan pola tingkahlaku,sikap,keyakinan,cita-cita dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan yang diharapkan akan dijalankan mereka kelak.
Proses sosialisasi tidak sewajarnya diberikan kepada orang lain.Peran orang tua sangat besar dalam proses sosialisasi ini,sebab disitu anak akan meniru segala yang dilihat dan dipelajari dari orangtuanya.Apabila orang tua tidak menjalankan fungsi sosialisasi secara baik,maka problem lain yang muncul adalah anak kehilangan perhatian,setelah itu ia akan mencari tokoh lain diluar orang tuanya itu untuk ditiru.
Semua masyarakat sangat menggantungkan diri kepada keluarga dalam hal sosialisasi anak-anak.Peranan orang tua dalam sosialisasi ini sebagai persiapan untuk memasuki usia dewasa agar anak dapat berperan secara positif ditengah-tengah masyarakat.Salahsatu caranya adalah pemberian model bagi anak.Anak belajar menjadi laki-laki.Sosialisasi akan menemukan kesulitan apabila model semacam itu tidak ada dan bila anak harus mengandalkan diri pada model yang disaksikan dalam keluarga lain.Studi semacam ini semakin menegaskan bahwa keluarga adalah factor penentu utama bagi sosialisasi anak.
Tetapi sebaliknya,dalam keluarga yang serba susah yangmenghadapi berbagai masalah kemiskinan yang mencekik,problem sosialisasi dalam keluarga akan berjalan tidak normal.Keluarga seperti ini akan mensosialisasikan anak-anak mereka untuk meneruskan pola ketidakmampuan dan ketergantungan orang tua.
Didalam sebuah hadits Qudsi mengatakan yang artinya,Sesuatu yang diriwayatkan dari Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi,Dia berfirman”Wahai hambaku sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman atas diri-Ku dan kedzaliman itu Aku haramkan diantara kalian maka janganlan kalian saling mendzalimi.Wahai hamba-Ku masing-masing dari kau akan sesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk mintalah petunjuk kepada-Ku maka Aku akan memberi petunjuk kepadamu.Wahai hamba-Ku masing-masing dari kamu akan lapar kecuali orang yang Aku beri makan mintalah kepada-Ku maka akan Aku akan memberi kepadamu.Wahai hamba-Ku masing-masing kamu itu telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian mintalah pakaian kepada-Ku maka Aku akan memberikan kepadamu.Wahai hamba-Ku sesungguhnya kamu melakukan kesalahan siang dan malam sedang Aku mengampuni semua dosa mintalah ampun kepada-Ku maka Aku akan memberi ampunan kepadamu.Wahai hamba-Ku sesungguhnya kamu tidak akan bias menghindar dari kemudharatan-Ku maka kamu tidak akan mendapatkan kemanfatan-Ku maka mohonlah kemanfaatan kepada-Ku.Wahai hamba-Ku seandainya orang yang pertama dan terakhir dari kamu manusia dan jin dikalangan itu berada pada hati seseorang laki-laki yang paling taqwa diantaramu maka yang demikian itu tidak akan menambahsedikitpun dari kerajaan-Ku .Wahai hamba-Ku seandainya orang pertam dan terakhir dari kamu jin dan manusia berada pada hati seseorang hati seorang laki-laki yang jahat maka yang demikian itu tidak akan mengurangi sedikitpun kerajaan-Ku.Wahai hamba-Ku seandainya orang yang pertama dan terakhir diantara kamu manusia dan jin berdiri pada suatu bukit lalu mereka minta kepada-Ku maka Aku akan memberinya dari setiap orang yang permintaanya.maka yang demikian itu tidak akan mengurangi apa yang ada di sisi-Ku melainkan seperti air laut apabila dimasukan kedalamnya.Wahai hamba-Ku itu adalah amal-amal kalian yang Aku hitung semua untuk kalian dan kemudian Aku sempurnakan bagi kalian.Maka barang siapa yang mendapatkan kebaikan hendaklah memuji Allah dan barang siapa yang mendapatkan selain itu maka janganlah mencela selain dari pada dirinya sendiri(Hadits dikeluarkan Muslim).
KESIMPULAN
Aklakh adalah sesuatu hal yang menentukan bagaimana seseorang bias
disegani dan dijauhi itu semua tergantung kepada akhlaknya.
Akhlak yang baik ataupun yang buruk tentunya semua itu ada hal yang menyebabkan itu semua,seseorang yang berakhlak baik tentunya mempunyai factor yang membuat ia mempunyai akhlak yang baik baik itu karena factor internal ataupun eksternal,maka dari itu semua kita harus mengetahui agar pada saatnya kita bias membedakan factor yang akan membawa kebaikan dan keburukan dan tentunya kita akan berusaha untuk mempunyai akhlak yang baik yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Akhlak yang buruk yang terdapat pada diri seseorang yang tentunya semua itu juga memiliki faktor yang menyebabkan itu semua terjadi pada diri orang itu,maka dengan setelah kita mengetahui tentang akhlak buruk ataupun factor-faktor penyebabnya kita akan berusaha untuk berusaha menjauhi factor-faktor tersebut ataupun mencari bagaimana pencegahannya ataupun yang menjadi sosialisasinya.
Rasullah memiliki akhlak yang begitu mulyanya yang tentunya harus kita ikuti dan amalakan dalam kehidupan sehari-hari kita begitupun akhlak kita yang menawan akan kelihatan sungguh indah apabila dibandingkan dengan akhlak yang buruk yang tentunya kita harus menjauhinya.
Allah mencintai bahkan memuliakan orang-orang yang memiliki akhlak yang baik yang sesuai dengan yang diperintahkan-Nya,maka diutuslah Rasullah untuk menyempurnakan akhlak kita agar akhlak kita baik.
Akhlak yang baik ataupun yang buruk tentunya semua itu ada hal yang menyebabkan itu semua,seseorang yang berakhlak baik tentunya mempunyai factor yang membuat ia mempunyai akhlak yang baik baik itu karena factor internal ataupun eksternal,maka dari itu semua kita harus mengetahui agar pada saatnya kita bias membedakan factor yang akan membawa kebaikan dan keburukan dan tentunya kita akan berusaha untuk mempunyai akhlak yang baik yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Akhlak yang buruk yang terdapat pada diri seseorang yang tentunya semua itu juga memiliki faktor yang menyebabkan itu semua terjadi pada diri orang itu,maka dengan setelah kita mengetahui tentang akhlak buruk ataupun factor-faktor penyebabnya kita akan berusaha untuk berusaha menjauhi factor-faktor tersebut ataupun mencari bagaimana pencegahannya ataupun yang menjadi sosialisasinya.
Rasullah memiliki akhlak yang begitu mulyanya yang tentunya harus kita ikuti dan amalakan dalam kehidupan sehari-hari kita begitupun akhlak kita yang menawan akan kelihatan sungguh indah apabila dibandingkan dengan akhlak yang buruk yang tentunya kita harus menjauhinya.
Allah mencintai bahkan memuliakan orang-orang yang memiliki akhlak yang baik yang sesuai dengan yang diperintahkan-Nya,maka diutuslah Rasullah untuk menyempurnakan akhlak kita agar akhlak kita baik.