Selasa, 09 Oktober 2012

MATERI AKHLAK XII TEREKAT


TARIKAT DAN TOKOH-TOKOH SERTA AJARANNYA
STANDAR KOMPETENSI
KOMPETENSI DASAR
  1. Mengenal Tarikat dan tokoh-tokoh serta ajarannya
1.1.Menjelaskan tarikat Qadiriyah dan ajarannya1.2.Menjelaskan tarikat Rifa’iyah dan ajarannya1.3.Menjelaskan tarikat Syaziliyah dan ajarannya1.4.Menjelaskan tarikat Maulawiyah dan ajarannya
1.5.Menjelaskan tarikat Syatiriyah dan ajarannya
1.6.Menjelaskan tarikat Naqsabandiyah dan ajarannya
1.7.Menjelaskan tarikat Suhrawardiyah dan ajarannya
  1. A. PENGERTIAN TAREKAT
  2. 1. Pengertian secara Bahasa
    1. Tarekat (bahasa Arab: Ṭarīqah طريقة; jamak طرق; ṭuruq) berarti “jalan” atau “metode”, dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme dalam Islam. Ia secara konseptual terkait dengan ḥaqīqah atau “kebenaran sejati”, yaitu cita-cita ideal yang ingin dicapai oleh para pelaku aliran tersebut. Seorang penuntut ilmu agama akan memulai pendekatannya dengan mempelajari hukum Islam, yaitu praktek eksoteris atau duniawi Islam, dan kemudian berlanjut pada jalan pendekatan mistis keagamaan yang berbentuk ṭarīqah. Melalui praktek spiritual dan bimbingan seorang pemimpin tarekat, calon penghayat tarekat akan berupaya untuk mencapai ḥaqīqah (hakikat, atau kebenaran hakiki).
    2. Kata tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah).
    3. Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
  1. 2. Pengertian secara istilah
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.
Pengertian diatas menunjukkan Tarekat sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat ditemukan pada al-Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Rifa’iah, Tarekat Samaniyah dll. Untuk di Indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat sebagai sebutan atau nama paham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara langsung dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat besar dan kenamaan. Misalnya Tarekat Sulaiman Gayam (Bogor), Tarekat Khalawatiah Yusuf (Sulawesi Selatan) boleh dikatakan hanya meminjam sebutannya saja.
Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakikat atau dengan kata lain pengalaman Syari’at, yang disebut “Al-Jaraa” atau “Al-Amal”, sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
1)  Tarekat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
2)  Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang tidak (batin).
3)   Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.
Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan Tasawuf di beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah Tarekat mempunyai dua macam pengertian.
  1. Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamaat” dan “Al-Ahwaal”.
  2. Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut ajaran yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu. Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya.
Secara terminologi, pemaknaan tarekat agak sulit dirumuskan dengan pas, karena pengertian tarekat ikut berkembang mengikuti perjalanan kesejarahan dan perluasan kawasan penyebarannya. Dari berbagai sumber klasik maupun kontemporer, nampaknya tarekat dapat dimaknai sebagai ”suatu sistem hidup bersama dan kebersamaan dalam keberagamaan sebagai upaya spiritualisasi pamahaman dan pengamalan ajaran Islam menuju tercapainya ma’rifatu’I-lah”. Dalam perspektif ini, secara operasional rumusan ini bisa diartikan sebagai usaha kolektif dalam upaya tazkiyah an nafs dalam rangka interiorisasi keberagamaan.
Tarekat itu artinya jalan petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai berantai.
Menurut Mircea Aliade, kata thariqah digunakan dalam dunia tasawuf sebagai jalan yang harus di tempuh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Atau metode psikologis-moral dalam membimbing seseorang untuk mengenali Tuhannya.
Pengertian tarekat menurut Prof.Dr.H.Abubakar Aceh ialah : “jalan ,petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang telah ditentukan dan dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dan dikerjakan oleh Sahabat, tabi’in , dan tabi’it tabi’in turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai berantai”.
Dari Abu Al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani mengatakan :  “kata Tariqat pada para sufi mutakhir dinisbatkan bagi sejumlah probadi sufi yang bergabung dengan seorang guru( Syekh) dan tunduk dibawah aturan-aturan terperinci dengan jalan rohaniyah ,yang hidup secara kolektif secara zawiyah, ribath dan khanaqah, atau berkumpul secara periodic dalam acara-acara tertentu, serta mengadakan berbagai pertemuan ilmiah maupun rohaniyah yang teratur”.
Sedangkan J. S. Trimingham menyatakan bahwa tarekat adalah ”a practical method (other terms were madhhab, ri’ayah and suluk) to guide a seeker by tracing a way of thought, feeling and action, leading a succession of stages (maqamat, an integral association with psycological experiance called ’states’ ahwal) to experianceof Divine Reality (haqiqa) ”, metode praktis (bentuk-bentuk lainnya, mazhab, ri’ayah, dan suluk) untuk membimbing murid dengan menggunakan pikiran, perasaan dan tindakan melalui tingkatan-tingkatan (maqamat, kesatuan yang utuh dari pengalaman jiwa yang disebut ’states’, ahwal) secara beruntun untuk merasakan hakikat Tuhan”.
Tarekat berakar dari pengalaman seorang sufi –ahli tasawuf- dalam mengajarkan ilmunya kepada orang lain, pengajaran mana kemudian dikembangkan pengikutnya. Oleh karena itu, dalam perkembangannya kemudian, tarekat terkait erat dengan nama guru tasawuf itu. Dalam pengertian ini, maka penamaan satu tarekat diambil dari nama pimpinan kelompok belajar itu. Misalnya tarekat Naqsyabandiyah dinamai demikian adalah karena kelompok pembelajaran tasawuf itu dirintis oleh Bahauddin al- Naqsyaband. Hal ini berarti, nampaknya tarekat mirip dengan aliran tasawuf –the sufi orders-, atau semacam pranata sosial keagamaan yang visi dan misinya sufism. Dengan demikian tarekat yang pada awalnya dimaknai sebagai metode mendekatkan diri kepada Allah, berubah menjadi sistem pembelajaran tasawuf yang melembaga.
Dalam tarekat sebagai lembaga, ditemui adanya seorang mursyid atau pembimbing dan biasanya didampingi satu orang asisten atau lebih, yang disebut ”khalifah” atau wakil, pengikutnya dinamai ”murid” atau yang berminat. Tempat untuk belajar dan pondokan –semacam asrama- disebut ribath atau zawiyah dan juga dinamai taqiyah yang dalam bahasa persia disebut khanaqoh.
  1. 3. Tujuan dan Dasar Utama Tarekat
Tujuan utama pendirian berbagai tarekat oleh para sufi, termasuk Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah adalah untuk membina dan mengarahkan seseorang agar bias merasakan hakikat Tuhannya dalam kehidupan sehari-hari melalui perjalanan ibadah yang terarah dan sempurna. Dalam kegiatan semacam ini, biasanya seorang anggota atau salik (penempuh dan pencari hakikat ketuhanan) akan diarahkan oleh tradisi-tradisi ritual khas yang terdapat dalam tarekat bersangkutan sebagai upaya pengembangan untuk bisa menyampaikan mereka ke wilayah hakikat atau makrifat kepada Allah ’Azza wa Jalla. Setiap tarekat memilki perbedaan dalam menentukan metode dan prinsip-prinsip pembinaanya. Meski demikian, tujuan utama setiap tarekat akan tetap sama, yakni mengharapkan Hakikat Yang Mutlak, Allah ’Azza wa Jalla. Secara umum, tujuan utama setiap tarekat adalah penekanan pada kehidupan akhirat, yang merupakan titik akhir tujuan kehidupan manusia beragama. Sehingga, setiap aktifitas atau amal perbuatan selalu diperhitungkan, apakah dapat diterima atau tidak oleh Tuhan.
Karena itu, Muhammad ’Amin al-Kurdi, salah seorang tokoh Tarekat Naqsyabandi, menekankan pentingnya seseorang masuk ke dalam tarekat, agar bisa memperoleh kesempurnaan dalam beribadah kepada Tuhannya. Menurutnya, minimal ada tiga tujuan bagi seseorang yang memasuki dunia tarekat untuk menyempurnakan ibadah. Pertama, supaya ”terbuka” terhadap sesuatu yang diimaninya, yakni Zat Allah AWT, baik mengenai sifat-sifat, keagungan maupun kesempurnaan-Nya, sehingga ia dapat mendekatkan diri kepada-Nya secara dekat lagi, serta untuk mencapai hakikat dan kesempurnaan kenabian dan para sahabatnya. Kedua, untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat dan akhlak yang keji, kemudian menghiasinya dengan akhlak yang terpuji dan sifat-sifat yang diridhai (Allah) dengan berpegangan pada para pendahulu (shalihin) yang telah memiliki sifat-sifat itu. Ketiga, untuk menyempurnakan amal-amal syariat, yakni memudahkan beramal salih dan berbuat kebajikan tanpa menemukan kesulitan dan kesusahan dalam melaksanakannya.
Langkah utama dan pertama bagi seseorang yang akan memasuki dunia tarekat adalah kesiapan untuk menaati aturan-aturan syariat Islam. Karena seluruh aktifitas kehidupan anggota tarekat akan selalu bersandar pada hukum-hukum syariat, terutam yang terpilih dan memiliki keunggulan, dan mereka lebih senang menghindari hukum-hukum Islam yang ringan dan mudah. Karena itu, mencium ambang pintu syariat, kata Abu al- Majdud as-Sana’i, merupakan kewajiban pertama bagi seseorang yang akan menempuh perjalanan ”mistik”ini. Di samping itu, dasar-dasar akidah yang benar juga merupakan pondasi utama bagi berlangsungnya perjalanan seorang murid dalam tarekat, yakni akidah para salaf salih, para sahabat, tabi’in, para wali serta para shiddiqin yang selalu berpegang pada Al-qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Kedua dasar itu (akidah dan syariat) sangat diperlukan bagi seorang salik (pencari hakikat ketuhanan), mengingat perjalanan yang akan mereka tempuh sangat sulit dan mendaki, terutama untuk sampai pada maqam-maqam yang mereka tuju. Tanpa memilliki aqidah yang kuat, menguasai dan menjalani kehidupan syariat, maka pencapaian kehidupan tarekat mereka mustahil bisa dilakukan dengan benar, karena sesungguhnya dalam tarekat terjalin hal-hal yang diterangkan oleh syariat. Sebaliknya, kehidupan syariat nampak tidak akan seimbang bila tidak diiringi dengan nilai-nilai yang ada dalam tarekat atau dunia tasawuf secara umum. Peranan tarekat atau tasawuf sebagai dimensi batin syariat telah diakui oleh para pendiri aliran hukum, yang menenkankan pentingnya aspek ini dalam pendalaman etika Islam.
Di sinilah tarekat memberikan keseimbangan dalam mengiringi jalannya syariat Islam, sebagai penghalus untuk meresapkan nilai-nilai hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunah sehingga bisa mencapaiai hakikatnya. Sebagian besar ulama salaf dalam masyarakat isalm telah mampu menjaga keseimbangan ini, yakni menjaga jangan sampai syariat terpisah dari tarekat dan tarekat terasing dari syariat. Vitalitas keagamaan dan spiritual Islam tumbuh dari kedua dimensi ini (syariat dan tarekat) selama berabadabad, yang secara bersama-sama telah membentuk tradisi keagamaan yang integraldalam masyarakat religius. Menurut simbolisme sufi yang cukup terkenal, Islam diumpamakan dengan buah ”kenari” yang kulitnya diibaratkan syariat, sedangkan isinya adalah tarekat, dan minyaknya yang ada dimana-mana adalah hakikat. Kenari tanpa kulit tidak akan tumbuh di alam, begitu pula bila tanpa isi, ia tidak akan mempunyai arti apa-apa. Syariat tanpa tarekat seperti tubuh tanpa jiwa, dan tarekat tanpa syariat pasti tidak akan mempunyai bentuk lahiriah serta tidak akan mampu bertahan dan mewujudkan dirinya di dunia ini. Bagi keseluruhan tradisi, keduanya mutlak diperlukan. Di sinilah secara universal rekat telah menunjukkan tujuannya sebagai penyempuna dalam memberikan keseimbangan bagi setiap hamba untuk menjalankan ajaran islam dan mengantarkan mereka menuju pintu hakikatnya. Melalui latihan-latihan mental dan spiritual (riyadhah)- nya, tarekat telah menunjuk kan metode praktisnya dalam memberikan nilai-nilai keseimbangan tadi.
  1. 4. Perkembangan Tarekat dalam Dunia Islam
Dilihat dari sisi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai lembaga, sulit diketahui karena tiadanya artifact sejarah yang jelas. Dari beberapa literatur yang dirujuk, nampaknya Tarekat Taifuriyah adalah tarekat tertua. Tarekat ini berdiri pada abad ke-IX di Persia yang mengembangkan tasawuf Abu Yazid al-Busthami al-Taifuriyah. Pendapat ini dipandang cukup beralasan, karena tarekat ini menganut paham tasawuf Abu Yazid al-Busthami. Pada umumnya tarekat yang berkembang di Persia, menganut paham tasawuf Abu Yazid yang lahir di Taifur, satu desa yang terletak di Khurasan Persia atau Iran. Namun perkembangan nyata keberadaan tarekat adalah sekitar abad ke XII di dua daerah basis, yaitu di Khurasan (Persia) dan Mesopotamia (Irak). Tarekat yang bermunculan di daerah Khurasan beraliran tasawuf Abu Yazid, sedangkan tarekat yang berkembang di Mesopotamia berakar pada tasawuf Junaid al-Baghdadi. Pada era abad dua belas itu, di Khurasan berdiri tarekat Yasaviyah yang dipelopori oleh Ahmad al-Yasavi (w. 1169) dan tarekat khawajaganiyah yang didirikan oleh Abdul Khaliq al- Ghazdawani (1220).
Tarekat Yasaviyah melebarkan sayapnya ke kawasan Turki dengan nama baru tarekat Bektashiyah diidentikkan dengan nama pendirinya Muhammad Atha’ bin Ibrahim Hajji Bekhtash (w.1335). Tarekat ini cukup populer pada masa kekuasaan Sultan Murad I, karena tarekat itu memiliki komando sebagai kekuatan inti kerajaan Turki Osmani, yang disebut ”jenissari”. Tarekat Naqsyabandiyah adalah salah satu tarekat yang merupakan pengembangan dari tarekat Khawajaganiyah yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin al-Naqsyaband al-Awisi al-Bukhari (w.1335) . Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat ini menyebar ke Turki, India dan Indonesia dengan nama baru sesuai dengan pendirinya di kawasan setempat. Di Indonesia tarekat yang merupakan cabang dari Naqsyabandiyah, antara lain tarekat Khalidiyah, Muradiyah, Mujaddidah., Ahsaniyah dan lain-lain. Selain dari kedua tarekat induk tadi, tarekat yang tergolong rumpun Khurasan masih banyak lagi yang berpengaruh dalam dunia tarekat, seperti tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (w.1397). Di kawasan Mesir tarekat ini didirikan oleh Ibrahim Ghulseni (1534) yang kemudian berganti nama tarekat Sammaniyah yang didirikan oleh Muhammad Ibn Abdul Karim as-Sammani (w.1775), tarekat ini disebut juga dengan nama Tarekat Hafniyah.
Tarekat yang berasal dari rumpun Mesopotamia-Irak anutannya berakar pada tasawuf Abdul Qasim al-Junaidi yang meninggal sekitar tahun 910 atau menganut paham tasawuf Abdul Qadir al-Jailani (w.1078). Tarekat Suhrawardiyah yang dirintis oleh Abu Hafs as Suhrawardi (w.1234), tarekat Kubrawiyah yang dipelopori Najamuddin al-Kubra (w.1221) dan tarekat Maulawiyah yang didirikan oleh Jalaludin al-Rummi (w.1273), adalah tarekat-tarekat besar yang mengacu pada tasawuf al-Junaidi. Tarekat Kubrawiyah cukup digemari di India dan Pakistan, sedangkan Tarekat Maulawiyah berkembang subur diwilayah Turki, Tarekat Qadariyah yang dibangun oleh Muhyidin Abdul Qadir al- Jaelani di Irak, melebarkan ajaran tasawufnya melalui tarekat Shadziliyah yang didirikan oleh Nuruddin as-Shadzili (w.1258) dan tarekat Rifaiyah yang dirintis oleh Ahmad Ibn Ali Ar-Rifai (w. 1182). Tarekat yang berasal dari rumpun Qadiriyah, tersebar luas dihampir seluruh negeri islam. Tarekat Faridiyah yang mengilhami lahirnya tarekat Sanusiyah dan Idrisiyah di kawasan Afrika Utara, adalah tarekat yang termasuk rumpun Qadiriyah yang berakar pada tasawuf Dzuan Nun al-Mishri (w.860). Tarekat Qadariyah masuk ke kawasan India atas jasa Muhammad al-Ghawth dengan mendirikan tarekat Ghawthiya sekitar tahun 1617.
Oleh karena banyaknya penyebaran tarekat dari satu induk saja, maka terasa sulit menelusuri perkembangan dan pertumbuhan tarekat secara sistematis. Tetapi yang jelas, cabang-cabang atau tarekat baru yang berdiri itu adalah karena tersebarnya abituren satu tarekat ke berbagai kawasan. Di antara abituren itu, pasti ada sekian orang yang mendapat wewenang untuk membuka tarekat baru di daerah asalnya masing-masing. Dengan cara demikian maka dari satu Ribath induk dapat melahirkan beberapa ribath cabang, dan dari satu ribath cabang dapat pula berkembang menjadi banyak ribath ranting dan seterusnya berkembang secara diasporis. Namun demikian perkembangan satu tarekat induk kekawasan manapun atau sebanyak apapun, nilai anutannya tetap sama seperti tarekat induknya. Dengan kata lain, penyebaran itu hanyalah dalam segi jumlah tetapi tidak menyentuh aspek anutannya. Kehidupan tarekat di Indonesia cukup subur dan banyak pengikut, karena sesuai dengan kultur mayoritas bangsa ini. Hal ini terbukti dari banyaknya ribath-ribath yang menyebar di hampir seluruh kawasan nusantara. Namun yang cukup luas dikenal masyarakat dan banyak pengikutnya, antara lain : Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Khalidiyah, Rifaiyah dan Khalwatiyah. Menurut Jumhur Ulama Pada abad ini terdapat 41 thariqah. Masing-masing mempunyai Syekh.
  1. 5. Urgensi Mursyid dalam Tariqat
Secara luas, kata mursyid berasal dari ‘irsyad’ yang artinya petunjuk. Sedangkan pelakunya adalah mursyid yang artinya orang yang ahli dalam memberi petunjuk dalam bidang agama.
Menurut pengertian ini, yang disebut mursyid adalah orang-orang yang ditugasi oleh Allah Swt untuk menuntun, membimbing dan menunjukkan manusia ke jalan yang lurus atau benar dan menghindarkan manusia dari jalan yang sesat. Tentu saja mereka sebelum ditugasi oleh Allah telah mendapat pengajaran terlebih dahulu dan mendapatkan bekal yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pembimbingan.
Menurut Rasulullah Saw, bahwa jajaran petugas-petugas Allah Swt memimpin dan membimbing umat adalah para Nabi, para Rasul, dan para Khalifah Allah (Khulafaur Rasyidin al Mahdiyyin) yakni Khalifah Allah dan Khalifah Rasulullah yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk dari Allah Swt, Nabi bersabda :
Dari Abu Hurairah ra. menyatakan: Rasulullah Saw bersabda: “Dahulu kaum Bani Isra’il dipimpin oleh para Nabi. Setiap seorang nabi meninggal dunia, maka diganti seorang nabi lainnya. Maka sesungguhnya tidak ada nabi yang menggantikan setelah aku meninggal dunia, Namun yang menggantikanku adalah khalifah-khalifah. Maka mereka banyak mempunyai pengikut-pengikut ”, Sahabat bertanya, “Wahai Rasul apa yang engkau perintahkan pada kami?” Rasul menjawab, “Laksanakan baiat seperti baiat pertama kali di hadapan mereka dan tunaikan hak-hak mereka, Kalian mintalah kepada Allah yang menjadi bagian kalian, karena Allah Ta’ala menanyakan tentang apa yang mereka pimpin.” (HR. Bukhari Muslim).
Pengertian Mursyid secara terbatas pada kalangan sufi dan ahli thareqat adalah orang yang pernah membaiat dan menalqin atau mengajari kepada murid tentang teknik-teknik bermunajat kepada Allah berupa teknik dzikir atau beramalan-amalan saleh.
Mursyid adalah guru yang membimbing kepada murid untuk berjalan menuju Allah Swt dengan menapaki jalannya. Dengan bimbingan guru itu, murid meningkat derajatnya di sisi Allah, mencapai Rijalallah, dengan berbekal ilmu syariat dan ilmu hakikat yang diperkuat oleh al Qur’an dan as sunah serta mengikuti jejak ulama pewaris nabi dan ulama yang telah terdidik oleh mursyid sebelumnya dan mendapat izin dari guru di atasnya untuk mengajar umat. Guru yang dimaksud adalah guru yang hidup sezaman dengan murid dan mempunyai tali keguruan sampai nabi Muhammad Saw. Guru yang demikian itu adalah yang sudah Arif Billah, tali penyambung murid kepada Allah, dan merupakan pintu bagi murid masuk kepada istana Allah. Dengan demikian guru merupakan faktor yang penting bagi murid untuk mengantarkannya menuju diterimanya taubat dan dibebaskannya dari kelalaian.
Dalam perjalanan menuju Allah Swt, murid wajib baginya menggunakan mursyid atau pembimbing. Syekh Abu Yazid al Busthomi berkata :
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يُرْشِدُهُ فَمُرْشِدُهُ شَيْطَان
“Orang yang tidak mempunyai syeikh mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan”.
Muhammad Amin al Kurdi dalam kitanya yang bejudul Tanwirul Qulub fi mu’amalati ‘alamil ghulub menjelaskan bahwa pada saat murid ingin meniti jalan menuju Allah (thareqatullah), ia harus bangkit dari kelalaian. Perjalanan itu harus didahului dengan taubat dan segala dosa kemudian ia melakukan amal saleh. Setelah itu ia harus mencari seorang guru mursyid yang ahli keruhanian yang mengetahui penyakit-penyakit kejiwaan dari murid-muridnya. Guru tersebut hidup semasa dengannya. Yaitu seorang guru yang terus meningkatkan diri ke berbagai kedudukan kesempurnaan, baik secara syariat maupun hakikat. Perilakunya juga sejalan dengan al Qur’an dan al Sunnah serta mengikuti jejak langkah para ulama pendahulunya. Secara berantai hingga kepada Nabi Saw. Gurunya itu juga telah mendapat lisensi atau izin dari kakek gurunya untuk menjadi seorang mursyid dan pembimbing keruhanian kepada Allah Swt, sehingga murid berhasil diantarkan kepada maqam-maqam dalam tasawuf dan thareqat. Penentuan guru ini juga tidak boleh atas dasar kebodohan dan mengikuti nafsu. (Amin al Kurdi, Tanwirul Qulub, hlm.524)
Sebelum ia menjadi mursyid yang arif billahi, seseorang harus mendapat tarbiah atau pendidikan dari guru yang selalu mengawasi perkembangan ruhani murid, sehingga murid mencapai maqam ‘shiddiq’. Kemudian diizinkan oleh guru untuk membaiat kepada calon murid dengan mengajari mereka.
Tampilnya menjadi mursyid itu bukan kehendak dirinya tapi kehendak gurunya, dengan demikian orang yang memunculkan dirinya sebagai mursyid tanpa seizin guru maka ia sangat membahayakan kepada calon muridnya. Murid yang di bawah bimbingannya itu akan mengalami keterputusan. Berarti mursyid yang palsu ini menjadi penghalang muridnya menuju Allah dan dosa-dosa mereka akan ditanggung oleh mursyid jadi-jadian itu. (Amin al Kurdi: tt, hlm. 525)
Seluruh pembelajaran dan pengajaran serta bimbingan mesti bersesuaian dengan isi, terutama bagian dalam al Qur’an dan al Sunnah serta sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh nabi dan ulama pewarisnya. Orang yang menyandang demikian itulah yang layak dicontoh / diteladani oleh murid-muridnya, syaikh Imam Junaid al Baghdadi mengatakan :
عَلِمْنَا هَذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَمَنْ لَمْ يَقْرَإِ اْلكِتَابَ وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيْثَ وَلَمْ يَجْلِسِ اْلعُلَمَاءَ لاَ يُقْتَدَى فِى هَذَا الشَّأْنِ
“Ilmu kami diperkuat dengan dalil-dalil al Qur’an dan al Hadits, maka siapa yang tidak membaca al Qur’an dan tidak menulis hadits, serta tidak duduk sering-sering dengan ulama, maka ia tidak layak menjadi panutan di dalam perkara-perkara (thareqat) ini”.
Dengan keterangan di atas, mursyid semestinya adalah orang yang tergolong ulama, pemimpin umat yang bersifat kamil lagi mukammil yakni pribadinya bersih dan suci serta berakhlak yang terpuji, dan mampu menyempurnakan akhlak murid-muridnya. Mursyid adalah kuat keyakinannya dan menjadi kekasih Tuhan, membawa berkah untuk umatnya serta rahmat bagi kaumnya. Ia mengetahui berbagai penyakit ruhani dan jasmani muridnya, mampu menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut atau mampu mengajarkan teknik-teknik penyembuhan dan pengobatan jasmani dan ruhani. Mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit yang membelenggu umat dengan kekeramatan dan maunah yang diberikan oleh Allah kepadanya.
  1. 6. Kemampuan dan syarat syarat Musyid
Idealnya seorang guru mursyid atau syaikh dalam thareqat memenuhi kemampuan-kemampuan dan harapan di mata muridnya sebagai berikut :
  1. Syaikh al Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam thareqat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum tuhan, sehingga dari syaikh itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total.
  2. Syaikh al Iqtida’, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru oleh murid, demikian pula perkataan dan perbuatannya seyogyanya diikuti.
  3. Syaikh at Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka.
  4. Syaikh al Intisab, ialah guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, maka orang yang meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan.
  5. Syaikh at Talqin, adalah guru keruhanian yang mengajar setiap individu anggota thareqat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang.
  6. Syaikh at Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para pemula dari pengamal thareqat.
Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, — dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, — bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:
  1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
  2. Memiliki pengetahuan yang benar.
  3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
  4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
  5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
  1. Bodoh terhadap ajaran agama.
  2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
  3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
  4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
  5. Berakhlaq buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
  1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
  2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
  3. Tamak terhadap sesama makhuk.
  4. Kontra terhadap Ahlullah
  5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.
Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya. Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.
Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
  1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
  2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
  3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
  4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
  5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.
Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah. Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.
Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
  1. Himmah yang tinggi,
  2. Menjaga kehormatan,
  3. Bakti yang baik,
  4. Melaksanakan prinsip utama; dan
  5. Mengagungkan nikmat Allah Swt.
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.
Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.
  1. 7. Tahapan-tahapan Tarekat
Empat tingkatan spiritual
Bagan yang menggambarkan kedudukan tarekat dalam empat tingkatan spiritual (syari’ah, tariqah, haqiqah, dan ma’rifah yang dianggap tidak terlihat)
Kaum sufi berpendapat bahwa terdapat empat tingkatan spiritual umum dalam Islam, yaitu syari’at, tariqah, haqiqah, dan tingkatan keempat ma’rifat yang merupakan tingkatan yang ‘tak terlihat’. Tingkatan keempat dianggap merupakan inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari seluruh tingkatan kedalaman spiritual beragama tersebut.
Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun secara bersama- sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqaamaat” dan “Al-Akhwaal”, meskipun kedua istilah ini ada segi perbedaannya. Latihan kerohanian itu, sering juga disebut “Suluk”, maka pengertian Tarekat dan Suluk adalah sama, bila dilihat dari sisi amalannya (prakteknya). Tetapi kalau dilihat dari sisi organisasinya (perkumpulannya), tentu saja pengertian Tarekat dan Suluk tidak sama
Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat dibedakan dari dua segi:
a) Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh dengan cara pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan ahwaal, di samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat juga diperoleh manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan, meskipun ia tidak pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-sungguh.
b) Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau bertahan lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia, dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis mengikuti pendapat yang membedakannya beserta alasan-alasannya.
Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama Tasawuf.   Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh, sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh.  Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan sebagai berikut:
  1. Tingkatan Taubat (At-Taubah); T
a) Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh, serta yang syubhat (Al-Wara’);
b) Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu).
c) Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru).
d) Tingkatan Sabar (Ash-Shabru).
e) Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul).
f) Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).

  1. Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat dikemukakan sebagai berikut;
a)         Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)  
b)        Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu)
c)         Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
d)        Tingkatan takut (Al-Khauf)
e)         Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)  
f)         Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)
g)        Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah (Al-Unsu).
h)        Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan)
i)          Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahaah)
j)          Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin).
  1. B. TAREKAT QODIRIYAH DAN AJARANNAYA
    1. 1. Tokoh Pendiri Tarekat Qodiriyah Dan Perkembanganya
Tarekat Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi QS. Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Suriah, Turki, Mesir, India, Kamerun,Kongo,Mauritania & Tanzania,& wilayah Asia tengah,serta di tempat2 la,. Di indonesia,tradisi tarekat ini jg masih melekat di masyarakat kita.Syekh Abdul Qadir al-jailani merupakan tokoh yg sgt masyhur.Namanya selalu disebut dlm tradisi Tawasul acara2 keagamaan. Tarekat ini sudah berkembang sejak abad ke-13. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di Nif, distrik Gilan, sebelah selatan Laut Kaspia.tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, dia  tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Salsilah tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina Muhammad Rasulullah SAW, kemudian turun temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra, Sayidina Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja’far As Shodiq ra, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa Al Rido, Syaikh Ma’ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi, Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi, Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh Abu Sa’id Mubarok Al Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, “Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qodiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah,dal lain-lain. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah. Sedangkan di Afrika diantaranya terdapat tarekat Ammariyah, Tarekat Bakka’iyah, dan lain sebagainya.
Di Indonesia, pencabangan tarekat Qodiriyah ini secara khusus oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi digabungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah menjadi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah . Kemudian garis salsilahnya yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Kaim Tanara Al-Bantani berkembang pesat di seluruh Indonesia.
Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani ini berasal dari Banten dan merupakan ulama Indonesia pertama yang menjadi Imam Masjidil Haram. Selanjutnya jalur salsilahnya berlanjut ke Syaikh Abdullah Mubarok Cibuntu atau lazim dikenal sebagai Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten. Terus berlanjut ke Syaikh Nur Annaum Suryadipraja bin Haji Agus Tajudin yang berkedudukan di Pabuaran Bogor. Selanjutnya garis salsilah ini saat ini berlanjut ke Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin.
Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin selain mempunyai sanad dari tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah juga khirkoh dari tarekat Naqsyabandiyah dari garis salsilah Syaikh Jalaludin. Ia sampai dengan hari ini meneruskan tradisi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah dengan kholaqoh dzikirnya yang bertempat di Bogor Baru kotamadya Bogor propinsi Jawa Barat.
‘Jalan’ ini diadakan oleh para pengikut Abdul Qadir dari Gilan dan menggunakan terminologi sangat sederhana yang kemudian hari digunakan oleh orang-orang Rosicrucia di Eropa. Semua kaum darwis menggunakan bunga mawar (ward) sebagai suatu lencana dan simbol dari persamaan bunyi (rima) dari kata wird (latihan konsentrasi-mengingat Allah).
Abdul Qadir, pendiri tarekat Qadiriyah, termasuk dalam suatu peristiwa yang memberinya julukan Mawar dari Baghdad. Hal itu dikaitkan bahwa Baghdad telah demikian penuh dengan para guru kebatinan (mistik), ketika Abdul Qadir tiba di kota, maka diputuskan untuk mengiriminya sebuah pesan. Kaum mistik oleh karena itu mengirimkan kepadanya, di pinggiran kota, sebuah bejana yang diisi penuh dengan air. Maksudnya sudah jelas: “Cawan Baghdad sudah penuh”. Meski musim kemarau dan di luar musim, Abdul Qadir telah menghasilkan bunga mawar yang berkembang penuh, yang dia letakkan di atas air dalam bejana tersebut, menunjukkan kekuatannya yang luar biasa dan juga bahwa masih ada tempat bagi dirinya.
Ketika tanda-tanda ini telah dibawa kepada mereka, kumpulan kaum kebatinan tersebut berteriak, “Abdul Qadir adalah mawar kami,” dan mereka pun cepat-cepat mengantarkannya ke kota.
  1. 2. Ajaran Tarekat Qodiriyah
Adapun pengertian Tareqat Qodiriyah ialah : seperti yang telah dikatakan oleh Prof.Dr.Hamka,”tharekat-tharekat itu berdiri sendiri, dibawah pimpinan syekh dan memakai nama dibangsakan kepada syekh-syekhnya itu. Yang sangat terkenal ialah tareqat Qodiriyah yang didirikan dan dibangsakan kepada sayyid Abdul Qodir Jailani di negeri Baghdad.”.
Menurut Huston Smith dalam The Concise Encyclopedia of Islam, bahwa Syekh Abdul Qodir Jailani adalah peletak dasar-dasar tareqat Qodiriyah.tariat ini adalah yang pertama lahir dengan memiliki bentuk dan karakteristik tersendiri.Menurut keterangan lain bahwa tareqat ini lahir setelah wafatnya Syekh Abdul Qodir Jailani dan dibangun oleh orang-orang yang menganut dan meneruskan ajarannya. Dengan kata lain dia tidak mendirikan tareqat Qodiriyah.
Tareqat Qodiriyah bermula dari ribath dan madrasah Syekh Abdul Qodir Jailani, tempat dia menyampaikan ajaran-ajaran tasawufnya. Dia memimpin tempat tersebut sejak tahun 521 H hingga wafatnya tahun 561 H .setelah itu ribath diteruskan kepemimpinannya oleh anak-anaknya kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya dengan zawiyah sebagai pusat kegiatannya, yaitu suatu tempat dimana para sufi melatih diri dalam bertasawuf.Dari zawiyah inilah tareqat Qodiriyah mengalami perkembangan pesat.
Ditempat tersebut para murid mendapatkan ajaran dan pembinaan ruhani yang sesuai dengan ajarannya, bagi murid yang sudah tamat akan diberikan ijazah yang berupa Khirqah dengan melakukan janji untuk meneruskan ajarannya yang telah didapat. Bagi Syekh Abdul Qodir Jailani sendiri tentang perolehan khirqah tidak terlalu penting, pembentukan jiwa sufi lebih utama dan dianggap cukup.
Murid-muridnya banyak memegan peran penting dalam penyebaran ajaran tasawufnya.ada beberapa nama muridnya yang diketahui menyebarkan ajaranya yaitu : Muhammad ibn Abd al-Samad di Mesir, Muhammad al-Bata’ihi dan Taqiy al-Dina al-Yunini di Suriah, dan Ali al-Hadad di Yaman. Pada abad ke-15,tarekat ini masuk dan berkembang di anak benua India.
Perkembangan yang sama terjadi di Afrika Utara.Pada tahun 1550 M, tarekat ini tersebar di Afrika Timur.Pada abad ke-17, tarekat ini mulai masuk ke Turki.Penyebar didaerah ini bernama Ismail Rumi (wafat 1631 atau 1643 M), dia kira-kira mendirikan 40 pusat tarekat di Istambul dan sekitarnya. Tareqat Qodiriyah tersebar di Asia Kecil dan Eropa Timur, setelah beberapa desawarsa kemudian di Indonesia tareqat ini adalah yang pertamakali masuk menurut sumber-sumber yang ada di Indonesia.Orang yang pertama menganut tarekat Qodiriyah dari Indosesia ialah Hamzah Fansuri (wafat sekitar 1590 M) dia masuk tarekat Qodiriyah antara Baghdad dan Syahr-I Naw (Ayuthia, ibukota Muangrtai). Hamzah memperoleh ilmu Syekh Abdul Qodir Jailani melalui jalan ruhani.setelah Hamzah Fansuri tarekat ini berkembang di Aceh.Syekh Yusuf Makasari adalah orang yang masuk tarekat didaerah tersebut. Tarekat Qodiriyah di Aceh berhubungan dengan tarekat yang lahir di India (Gujarat)tarekat di Indonesia juga mendapat pengaruh dari Yaman.
Di Indonesia tarekat Qodiriyah bergabung dengan tarekat Naksabandiyah. Pengabungan kedua tarekat ini dilakukan oleh tokoh asal Indonesia, Ahmad Khatib ibn Abd Al-Ghaffar Sambas, yang bermukim dan mengajar di Mekkah pada pertengahan abad ke-19 berasal dari Kalimantan barat, akan tetapi meninggal di Mekkah tahun 1878 M.
Diantara murid-murid Ahmad Khatib ialah: Abd Al-Karim dari Banten, sebagai orang yang menyebarkan dan mempopulerkan tarekat Qodiriyah-Naqsabandiyah didaerah ini dan Syekh Tolhah dari Cirebon yang mempunyai murid bernama Abdullah Mubarak.mengenai murid syekh Tholhah yang dikenal sebagai pendiri Pesantren Suryalaya ini, penulis buku tarekat Naqsabandiyah di Indonesia.Martin Van Bruinessen mengatakan:
“ Khalifah dari Kiyai Tolhah Cirebon yang paling penting ialah Abdallah Mubarak, belakang dikenal sebagai Abah sepuh.Abdallah melakukan baiat ulang dengan Abd Karim Banten di Mekkah, dan pada tahun 1905M mendirikan pesantren Suryalaya di Pangerageung, dekat Tasikmalaya ( Jawa Barat ).Dibawah pimpinan putranya dan penerusnya Abah Anom (atau lebih gagah ,K.H.A. Shahibilwafa Tadjul Arifin) pesantren ini menjadi lebih terkenal secara nasional karena pengobatan yang dilakukan terhadap para korban Narkotika, penderita gangguan kejiwaan dan macam-macam penyakit lainya dengan mengamalkan dzikir tarekatnya. Abah Anom banyak mendapatkan patronase dari para pejabat tinggi dari Golkar yang telah dimasukinya hamper sejak permulaan berdirinya organisasi tersebut. Khalifahnya ada diseluruh jawa di Singapura di Sumatra Timur, Kalimantan Barat dan Lombok.
Zikir kepada Allah dengan mengucap Laailaaha illallah , adalah amalan utama di Pondok Pesantren Suryalaya sejak masa Abah Sepuh hingga Abah Anom.zikir tersebut diamalkan setelah shalat wajib sebanyak 165 kali atau lebih.diluar shalat wajib ,zikir tersebut tidak dilarang untuk diamalkan,bahkan dianjurkan.zikir ini dinamakan zikir Jahar, yakni zikir yang diucapkan dengan suara keras.zikir yang lain yaitu Zikir Khafi, yaitu zikir yang dibaca dalam hati.ini juga menjadi amalan pokok sebagai realisasi tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah.
Zikir pokok tarekat Qadiriyah yaitu membaca Istighfar paling sedikit dua kali atau duapuluh kali dengan lafadz Astaghfir Allah al-ghafur al-Rahim. Kemudian membaca shalawat sebanyak itu pula dengan lafadsz Allahuma shali’ala sayyidina Muhammad wa’ala alihi wa shahbihi wa sallim. Setelah itu membaca La ilaha illallah seratus enampuluh kali setelah selesai shalat fardhu. Pengucapan lafadz Lailaha illallah memiliki cara tersendiri, yaitu kata la dibaca sambil dibayangkan dari pikiran ditarik dari pusat hingga otak, kemudian kata ilaha dibaca sambil menggerakkan kepala kesebelah kanan, lalu kata illallah dibaca dengan keras sambil dipukulkan kedalam sanubari, yaitu kebagian sebelah kiri. Setelah selesai melakukan zikir itu lalu membaca Sayyidina Muhammad Rasul Allah Shalallah ‘alaihi wa sallam.lalu membaca shalawat Allahuma shalli’ala sayyidina Muhammad shalatan Tunjina biha min jami al-ahwal wa al-afat hingga akhirnya.kemudian membaca surat Al-Fatihah ditujukan kepada Rasulullah SAW dan kepada seluruh Syekh-syekh tarekat Qadiriyah serta para pengikutnya juga seluruh oragn islam baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.
Sebelum dan ketika melakukan zikir tersebut seorang murid membayangkan wajah guru(mursyid) didepanya dan limpahan karunia Allah kepada Nabi dan Syekh.
Bagi setiap orang yang menganut tarekat Qadiriyah harus berpegang kepada akidah para sahabat, tabi’in dan tabi;it tabi;in yaitu yang disebut akidah al-salaf al-salih. Berpedoman kepada Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW, agar dalam menjalani tarekat tidak tersesat. Bagi pemula (mubtadi, agar memiliki sifat bersih hati, jernih muka, suka memberi kebajikan, menghapus kejahatan, sabar dalam kekafiran, menjaga kehormatan syekh, bergaul baik sesame ikhwan, memberi nasihat kepada orang kecil dan orang besar, menjauhi permusuhan dan berkorban dalam masalah agama dan dunia.
Selain persyaratan tersebut diatas,setiap orang yang hendak mengikuti tarekat Qadiriyah harus menjalani dua tahapan.
Pertama , yaitu tahap permulaan yang terdiri dari :
1.Mengikuti dan menerima bay’at guru sebagai pertemuan pertama antara guru dan murid.
2.Penyampaian wasiat oleh guru kepada Murid.
3.Pernyataan guru membay’at muridnya diterima menjadi murid dengan lafadz tertentu.
4.Pembacaan do’a oleh guru yang terdiri dari do’a umum dan do’a khusus.
5.Pemberian minum oleh guru kepada murid sambil dibacakan beberapa ayat Al-Quran.
Setelah pemberian minum tersebut ,maka selesailah tahap permulaan.dan dengan demikian maka resmilah seorang murid menjadi pengikut tarekat Qadiriyah.
Kedua, tahap perjalanan, maksudnya ialah tahap murid menuju Allah melaluyi bimbingan guru. Murid harus melalui tahap dalam waktu yang bertahun-tahun sebelum ia memperoleh karunia Allah yang dilimpahkan kepadanya.selama perjalanan itu,murid masih menerima ilmu hakikat dari gurunya.selain itu dia dituntut untuk berbakti kepadanya, dan menjauhi larangannya.murid harus terus berjuang untuk melawan nafsunya dan melatih diri (mujahadah dan Riyadhah ).
Apabila murid telah berhasil melalui tahapan tersebut, maka guru memberikan ijazah dan memberikan talqin tauhid kepada muridnya, dengan telah diterima ijazahnya maka murid menyandang gelar guru atau syekh dalam tarekat Qadiriyah. Seorang murid yang telah menjadi syekh sudah tidak terikat lagi dengan gurunya, akan tetapi dia masih boleh untuk mengikutinya. Dan berdasarkan petuah Syekh Abdul Qodir Jailani bahwa murid yang telah menjadi syekh boleh mandiri dan yang menjadi walinya adalah Allah.
Mengenai corak tarekat Qodiriyah ,Syekh Ali ibn al-Haiti ra. Memberikan komentar,”Tarekat adalah tauhid semata dan pentauhidan diri serta menghadirkannya dalam segala sikap ubudiyah dengan melepaskan dari segala sesuatu dan untuk sesuatu”. Selain itu syekh Abdi ibn Musafir ra. Juga memberikan komentar ”Tarekatnya adalah kepasrahan kepada alur-alur takdir dengan keselarasan hati dan ruh, pernyataan lahir dan batin, dan pembersihan jiwa dari sifat-sifat kedirian(nafs) serta mengasingkannya dari memandang manfaat, mudharat, kedekatan dan rasa jauh”.
Adapun pokok-pokok ajaran Tarekat Qadiriyah yaitu ada lima macam, pertama Tinggi cita-cita, Kedua Memelihara kehormatan Ketiga Memelihara nikmat, Keempat Melaksanakan maksud dan Kelima Mengagungkan nikmat.
Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira’ di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.
Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, dia  tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, ‘Urabiyyah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla’iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’ Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut “Syurafa Jilala”.
Dari ketauladanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa Allah” dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.


Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat “Laa Ilaha Illa Allah” kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak. Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.
Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu’tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya’ sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu’ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A’uf dan sebagainya.
Bai’at
Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti
Pertama, adanya pertemuan guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan “infahna binafhihi minka” dan dilanjutkan dengan ayat mubaya’ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum.
Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.
Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti “jalan” sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16,
Èq©9r&ur (#qßJ»s)tFó™$# ’n?tã Ïps)ƒÌ©Ü9$# Nßg»oYø‹s)ó™V{ ¹ä!$¨B $]%y‰xî ÇÊÏÈ
Artinya :” Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah”. (QS. Al Jin : 16)
Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat “rahasia” yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai’at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.
Qodiriyah di Indonesia
Seperti halnya tarekat di Timur Tengah. Sejarah tarekat Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut.
Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya “Mystical Dimensions of Islam” hal.236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering berontak.
Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903 KH Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH Khasan Tafsir dari Krapyak Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.
Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qodiriyah adalah organisasi tebrbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadariyah Naqsabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.
Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis KH Ahmad Shohibulwafa Tadjul Arifin (Mbah Anom) di Pimpinan Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali ra, Abdul Qadir Jilani dan Syeikh Khatib Sambas ke-34.
Sama halnya dengan silsilah tarekat almrhum KH Mustain Romli, Pengasuh Pesantren Rejoso Jombang Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Khatib Sambas ke-35. Bahwa beliau mendapat talqin dan baiat dari KH Moh Kholil Rejoso Jombang, KH Moh Kholil dari Syeikh Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim dan arifillah (telah mempunyai ma’rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail.
Silsilahnya.
1. M Mustain Romli, 2, Usman Ishaq, 3. Moh Romli Tamim, 4. Moh Kholil, 5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura, 6. Abdul Karim, 7. Ahmad Khotib Sambas ibn Abdul Gaffar, 8. Syamsuddin, 9. Moh. Murod, 10. Abdul Fattah, 11. Kamaluddin, 12. Usman, 13. Abdurrahim, 14. Abu Bakar, 15. Yahya, 16. Hisyamuddin, 17. Waliyuddin, 18. Nuruddin, 19. Zainuddin, 20. Syarafuddin, 21. Syamsuddin, 22. Moh Hattak, 23. Syeikh Abdul Qadir Jilani, 24. Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi, 25. Abu Hasan Ali al-Hakkari, 26. Abul Faraj al-Thusi, 27. Abdul Wahid al-Tamimi, 28. Abu Bakar Dulafi al-Syibli, 29. Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi, 30. Sari al-Saqathi, 31. Ma’ruf al-Karkhi, 32. Abul Hasan Ali ibn Musa al-Ridho, 33. Musa al-Kadzim, 34. Ja’far Shodiq, 35. Muhammad al-Baqir, 36. Imam Zainul Abidin, 37. Sayyidina Husein, 38. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, 39. Sayyidina Nabi Muhammad saw, 40. Sayyiduna Jibril dan 41. Allah Swt. Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di antara para kiai itu sendiri.
Cara Mengamalkan Zikir Tarekat Qodiriyah
CONTOH :
Assalamualikum Warahmatullahi Wabaraakatuh Wamaghfirah Kepada Saudara ikhwan Muslimin dunia dan Akhirat Jika ingin  Membaca Amalan yang Saya tulis Nama, alamat, dan usia dan konfirmasi ke 085885865599 dan Tata caranya seperti Dibawah ini :
Mandi Taubat dengan Niat Nawaitu Gushla Tobatan sunnatan Lillahita’ala
Apabila ingin puasa sebaiknya 3 hari  mulai hari Rabu, kamis dan jumat dengan niat Nawaitu saum sunnah lillahita’ala
Sebelum Berzikir Baca Hadiah kepada:
Bismillahir rahmanir rahiim
NAWAITU HADIAHTAN  LILLAHI TA’ALA
1. Ila Hadrati Nabiyi Mustofa Sayyidina Muhammadin S.A.W  Wa ala Alihi, Wa ashabihi, wa  Dzuriyati wa Ahli Baiti Kirom, Wa ala Jamii’i Anbiyai wa Ulul Adziim Wal Mursaliin, Wa’khulafatur Rasidin ( Sayyidina Abu Bakar, sayyidina Umar, Sayyidina Ustman, Sayyidina Ali R.a), Wa Arifin, Wa Shaddiqin, Wa Syuhada’i , wal Muttaqiin, wa Sholihin…. (Alfatihah) 1 X
2. Wa Khususon Ila Hadrati Sayyidina Maulana Sultanu Auliayi Ghausi’ lahi Mahbubillahi Tajul‘Arifin wa Qutbu wasilina Syyaidi Syeckh Muhyidin Abdul qodir Jaelani Qoddasallahu Sirohul Aziz Mahabbatan Marhabatan Nafa‘ana Bi ‘ulumihim Wa Asrorihim wabikaromahtihim Nas ‘aluka salamatan wa Barokaahtan wa Ijazatan wa Ijabatan wa Qobulan Bisafa’atihi rasulullah SAW… (Alfatihah) 1 X
3. Tsumma Ila Hadrati Jamii’i auliyai  lahi ta’ala min masyariqil ardhi wa magharibiha min Simaliha Wa Ila Junubihim fi Bahriha Aina Makana Fi Ilmillahi Ta’ala Qoddasallahu sirohul aziz Nafa’ana Bi’ulumihim Wa Asrorihim Wabi Karomahtihim Nas’Aluka Salamatan Wa barokahtan wa Ijazatan Wa Ijabatan wa Qobulan Bisafaatihi Rasulullah SAW… (Alfatihah) 1X
4.Tsumma illa Hadraati Abaa’inna Syyaidina Syaikh Abii Muhammad Abdul Qodir Al-ina Wa jamii’il Muminin Wal Muminat Wal Muslimin Wal Muslimat Tarekat Qodiriyah Al’Firqoh An’Najiyah Wa alihii Wa azwajihii Wa auladihii Wa dzurriyatihi….(Al-Fatihah) 3 X
Baca Niat wirid (zikir) :
Bismillahir rahmanir rahiim Nawaitu Taqoruban ilallah ta’ala kemudian baru baca zikir contoh : Baca zikir asma jaljalut
Yang perlu diperhatikan Zikir di baca setiap selesai setelah sholat 5 waktu semampunya, dan juga diwaktu malam dan waktu2 yang lain. InsyaAllah apa yang kita kerjakan semata-mata mencari rahmat, ridho dan Cinta-Nya Allahul adzim.
Penutup Baca Shalawat, apa saja di sarankan shalawat fatih, Nurildzati atau shalawat bani hasyim. Wabillahi Taufik Wal hidayah wal inayah wal maghfirah
Zikir asma jaljalut sbb :
Bismillahir Rahmanir Rahiim 

‘Uluwiyah , berisi Bab Takabur karena Harta ( 1266 H ) ;
Rujumiyah , berisi Bab Sholat Jum’ah ( 1266 H ) ;
Mufhamah , berisi Bab Mukmin dan Kafir ( 1266 H ;
Basthiyah , berisi Bab Ilmu Syariat ( 1267 H ) ;
Tahsinah , berisi Bab Ilmu Tajwid ( 1268 H ) ;
Tadzkiyah , berisi Bab Menyembelih Binatang ( 1269 H );
Fatawiyah , berisi Bab Cara Berfatwa Agama ( 1269 H ) ;
Samhiyah , berisi Bab Sholat Jum’ah ( 1269 H ) ;
Rukhsiyah , berisi Bab Sholat Jama’ – Qosor dan Sholat Musafir ( 1269 H ) ;
Maslahah , berisi Bab Pembagian Warisan Islami ( 1270 H ) ;
Wadlihah , berisi Bab Manasikh Haji ( 1272 H ) ;
Munawirul Himmah , berisi Bab Wasiat Kepada Manusia ( 1272 H ) ;
Surat kepada R. Penghulu Pekalongan ( 1273 H );
Tansyirah , 10 Wasiyat Agama ( 1273 H );
Mahabbatulloh , berisi Bab Nikmatulloh ( 1273 H ) ;
Mirghabut Tha’ah* , berisi Iman dan Syahadah ( 1273 H ) ;
Hujahiyyah , berisi Bab Tata Cara Berdialog ( 1273 H ) ;
Tashfiyah , Bab Makna Fatihah ( 1273 H ) ;
500 Tanbih Bahasa Jawa , ( 1273 H ) ;
700 Nadzam Do’a dan Jawabannya ( 1270 – 1273 H ) ;
Puluhan Tanbih Rejeng , Masalah Agama ( 1273 H ) ;
Shihatun Nikah , Mukhtashar Tabyanal Islah ( 1270-an H );
Nadzam Wiqoyah ( 1270 -an H )
Kitab – Kitab , Surat Wasiat dan Tanbih yang disusun di Ambon
Targhibul Mathlabah , Berisi Bab Ushuliddin ( 1274 H ) ;
Kaifiyatul Miqshadi , Berisi Bab Fiqih ( 1275 H ) ;
Nasihatul Haq , Bab Tasawuf ( 1275 H ) ;
Hidayatul Himmah , Bab Tasawuf ( 1275 H ) ;
60 Buah kitab Tanbih bahasa Melayu ( 1275 H );
Surat wasiat kepada Maufuro dan Murid – Murid lainnya ! ( 1275 H ) ;
Perlu diketahui bahwa kitab Tanbih terdiri dari tiga halaman folio sebanyak 114 baris nadzam dan di dalam setiap tanbih membahas satu masalah agama yang berbeda dengan nyang lain , berati dalam 500 tanbih terdapat 500 judul. Kalau tiap satu tanbih dapat dihitung sebuah kitab , maka kitab – kitab karangan syeikhina Kiai Haji Ahmad Rifai ada 562 Kitab yang dikarang di Pulau Jawa saja, kitab – kitab yang dikarang di Ambon yang terdiri dari 60 Tanbih dan 4 kitab bahasa melayu serta dua surat wasiat kepada Maufuro, jadi kalau ditotal semua karangan Guru Besar Tarjumah ada 627 buah kitab.
Adapun data mengenai nama kitab, tahun selesai dikarang, dan kandungan bersumber pada :
  1. Jadwal Kitab yang disusun oleh Kiai Ahmad Nasihun bin Abu Hasan Paesan tengah Kedungwuni Pekalongan ( 1966 M ) ;
  2. Kitab – kitab karangan Kiai Haji Ahmad Rifai dipulau Jawa
  3. Buku Sejarah Nasional karangan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo , Nugroho Notosusanto dkk. Masa Akhir Perjuangan Beliau Di Pulau Jawa.

Tahun 1272 H ( 1856 ) adalah merupakan tahun permulaan krisis bagi gerakan Syeikhina Kiai Haji Ahmad Rifai . Hal ini disebabkan hampir seluruh kitab karangan ( dan Hasil tulisan tangan beliau ) disita oleh pemerintah Belanda , disamping itu para murid dan Ahmad Rifai sendiri terus – menerus mendapat tekanan Ratu Kafir Tanah Jawa ( RKTJ Bukan GITJ ) yaitu Belanda . Sebelum Haji Ahmad Rifai diasingkan dari kaliwungu Kendal Semarang , tuduhan yang dikenakan hanyalah persoalan menghasut pemerintah Belanda dan membawa Haji Ahmad Rifai dipenjara beberapa hari di Kendal , Semarang dan terakhir di Wonosobo .
Maka selama di Kalisalak persidangan panjang dialaminya , menghasut , mendoktrin jamaah membuat Syair – Syair protes dan beberapa Kitab yang isinya menyinggung Anti kolonial Belanda dan Kroni – kroninya serta mengkader pejuang pejuang militan di Pesantrennya adalah selalu menjadi tuduhannya. Tuduhan itu dari wedono Kalisalak yang meminta agar Haji Ahmad Rifai diasingkan dari Kalisalak ternyata tidak bisa dibuktikan sebagaimana dalam surat keputusan kelima dari Gubernur Jenderal Duymaer Van Twist yang dibuat pada tanggal 2 Juli 1855 menyatakan bahwa seluruh tuduhan terhadap Haji Ahmad Rifai belum bisa dibuktikan , dan perlu diperiksa dalam persidangan biasa . Untuk sementara waktu waktu perkara tersebut ditutup.
Pada tahun 1856 Jendral Albertus Jacub Duymaer Van Twist oleh Jendral Charles Ferdinand Pahud, Wedono Kalisalak memandang perlu untuk mengangkat kembali permasalahan pengasingan Kiai Haji Ahmad Rifai , namun ternyata jendral Pahud pun menyatakan menolak sebagaimana yang ditulis dalam suratnya tertanggal 23 November 1858. Akan tetapi tekad dan dendam Iblis Wedono Kalisalak tidak berhenti sampai disini , Dia menulis surat kepada Bupati Batang tertanggal 19 April 1859 No.1 A yang isinya diteruskan ke Karisidenan Pekalongan oleh bupati Batang pada tanggal 24 April 1859 No.29 . Inti surat tersebut isinya adalah sebagaimana bunyi surat yang pernah dikirim sebelumnya tertanggal 9 November 1858 No.578 dan 5 November 1858 No.700, mengigat belum juga mendapat perhatian dari Residen Pekalongan, maka diperjelas lagi dengan suratnya tertanggal 29 April 1859. Selain itu pada tanggal 30 April 1859 Residen Pekalongan menulis surat kepada Buiten Zorg di Bogor yang isinya agar Kyai Haji Ahmad Rifai disidangkan ke pengadilan dan diasingkan dari Kalisalak. Pada tanggal 6 Mei 1859 secara resmi Haji Ahmad Rifai dipanggil Residen Pekalongan Franciscus Netscher untuk pemeriksaan terakhir dan syarat untuk memenuhi pengasingan ke Ambon. Sejak tanggal 6 Mei 1859 Haji Ahmad Rifai sudah tidak diperkenankan kembali ke rumah lagi untuk menunggu keberangkatan pengasingan hingga tanggal 9 Mei 1859, berdasarkan surat keputusan No.35 tertanggal 19 Mei 1859 K.H. Ahmad Rifai meninggalkan jamaah beserta para keluarganya karena mulai hari itu beliau diasingkan di Ambon,Maluku.
Setelah dua tahun Haji Ahmad Rifai di Ambon beliau telah mengirim kitab sebanyak empat buah dalam bahasa Melayu dan 60 buah judul Tanbih berbahasa Melayu juga surat wasiat tertanggal 21 Dzulhijjah 1277 H kepada menantunya Kyai Maufura bin Nawawi di Keranggongan, Batang yang isinya agar para muridnya beserta keluarganya jangan sekali-kali taat pada pemerintah Belanda dan orang-orang yang berkolaborasi dengannya. Setelah di Ambon Haji Ahmad Rifai bersama Kyai Modjo dan 46 ulama lainnya dipindahkan ke kampung Jawa Tondano, Manado, Sulawesi Utara karena ia bersama ulama-ulama Tarojumah menganggap perlu lahirnya organisasi Rifaiyah secara nasional , dan dia tinggal disana untuk menanti panggilan dari sang Robb, Beliau wafat dengan tenang sebagai ” Pahlawan Islam dan bukan Pahlawan Nasional” pada Kamis 25 Robiul Akhir 1286 H (usia 86 tahun) , ada riwayat lain yang mengatakan beliau wafat pada 1292 H (92 tahun, semoga yang ini benar, karena itu berarti beliau panjang umur) di kampung Jawa Tondono Kabupaten Minahasa, Manado Sulawesi Utara dan dimakamkan dikomplek makam pahlawan kiai Modjo disebuah bukit yang terletak kurang lebih 1 km dari kampung Jawa Tondano (Jaton).





  1. D. TARIKAT SYAZILIYAH DAN AJARANNYA
Tarekat ini lahir di Maroko,yg direalisasikan oleh Syekh Abdul Hasan as-Syadzili(1258). Tarekat ini merupakan salah satu komunitas ajaran sufistik yg memiliki pengikut yg luar biasa banyaknya. Sekarang ,tarekat ini sudah menyebar di berbagai negara.Diantaranya,di Afrika utara,Mesir, Kenya, Tanzania, Timur-tengah,& Sri langka.Bahkan ,aliran tarekat ini telah merambah ke Amerika barat/utara.Tarekat ini umumnya diikuti oleh kalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan  pegawai negeri. Sebagian ajaran tarekat ini dipengaruhi oleh iman al-Ghazali & al-Makki.
  1. 1. Pendiri Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah adalah tarekat yang dipelopori oleh Syeh Abul Hasan Asy Syadzili. Nama Lengkapnya adalah Abul Hasan Asy Syadzili al-Hasani bin Abdullah Abdul Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Hatim bin Qushay bin Yusuf bin Yusya’ bin Ward bin Baththal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad anak pemimpin pemuda ahli surga dan cucu sebaik-baik manusia: Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a dan Fatimah al-Zahra binti Rasulullah SAW.[1].
Nama kecil Syeh Abul Hasan Asy Syadzili adalah Ali, gelarnya adalah Taqiyuddin, Julukanya adalah Abu Hasan dan nama populernya adalah Asy Syadzili. al-Syadzili lahir di sebuah desa yang bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah pada tahun 593 H(1197 M). menghapal al-Quran dan pergi ke Tunis ketika usianya masih sangat muda. Ia tinggal di desa Syadzilah. Oleh karena itu, namanya dinisbatkan kepada desa tersebut meskipun ia tidak berasal dari desa tersebut.[1]
  1. Intisari tarekat
Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, doa, dan hizib. Ibn Atha’illah as- Sukandari adalah orang yang prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha’illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.
Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha’illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: “Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali”. Perkataan yang lainnya: “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya.” Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah’illah.






  1. 3. Silsilah
Sanad dan Silsilah Tariqah
  • As-Syaikh As-Sayyid Abil Hasan Asy-Syadzili ra drp
  • As-Syaikh Abdus Salam b Mashish ra drp
  • As-Syaikh Muhammad bin Harazim ra drp
  • As-Syaikh Muhammad Salih ra drp
  • As-Syaikh Shuaib Abu Madyan ra drp
  • As-Syaikh As-Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani ra drp
  • As-Syaikh Abu Said Al-Mubarak ra drp
  • As-Syaikh Abul Hasan Al-Hukkari ra drp
  • As-Syaikh At-Tartusi ra drp
  • As-Syaikh Asy-Shibli ra drp
  • As-Syaikh Sari As-Saqati ra drp
  • As-Syaikh Ma’ruf Al-Kharkhi ra drp
  • As-Syaikh Daud At-Tai ra drp
  • As-Syaikh Habib Al-Ajami ra drp
  • Imam Hasan Al-Basri ra drp
  • Sayyidina Ali bin Abu Talib ra drp
  • Sayyidina Muhammad saw
Sanad Nasab Abil Hasan Asy-Syadzili
  • As-Sayyid Asy-Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzili bin
  • Ali bin
  • Abdullah bin
  • Tamim bin
  • Hurmuz bin
  • Hatim bin
  • Qusay bin
  • Yusuf bin
  • Yusya bin
  • Ward bin
  • Bathaal bin
  • Ali bin
  • Ahmad bin
  • Muhammad bin
  • Isa bin
  • Muhammad bin
  • Abi Muhammad bin
  • Imam Hasan bin
  • Sayyidna Ali ra dan Sayyidatina Fathimah binti
  • Rasulullah Sayyidina Muhammad saw.
  1. 4. Wejangan Dasar
Tauhid dengan sebenar-benarnya tauhid yang tidak musrik kepada Alloh ta’ala
  1. Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara’ dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.
  2. Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
    1. Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
    2. Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana’ah/ tidak rakus) dan menyerah.
    3. Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.

Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:
  1. Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
  2. Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.
  3. Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
  4. Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.
  5. Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.
Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn Atha’illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.
Perkembangan Tarekat
Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita.”
Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha’ilah berikut: “Asma al-Latif,” Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, “Yang Mengalahkan” sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.
Demografik Para Pengikut
Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah “ketenagan” yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha’illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri’ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri “ketenangan” ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.
Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya’nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.
Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.
Amalan-Amalan
Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, Hizb Barr disamping Hizib al-Hafidzah, merupakan Hizib-Hizib yang terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan dan bermanfaat dalam meningkatkan kadar ibadah kepada Alloh ta’ala.
Sebagai contoh, Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya doa ini baik dan tidak bertentangan dengan Sunatulloh dan Sunnatur Rosul. Untuk pengamalan hizb ini sebaiknya dalam bimbingan guru yang mengamalkannya.
Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa’iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah. Akan tetapi yang utama adalah Hizb tersebut dipergunakan untuk meningkatkan kadar ibadah yang sebenarnya kepada Alloh ta’ala.
Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia bukan hanya merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A’zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkah dan menjamin respon supra natural dan yang terpenting adalah mendapatkan Ridho Alloh ta’ala semata. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasanya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa berlandaskan Al Qur’an dan tuntunan Rosululloh SAW, sebab murid tersebut sedang mengikuti suatu pelatihan dari sang guru untuk dapat beribadah kepada Alloh ta’ala dengan benar.
Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin tingkah laku islami, pemahaman, adab hati, penyaksian, pembuktian yang sangat dahsyat.
Pengaruh dan Cabang-Cabang Tarekat Syadziliyyah
Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.


Kata-Kata Hikmah
Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili:
Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya ” Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya.”Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji itu milik Alloh ta’ala!
Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): “Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkan keridhoan Allah ta’ala, dan jangan duduk dimajelis kecuali majelis yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah.”
Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ikhtiar sendiri.
Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk dapat selalu taat kepada Allah yang memiliki pemelihara dirimu.
Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala’ dan ni’mat yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya dan bersyukur atas syukur yang mendalam.
Sedikit amal dengan mengakui dan mensyukuri karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.
Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu’min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : “Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.
  1. Ibn Abi-Qasim al-Humairi: “Jejak-jejak Wali Allah”, halaman 2-4. Penerbit ERLANGGA, 2009 -033-319-2
  1. E. TARIKAT MAULAWIYAH DAN AJARANNYA
Bagi kalangan pencinta musik sufi,nama tarekat ini cukup dikenal. Maulawiyah merupakan tarekat yg berasal dari ajaran sufi besar bernama Jalaluddin Rumi (1273) di Turki. Tarekat ini menyebar luas ke beberapa wilayah,diantaranya di Turki dan Amerika Utara.Salah satu keunikan pd praktik ajaran sufi tarekat ini adalah tata cara meditasinya,yaitu berputar-putar spt menari-mari cukup lama. Upaya ini merupakan bagian dari cara untuk mengingatkan seseorang bahwa segala sesuatu berawal dari sebuah putaran. Hidup merupakan putaran dari tiada menjadi ada,kemudian tidak ada, ada, dan tiada lagi. 
Biografi Maulana Jalaluddin Ar Rummy
Maulānā Jalāluddīn Muhammad Rūmī[2] (Parsi:      مولانا جلال الدین محمد رومی, Bahasa Turki: Mevlânâ Celâleddin Mehmed Rumi) , juga dikenali Maulānā Jalāluddīn Muhammad Balkhī (Parsi: محمد بلخى), atau Rumi sahaja di negara-negara bertutur Inggeris, (30 September, 120717 Disember, 1273), merupakan penyair, Qadi dan ahli teologi Parsi Muslim abad ke 13 Farsi (Tājīk)[3][4]. Namanya bermaksud “Keagungan Agama”, Jalal berarti “agung” dan Din berarti “agama”.[5]
Rumi lahir di Balkh (ketika itu sebahagian dari Khorasan Besar di Negeri Parsi, kini dalam Afghanistan) dan meninggal dunia di Konya ( di Turki sekarang )
Tempat lahir dan bahasa ibunda/tempatannya menggambarkan latar belakang Farsi. Beliau juga menulis puisi Farsi dan karya-karyanya tersebar di Iran, Afghanistan, Tajikistan, dan dialih bahasa di Turki, Azerbaijan, A.S., dan Asia Tenggara. Sebahagian besar hayat dan era penulisan ketika Empayar Seljuk.[6] Disamping puisi Farsi beliau juga menulis beberapa rangkap dalam bahasa Arab, Greek, dan Turki Oghuz.
Kepentingan Rumi melangkaui batas bangsa, budaya dan negara. Sepanjang abad dia mempunyai pengaruh dalam Kesusasteraan Parsi disamping dalam Kesusasteraan Urdu dan Kesusasteraan Turki. Sajak-sajak karangannya dibaca dengan meluas di negara-negara seperti Iran, Afghanistan dan Tajikistan dan telah banyak diterjemah dalam pelbagai bahasa di dunia dalam pelbagai bentuk.
Mawlana Jalaludin Rumi yaitu Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani (Grandson of Mawlana Rumi )
“Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan, Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai, dia begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna.
Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.
( Sulthanul Awliya Mawlana Syaikh Nazhim Adil al-Haqqani – Cucu dari Mawlana Rumi, Lefke, Cyprus Turki, September 1998)
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran.Di zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit  itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengancepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.
Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah
Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.



PENGARUH TABRIZ
Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset.
Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi.Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnyadihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenalsebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain.
Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar di perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi dari kota Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba seorang lelaki asing–yakni Syamsi Tabriz–ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab. Akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itumelihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masahidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi.
Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran
tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.
Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karyatulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
WAFATNYA MAWLANA RUMI
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan,“Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan pahit.”
Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan,penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.
“SAMA”, Tarian Darwis yang Berputar
Suatu saat Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya dalam tarian “Sama” ketika itu seorang sahabatnya memainkan biola dan ney (seruling), beliau mengatakan, “Seperti juga ketika salat kita berbicara dengan  Tuhan, maka dalam keadaan extase para darwis juga berdialog dengan Tuhannya melalui cinta. Musik Sama yang merupakan bagian salawat atas baginda Nabi Sallallahu alaihi wasalam adalah merupakan wujud musik cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuanNya.
Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia tersembunyi dalam Musik dan Sama, dimana musik merupakan gerbang menuju keabadian dan Sama adalah seperti electron yangmengelilingi intinya bertawaf menuju sang Maha Pencipta. Semasa Rumi hidup tarian “Sama” sering dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan minuman. Rumi bersama teman darwisnya selepas solat
Isa sering melakukan tarian sama dijalan-jalan kota Konya.
Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi yang memuji Sama dan perasaan harmonis alami yang muncul dari tarian suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi, Rumi menuliskan puisi tentang kefanaan dalam Sama, “ketika gendang ditabuh seketika itu perasaan extase merasukbagai buih-buih yang meleleh dari debur ombak laut”.
Tarian Sakral Sama dari tariqah Mevlevi Haqqani atau Tariqah Mawlawiyah ini masih dilakukan saat ini di Lefke, Cyprus Turki dibawah bimbingan Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani. Ajaran Sufi Mawlana Syaikh Nazim dan mawlana Syaikh Hisyam juga merambah keberbagai kota di Amerika maupun Eropa, sehingga tarian Whirling Dervishes ini juga dilakukan di banyak kota-kota di Amerika, Eropa dan Asia di bawah bimbingan Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani.
Tarian Sama ini sebagai tiruan dari keteraturan alam raya yang diungkap melalui perputaran planet-planet. Perayaan Sama dari tariqah Mevlevi dilakukan dalam situasi yang sangat sakral dan ditata dalam penataan khusus pada abad ke tujuh belas. Perayaan ini untuk menghormati wafatnya Rumi, suatu peristiwa yang Rumi dambakan dan ia lukiskan dalam istilah-istilah yang menyenangkan.
Para Anggota Tariqah Mevlevi sekarang belajar menarikan tarian ini dengan bimbingan Mursyidnya. Tarian ini dalam bentuknya sekarang dimulai dengan seorang peniup suling yang memainkan Ney, seruling kayu. Para penari masuk mengenakan pakaian putih yang sebagai simbol kain kafan, dan jubah hitam besar sebagai symbol alam kubur dan topi panjang merah atau abu-abu yang menandakan batu nisan.
Akhirnya seorang Syaikh masuk paling akhir dan menghormat para Darwish lainnya. Mereka kemudian balas menghormati. Ketika Syaikh duduk dialas karpet merahmenyala yang menyimbolkan matahari senja merah tua yang mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumiwafat. Syaikh mulai bersalawat untuk Rasulullah saw yang ditulis oleh Rumi disertai iringan musik,
gendang, marawis dan seruling ney.  Peniup seruling dan penabuh gendang memulai musiknya,maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara perlahan yang merupakaan simbolisasi bagi tiga tahapan yang membawa manusia menemui Tuhannya. Pada puatran ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbulkan kuburan untuk mengalami ‘ mati sebelum mati”,
kelahiran kedua. Ketika Syaikh mengijinkan para penari menari, mereka mulai dengan gerakan perlahan memutar seperti putaran tawaf dan putaran planet-planet mengelilingi matahari. Ketika tarian hamper usai maka syaikh berdiri dan alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan musik penutup danpembacaan ayat suci Al-Quran.
Rombongan Penari Darwis, secara teratur menampilkan Sama di auditorium umum di Eropa dan Amerika Serikat. Sekalipun beberapa gerakan tarian ini pelan dan terasa lambat tetapi para pemirsa mengatakan penampilan ini sangat magis dan menawan. Kedalaman konsentrasi, atauperasaan dzawq dan ketulusan para darwis menjadikan gerakan mereka begitu menghipnotis. Pada akhir penampilan para hadirin diminta untuk tidak bertepuktangan karena “Sama” adalah sebuah ritual spiritual
bukan sebuah pertunjukan seni.
Pada abad ke 17, Tariqah Mevlevi atau Mawlawiyahdikendalikan oleh kerajaan Utsmaniyah. Meskipun Tariqah Mawlawiyah kehilangan sebagian besarkebebasannya ketika berada dibawah dominasi Ustmaniyah, tetapi perlindungan Sang Raja menungkinkan.Tariqah Mawlawi menyebar luas keberbagai daerah danmemperkenalkan kepada banyak orang tentang tatanan musik dan tradisi puisi yang unik dan indah. Pada Abad ke 18, Salim III seorang Sultan Utsmaniyah menjadi anggota Tariqah Mawlawiyah dan kemudian diamenciptakan musik untuk upacara-upacara Mawlawi.
Selama abad ke 19 , Mawlawiyah merupakan salah satu dari sekitar Sembilan belas aliran sufi di Turtki dan sekitar tigapuluh lima kelompok semacam itu dikerajaanUtsmaniyah. Karena perlindungan dari raja mereka, Mawlawi menjadi kelompok yang paling berpengarhdiseluruh kerajaan dan prestasi cultural mereka dianggap sangat murni. Kelompok itu menjadi terkenal di barat., Di Eropa dan Amerika pertunjukkan keliling mereka menyita perhatian public. Selama abad 19, sebuah panggung pertunjukkan yang didirikan di Turki menarik perhatian banyak kelompok wisatawan Eropa yang datang ke Turki.
Pada tahun 1925, Tariqah Mawlawi dipaksa membubarkan diri ditanah kelahiran mereka Turki, setelah Kemal Ataturk pendiri modernisasi Turki melarang semua kelompok darwis lengkap dengan upacara serta pertunjukkan mereka. Pada saat itu makam Rumi di Konya diambil alih pemerintah dan diubah menjadi museumNegara.
Motivasi utama Atatutrk adalah memutuskan hubungan Turki dengan masa pertengahan guna mengintegrasikan Turki dengan dunia modern seperti demokrasi ala barat. Bagi Ataturk tariqah sufi menjadi ancaman bagi modernisasi Turki. Pada saat itulah Syaikh Nazim  ق mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan mengajar agama Islam di Siprus, Turki.

Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
Banyak murid yang mendatangi Mawlana Syaikh Nazim danmenerima Thariqat Naqsybandi Haqqani. Selain itu beliau adalah pemegang otoritas Mursyid tujuh Tariqah Sufi besar lainnya, termasuk Mevlevi Haqqani atau Mawlawiyah, Qodiriah, Syadziliyah, Chisty. Namun sayang, waktu itu semua agama dilarang di Turki dan karena beliau berada di dalam komunitas orang-orang Turki di Siprus, agama pun dilarang di sana. Bahkanmengumandangkan azan pun tak diperbolehkan.
Langkah Syaikh Nazim yang pertama ketika itu adalah menuju masjid di tempat kelahirannya dan mengumandangkan azan di sana, segera beliau dimasukkanpenjara selama seminggu. Begitu dibebaskan, Syaikh Nazim ق pergi menuju masjid besar di Nikosia dan melakukan azan di menaranya. Hal itu membuat parapejabat marah dan beliau dituntut atas pelanggaran hukum.
Sambil menunggu sidang, Syaikh Nazim ق terus mengumandangkan azan di menara-menara masjid di seluruh Nikosia. Sehingga tuntutannya pun terus bertambah, ada 114 kasus yang menunggu beliau. Pengacara menasihati beliau agar berhenti melakukan azan, namun Syaikh Nazim ق mengatakan, “ Tidak, aku tidak bisa mengehntikannya. Orang-orang harusmendengar panggilan azan untuk shalat.”
Ketika hari persidangan tiba, Mawlana Syaikh Nazim didakwa atas 114 kasus mngumandangkan azan diseluruh Cyprus. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, maka beliau bisa dihukum 100 tahun penjara. Tetapi pada hari yang sama hasil pemilu diumumkan di Turki. Seorang laki-laki bernama Adnan Menderes dicalonkan untuk berkuasa. Langkah pertamanya ketika terpilih menjadi Presiden adalah membuka seluruh masjid-masjid dan mengizinkan azan dikumandangkan dalam bahasa Arab. Inilah keajaiban yang diberikan Allah swt kepada Mawlana Syaikh Nazim.
Hingga saat ini makam Rumi di Konya tetap terpeliharadan dikelola oleh pemerintah Turki sebagai tempat wisata. Meskipun demikian pengunjung yang datang kesana yang terbanyak adalah para peziarah dan bukan wisatawan. Melalui sebuah kesepakatan pemerintah Turki, pada tahun 1953 akhirnya menyetujui tarian “Sama” Tariqah Mawlawi dipeertontonkan lagi di Konya dengan syarat pertunjukan tersebut bersifat culturaluntuk para wisatawan.
Rombongan Darwis juga diijinkan untuk berkelana secara Internasional. Meskipun demikian secara keseluruhan berbagai aspek sufisme tetap menjadi praktek yang illegal di Turki dan para sufi banyak diburu sejakAtaturk melarang agama mereka.
———————————-
Maulana Jalaluddin Rumi, Menari di Depan Tuhan
“AKAN tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita,  menggemakan ucapan-ucapan kita.”
Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, Sultan Walad, di suatu pagi. Dan waktu kemudian berlayar, melintasi tahun dan abad. Konya seakan terlelap dalam debu sejarah. “Tetapi, kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,” tulis Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.
Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama untuk pada pengikutnya, the whirling dervishes, para darwis yang menari. Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember, jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin mereka berarak untuk memperingatikematian Rumi, 727 tahun silam.
Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telahmenegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? “Dialah penyairmistik terbesar sepanjang zaman,” kata orientalis Inggris Reynold A Nicholson. “Ia bukan nabi, tetapi iamampu menulis kitab suci,” seru Jami, penyair Persia Klasik, tentang karya Rumi,Matsnawi.
Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt mengabadikannya dikanvas, Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang,“Maulana mengubah tanah menjadi madu…. Aku mabuk oleh anggurnya; aku hidup dari napasnya.” Bahkan, Paus Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus: “Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala penuh hormat mengenang Rumi.”
Besar dalam kembara
Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini wilayah Afganistan. Ia Putra Bahauddin Walad, ulama dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota Balkh tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntutperbedaan pendapat antara Sultan dan Walad.
Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di situ kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus, keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia Tengah, atas permintaan Sultan Seljuk Alauddin Kaykobad.
Konon, Kaykobad membujuk dalam sebuah surat kepada Walad, “Kendati saya tak pernah menundukkan kepala kepada seorang pun, saya siap menjadi pelayan dan pengikut setia Anda.” Di kota ini ibu Jalaluddin, Mu’min Khatum, meninggal dunia. Tak lama kemudian, dalam usia 18 tahun, Jalaluddin menikah. 1226, putra pertama Jalaluddin, Sultan Walad, lahir. Setahun kemudian, keluarga ini pindah ke Konya, 100 Km dariLaranda. Di sini, Bahauddin Walad mengajar di madrasah. 1229, anak kedua Jalaluddin, Alauddin, lahir. Dua tahun kemudian, dalam usia 82 tahun, Bahaudin Walad meninggal dunia.
Era baru pun dialami Jalaluddin. Dia menggantikan Walad, dan mengajarkan ilmu-ilmu ketuhanan  tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelahkematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan tamu, Burhannuddin Muhaqiq, yang ternyata murid terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru telahtiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin. Burhanuddin pun menggembleng muridnya dengan latihan tasawuf yang telah dimatangkan selama 4 abad terakhir oleh para sufi, dan beberapa kali meminta dia ke Damakus untuk menambah lmu. 8 tahun menggembleng, 1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. Jalaluddin Rumipun menggembleng diri sendiri.
Cinta adalah menari
Tahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah berada di atas semua ulama di Konya. Ilmu yang dia timba dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki, Yunani dan Ibrani, membuat dia nyaris ensiklopedis. Gelar Maulana Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuah senja Oktober, sehabis pulang dari madrasah, seseorang yang tak dia kenal, menjegat langkahnya, dan menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumilangsung pingsan!
Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu bertanya, “Siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah yang berdoa, ‘Kami tak mengenal-Mu seperti seharusnya’ atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang berkata, ‘Subhani, mahasuci diriku, betapa agungnya kekuasaanku’. Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams,ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah, tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat, selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk menuju Cinta Ilahiah.
Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya, membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali, warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yangdia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari.
Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu, Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan puisi-puisi mistis, yang berisi ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi Syams. Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambil memadahkan syair-syair cinta Ilahi. “Tarian para darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentukratapan Rumi atas kehilangan Syams,” jelas Talat.
Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti menari, kerana dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai. (Aulia A Muhammad)
Jalaluddin Muhammad Rumi
Ahli falsafah Parsi
Zaman Pertengahan
Nama:
Jalāluddīn Muhammad Rūmī
Kelahiran:
Kematian:
Mazhab:
Sufi; Hanafi Sunni, mungkin berpengaruh Syiah[1]
Minat utama:
sajak, syair, muzik
Idea terkenal:
Dipengaruhi:
Mempengaruhi:
Tarekat maulawiyah adalah sebuah tarekat pengikut jalaluddin rumi. Tarekat ini mengajarkan ajaran sufistik beraliran jalldn rumi. Jalaludn sendri mrupkan seorang sufi yg memprknalkn tarian the whirling dervishes (tarian sufistik). Ajaran tasawuf yg ditekankn lbh trknal pd sisi musik sufistik. Bentuk cinta nya di metmorphosiskn pada syair2 nya.
Jalaluddin Rumi
Penyair dan tokoh sufi terbesar dari Persia
Ia berkata, “Siapa itu berada di pintu?”
Aku berkata, “Hamba sahaya Paduka.”
Ia berkata, “Kenapa kau ke mari?”
Aku berkata, “Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti.”
Ia berkata, “Berapa lama kau bisa bertahan?”
Aku berkata, “Sampai ada panggilan.”
Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah
Bahwa demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.
Ia berkata, “Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan.”
Aku berkata, “Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku.”
Ia berkata, “Saksi tidak sah, matamu juling.”
Aku berkata, “Karena wibawa keadilanmu mataku terbebas dari dosa.”
Syair religius di atas adalah cuplikan dari salah satu puisi karya penyair sufi terbesar dari Persia, Jalaluddin Rumi. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah –kedalaman makna dan keindahan bahasa– yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum maupun sesudahnya.


Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah –sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu.
Bagi kelompok yang mengagul-agulkan akal, kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, cepat-cepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal, menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.
Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.
PENGARUH TABRIZ. Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi juga, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak bakal menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak meleset.
Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru beruisa lima tahun.
Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing –yakni Syamsi Tabriz– ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”
Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya.
Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi.
Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya.
Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi.
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.

WAFAT. Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan, “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit.”
Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya.
Aku mati sebagai mineral
dan menjelma sebagai tumbuhan,
aku mati sebagai tumbuhan
dan lahir kembali sebagai binatang.
Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.
Kenapa aku harus takut?
Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku.
Sekali lagi,
aku masih harus mati sebagai manusia,
dan lahir di alam para malaikat.
Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,
aku masih harus mati lagi;
Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal abadi.
Setelah kelahiranku sebagai malaikat,
aku masih akan menjelma lagi
dalam bentuk yang tak kupahami.
Ah, biarkan diriku lenyap,
memasuki kekosongan, kasunyataan
Karena hanya dalam kasunyataan itu
terdengar nyanyian mulia;
“Kepada Nya, kita semua akan kembali”
Apa Yang mesti Ku lakukan
Apa yang mesti kulakukan, O Muslim? Aku tak mengenal didiku sendiri
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim
Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukan dari darat, bukan dari laut,
Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar,
Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api,
Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukan dari wujud dan bukan dari hal
Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan dari Bulgaria, bukan dari Saqsin,
Aku bukan dari Kerajaan Iraq, bukan dari negeri Korazan.
Aku bukan dari dunia in ataupun dari akhirat, bukan dari Sorga ataupun Neraka
Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukan dari Firdaus bukan dari Rizwan
Tempatku adalah Tanpa tempat, jejakku adalah tak berjejak
Ini bukan raga dan jiwa, sebab aku milik jiwa Kekasih
Telah ku buang anggapan ganda, kulihat dua dunia ini esa
Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat, Esa yang ku panggil
Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, Ia yang bathin
Tidak ada yang kuketahui kecuali :Ya Hu” dan “Ya man Hu”
Aku mabok oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpa kutahu
Aku tak berbuat apa pun kecuali mabok gila-gilaan
Kalau sekali saja aku semenit tanpa kau,
Saat itu aku pasti menyesali hidupku
Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenak senyum,
Aku akan merambah dua dunia, aku akan menari jaya sepanjang masa.
O Syamsi Tabrizi, aku begitu mabok di dunia ini,
Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang mabok dan gila-gilaan.
Pembacaan Pujian untuk Kanjeng Nabi SAW dengan nama Na’t-ı Şerif Na’t-ı Şerif:
“Yâ Hazret-i Mevlana Hak dost,
Ya Habiballah rasul-i Halık-ı yekta tüyi,
Ber güzin-i Zülcelâli pak-ü bihemta tüyi
Dost Sultanım,
Nazenin-i Hazret-i Hak sadr-ü bedr-i kainat,
Nur-i çeşm-i Enbiya çeşm-i çerağ-i ma tuyi
Ya Mevlana hak dost
Şemsi Tebrizi ki dared na’ti Peygamber ziber,
Mustafa vü Mücteba an seyyid-i ala tüyi
Ya tabibel kulúb ya Veliyallah Allah dost 
  1. F. TARIKAT SYATHARIYAH DAN AJARANNYA
Syattariyah adalah aliran tarekat pertama di india pd abad ke-15. Tarekat ini dinisbahkan kpd Abdullah as -Syattar. Tarekat ini awalnya dikenal di Iran & Transoksania dgn nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani,tarekat ini disebut Bistamiyah.Martin Van Bruinessen.ahli antropologi,menyebutkan bahwa tarekat ini banyak ditemukan di jawa & sumatra.Tapi,antara satu dgn lainya tdk berhubungan. Tarekat ini relatif gampang berpadu dgn berbagai tradisi setempat sehingga menjadi tarekat paling “mempribumi “diantara tarekat yg ada. 
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke-15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.
Tarekat Syathariyah
Tarekat Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Tarekat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.
Tarekat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ aI-Qulub.
Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tarekat Syaththariyah di Minangkabau masih terpelihara kokoh. Untuk mendukung ke1embagaan tarekat, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi – tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan tarekat Syaththariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan bersafar ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.
Adapun ajaran tarekat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga;
Bahagian Pertama, Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Paham ketuhanan dalam hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat a1- Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam, bedanya oleh al-Sinkili ini dijelaskannya dengan menekankan pada trancendennya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam transendennya, al-Sinkili menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al- ‘a/am), Dia selalu memikirkan (berta’akul) tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar (a/ ‘ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (a/-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya.
Ajaran tentang ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syekh Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari’at, Tauhid tarekat, dan Tauhid hakekat, yaitu tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi.
Bahagian kedua, Insan Kamil atau manusia ideal. Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga “Ia adalah Dia.” Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi–dari Nabi Adam as sampat Nabi Muhammad SAW– dan para qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka.
Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.
Bahagian ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari’at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah 1a ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma’nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.

  1. G. TARIKAT NAQSABANDIYAH DAN AJARANNYA
    1. 1. Sekilas Tarekat Naqsabandiyah
Tarekat yg diambil dari mana sendirinya,Syekh Bahaudin Naqsaband dr Bukhara(1390)Tarekat ini tersebar luas di wilayah Asia Tengah,Volga,& Kaukasus,China,Indonesia,India,Turki,Eropa & Amerika Utara. Ini adalah satu2nya tarekat yg silsilah penyampaian ilmunya berakar dari Abu Bakar as-Shidiq. Syeikh Yusup Makassari (1623-1699)adalah orang pertama yg memperkenalkan tarekat ini di indonesia. Penyebarannya meluas,dari Makasar,Kalimatan,Sumatra,Jawa Tengah/timur 
Tarekat merupakan sebuah organisasi tasawuf dibawah pimpinan seorang Syeikh yang menerapkan ajarannya kepada para murid-muridnya. Tareqat juga dimaksudkan sebagai suatu jalan yang dilalui oleh calon sufi dalam mencapai ma’rifat. Tidak mudah bagi seorang sufi untuk mencapai titik puncak yang harus dicapai olehnya dalam menjalani kehidupan bertasawuf. Sehingga pilihan lain dari hal ini adalah menjalaninya dengan kehidupan bertareqat.
Dalam perkembangannya, Tareqat sebagai suatu organisasi keagamaan kaum sufi sudah banyak lahir dengan corak yang berbeda. Ini sudah berkembang pesat dan tersebar ke Asia Tenggara, Asia Tengah, Afrika Timur, Afrika Utara, India, Iran dan Turki. Perbedaan-perbedaan tersebut dalam realitasnya mengarah kepada tujuan yang sama, yaitu berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Karena Tareqat merupakan sebuah Organisasi yang lahir dari seorang Syeikh yang berniat ingin melestarikan ajaran-ajaran kaum sufi maka masing-masing dari syikeh tersebut tentu punya cara tersendiri dalam pengembangannya tersebut. Terbukti dengan lahirnya tarekat tersebut semakin berbeda pulalah metode-metode yang digunakan.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi mudahnya Tarekat berkembang yaitu : a) Sufi mempunyai kegemaran mengembara dari sustu tempat ke tempat yang lain. Dalam setiap persinggahannya para sufi ini sennatiasa menyampaikan ajaran tareqat yang dianutnya. b) Ajaran Tarekat yang mudah dipahami oleh siapa pun dan tidak mensyaratkan bagi calon murid mempunyai tingkat inteaktual yang tinggi.[1]
Di Indonesia, Tarekat juga sudah mulai berkembang pada abad ke-13 hijriah. Terbukti pada periode yang sama lahir 3 organisasi tarekat besar yang berkembang yaitu Qadiriyah, Naqsabandiyah dan Sattariyah. Kemudian disusul oleh tarekat Rifai’iah yang mengabadikan beberapa jenis kesenian rakyat aceh.
Sebagai salah satu Tareqat yang juga sudah berkembang di Indonesia  ialah Tareqat Naqsabandiyah juga sebagai salah satu Tareqat yang paling luas penyebarannya. Maka, dalam pembahasan makalah ini akan di jelaskan hal ihwal tentang Tareqat Naqsabandiyah baik seputar latar belakang, perkembangan dan penyebarannya di dunia dan khususnya di Indonesia serta ajaran-ajarannya.
  1. 2. Pendiri Tarekat Naqsabandiyah.
Istilah Naqsabandiyah pertama kali diperkenalkan oleh Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi, yang juga sekaligus sebagai pendiri Tarekat Naqsabandiyah. Beliau dilahirkan pada tahun 1318 di desa Qasr-i-Hinduvan (yang kemudian bernama Qasr-i Arifan) di dekat Bukhara, yang juga merupakan tempat di mana ia wafat pada tahun 1389. Sebagian besar masa hidupnya dihabiskan di Bukhara, Uzbekistan serta daerah di dekatnya, Transoxiana. Ini dilakukan untuk menjaga prinsip “melakukan perjalanan di dalam negeri”, yang merupakan salah satu bentuk “laku” seperti yang ditulis oleh Omar Ali-Shah dalam bukunya “Ajaran atau Rahasia dari Tariqat Naqsyabandi”. Perjalanan jauh yang dilakukannya hanya pada waktu ia menjalankan ibadah haji dua kali.
Dari awal, ia memiliki kaitan erat dengan Khwajagan, yaitu para guru dalam mata rantai Tariqat Naqsyabandi. Sejak masih bayi, ia diadopsi sebagai anak spiritual oleh salah seorang dari mereka, yaitu Baba Muhammad Sammasi. Sammasi merupakan pemandu pertamanya dalam mempelajari ilmu tasawuf. tepatnya ketika ia menginjak usia 18 tahun, dan yang lebih penting lagi adalah hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772/1371). Dari Kulal inilah ia pertama kali belajar terekat yang didirikannya.
Terakat Naqsabandiyah adalah satu-satunya tarekat terkenal yang silsilah penyampaian ilmu spritualnya kepada Nabi Muhammad saw. melalui penguasa Muslim pertama yakni  Abu Bakar Shidiq , tidak seperti tarekat-tarekat sufi terkenal lainnya yang asalnya kembali kepada salah satu imam Syi’ah, dan dengan demikian melalui Imam ‘Ali, sampai Nabi Muhammad SAW. Tariqat Naqshbandiyah terbina asas dan rukunnya oleh 5 bintang yang bersinar diatas jalan Rasulullah (s.a.w) ini dan inilah yang merupakan ciri yang unik bagi tariqat ini yang membezakannya daripada tariqat lain. Lima bintang yang bersinar itu ialah Abu Bakr as-Siddiq,Salman Al-Farisi,Bayazid al-Bistami,Abdul Khaliq al-Ghujdawani dan Muhammad Bahauddin Uwaysi a-Bukhari yang lebih dikenali sebagai Shah Naqshband – Imam yang utama didalam tariqat ini.







3. Perkembangan Tarekat Naqsabandiyah
a.  Gambaran Umum Perkembangan Tarekat Naqsabandiyah
Dalam perkembangannya Tarekat Naqsabandiyah sudah menyentuh lapisan masyarakat muslim di berbagai wilayah, dengan dampak dan pengaruhnya Tarekat ini pertama kali berdiri di Asia Tengah kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India. Di Asia Tengah bukan hanya di kota-kota penting, melainkan di kampung-kampung kecil pun tarekat ini mempunyai Zawiyah (padepokan sufi)  dan rumah peristirahatan Naqsabandi sebagai tempat berlangsungnya aktivitas keagamaan yang semarak[5] Disamping itu tarekat ini juga berkembang Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural.
Pengaruh mereka mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan yang paling lemah adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan “Islam bawah tahan” di Kaukasus Asia Tengah. Namun, pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak diikuti perkembangan Naqsyabandiyah di permukaan.
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag dalam ”Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia” memberikan  ciri-ciri yang menonjol dalam tarekat ini[6] yaitu :
  1. Mengikuti syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah dan menolak musik dan tari dalam ibadah dan lebih menyukai berzikir dalam hati.
  2. Upaya yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama. Berbeda dengan tarekat lainnuya, tarekat naqsabandiyah tidak menganut kebijaksanan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu. Sebaliknya berusaha untuk mengubah pandangan mereka melalui gerakan politiknya.
  3. membebankan tanggung jawab yang sama kepada para penguasa sebagai usaha untuk memperbaik masyarakat.
b.  Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah dan Tokohnya
Baha’ al-Din Naqsabandi sebagai pendiri tarekat ini, dalam menjalankan aktivitas dan penyebaran tarekatnya mempunyai khalifah utama, yaitu Ya’qub Carkhi, Ala’ al-Din Aththar dan Muhammad Parsa. Yang paling menonjol dalam perkembangan selanjutnya adalah ’Ubaidillah Ahrar. Ubaidillah terkenal dengan Syeikh yang memilki banyak lahan, kekayaan, dan harta. Ia mempunyai watak yang sederhana dan ramah, tidak suka kesombongan dan keangkuhan. Ia menganggap kesombongan dan keangkuhan merendahkan tingkat moral seseorang dan melemahkan tali pengikat spritual.[7] Ia juga berjasa dalam meletakkan ciri khas tarekat ini yang terkenal dalam menjalin hubungan akrab dengan para penguasa saat itu sehingga ia mendapat dukungan yang luas jangkauannya. Pada tatanan selanjutnya tarekat ini mulai menyebarkan gerakannya diluar Islam.
Tokoh lain yang berperan besar dalam penyebaran tarekat ini secara geografis adalah Said al-Din Kashghari. Ia juag telah membai’at penyair dan ulama besar ’Abd al-Rahman Jami’ ia yang kemudian mempopulerkan tarekat ini dikalangan istana. Kontribusi utama Jami’ adalah paparannya tentang pemikiran Ibnu ’Arabi dan mengomentari karya-karya Ibnu Arabi, Rumi, Parsa dan sebagainya, sehingga tersusun dalam gubahan syair yang mudah dipahami dari gagasan mereka tersebut.
Di India, Tarekat ini mulai tersebar pada tahun 1526. Baqi Billah, dilahirkan di Kabul merupakan syeikh yang menyebarkan ajaran Tarekat ini di India. Ia mengembangkan ajaran Tarekat ini kepada orang awam dan kaum bangsawan Mughal. Dakwahnya di India berlangsung selama 5 tahun. Hampir semua garis silsilah pengikut Naqsabandiyah di India mengambil garis spritual mereka melalui Baqi Biillah dan Khalifahnya Ahmad Sirhindi.[8]
Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (“Pembaru Milenium kedua”). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah.[9] Orientasi Baru yang di bawa Sirhindi ini terlihat pada pemahamannya yang menolak paham Wahdatul Wujud yang dibawa Ibnu ’Arabi. Sirhindi sangat menuntut murid-muridnya agar berpegang secara cermat pada Al-Qur’an dan Tradisi-tradisi Nabi.
  1. c. Pelopor dan Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah Di Nusantara
AjaranTarekat Naqsabandiyah di Indonesia pertama kali di perkenalkan oleh Syeikh Yusuf Al-Makassari(1626-1699). Seperti disebutkan dalam bukunya safinah al-Najah ia telah mendapat ijazah dari Syeikh Naqsabandiyah yaitu Muhammad ’Abd al Baqi di Yaman dan mempelajari tarekat ini ketika berada di Madinah dibawah bimbingan Syaikh Ibrahim al-Kurani. Syeikh Yusuf berasal dari Kerajaan Gowa Sulawesi. Pada tahun 1644 ia pergi ke Yaman kemudian diteruskan lagi ke makkah, madinah untuk menuntut ilmu dan naik haji. Karena kondisi politik saat itu, ia mengrungkan niatnya untuk pulang ke tanah kelahirannya di Makassar sehingga membawanya menetap di Jawa Barat Banten hingga ia menikah dengan putri Sultan Banten. Kehadirannya di Banten membawa sumbangan besar dalam mengangkat nama Banten sebagai pusat pendidikan Islam. mIa terkenal sebagai ulama Indonesia pertama yang menulis tentang tarekat ini.
Syeikh Yusuf telah menulis berbagai risalah mengenai Tasawuf dan menulis surah-surah tentang nasihat kerohanian untuk orang-orang penting. Kebanyakan risalah dan surah-surahnya ditulis dalam bahasa Arab dan Bugis[10]. Didalam tulisan-tulisannya, Syeikh Yusuf tetap konsisten pada paham Wahdatul Wujud dan menekankan akan pentingnya meditasi melalui seorang Syeikh (Tawassul) dan kewajiban sang murid untuk patuh tanpa banyak tanya kepada gurunya. Ia mengemukakan bahwa kepatuhan paripurna kepada syeikh merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi demi pencapaian spiritual.[11]
Tarekat Naqsabandiyah menyebar di nusantara berasal dari pusatnya di Makkah, yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang beajar disana dan oleh para jemaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan tarekat ini keseluruh pelosok nusantara.
Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara dapat dilihat dari para tokoh-tokoh tarekat ini yang mengambangkan ajaran Tareqat Naqsabandiyah di bebarapa pelosok nusantara diantaranya adalah :
  1. Muhammad Yusuf adalah yang dipertuan muda di kepulauan Riau, beliau menjadi sultan di pulau tempat dia tinggal. Dan mempunyai istana di penyengat dan di Lingga.
  2. Di Pontianak, sebelum perkembangannya telah ada Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah. Tarekat Naqsabandiyah mulai dikembangkan oleh Ismail Jabal yang merupakan teman dari Usman al-Puntani (ulama yang terkenal di Pontianak sebagai penganut Tasawuf dan penerjemah tak sufi)
  3. Di Madura, Tarekat Naqsabandiyah sudah hadir pada abad ke 11 hijriyah. Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah merupakan Tarekat yang paling berpengaruh di Madura dan juga di beberapa tempat lain yang banyak penduduknya bersal dari madura, seperti surabaya, Jakarta, dan Kalimantan Barat.
  4. Di Dataran Tinggi Minangkabau tarekat Naqsabandiyah adlah yang paling padat. Tokohnya adalah jalaludin dari Cangking, ’Abd al Wahab, Tuanku Syaikh Labuan di Padang. Perkembangannya di Minangkabau sangat pesat hingga sampai ke silungkang, cangking, Singkarak dan Bonjol.
  5. Di Jawa Tengah berasal dari Muhammad Ilyas dari Sukaraja dan Muhammad Hadi dari Giri Kusumo. Popongan menjadi salah satu pusat utama Naqsabandiyah di Jawa Tengah.\
Perkembangan selanjutnya di Jawa antara lain di Rembang, Blora, Banyumas-Purwokerto, Cirebon, Jawa Timur bagian Utara, Kediri, dan Blitar.
Tarekat ini merupakan satu-satunya tarekat yang terwakili di semua provinsi yang berpenduduk mayoritas muslim. Tarekat ini sudah tersebar hampir keseluruh provinsi yang ada di tanah air yakni sampai ke Jawa, Sulawesi Selatan, Lombok, Madura, Kalimantan Selatan, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan Barat, dan daerah-daerah lainnya. Pengikutnya terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dari yang berstatus sosial rendah sampai lapisan menengah dan lapisan yang lebih tinggi.

d.  Ajaran Tarekat Naqsabandiyah
1).  Azas-Azas
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami al-’Ushul Fi al-’Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan uraian Taj al-Din Zakarya (“Kakek” spiritual dari Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).[12]
Asas-asasnya ‘Abd al-Khaliq[13] adalah:
  1. Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
  2. Nazar bar qadam: “menjaga langkah”. Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
  3. Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”. Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].\
  4. Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”. Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep “innerweltliche Askese” dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang”; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
  5. Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.
  6. Baz gasyt: “kembali”, ” memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.
  7. Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): “Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.”
  8. Yad dasyt: “mengingat kembali”. Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.
Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi[14]:
  1. Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
  2. Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
  3. Wuquf-I qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di atasnya.
2). Zikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.
Tarekat Naqsabandiyah mempunyai dua macam zikir yaitu[15]:
  1. Dzikir ism al-dzat, “mengingat yang Haqiqi” dan dzikir tauhid, ” mengingat keesaan”. Yang duluan terdiri dari pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata.
  2. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.
Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh.
7 Tingkatan zikir ini adalah[16] :
  1. Mukasyah. Mula-mula zikir dengan nama Allah dalam hati sebanyak 5000 kali sehari semalam. Kemudian melaporkan kepada syeikh untuk di naikkan zikirnya menjadi 6000 kali sehari-semalam. Zikir 5000 dan 6000 itu dinamakan maqam pertama.
  2. lathifah (jamak latha’if), zikir ini antara 7000 hingga 11.000 kali sehari-semalam. Terbagi kepada tujuh macam yaitu qalb (hati), ruh (jiwa), sirr (nurani terdalam), khafi (kedalaman tersembunyi), akhfa (kedalaman paling tersembunyi), dan nafs nathiqah (akal budi),. Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Ternyata latha’if pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu letaknya berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi seluruhnya sama saja.
  3. Nafi’ Itsbat, pada tahap ini, atas pertimbangan syeikh, diteruskan zikirnya dengan kalimat la ilaha illa Allah. Merupakan maqam ke-tiga
  4. Waqaf Qalbi
  5. Ahadiah
  6. Ma’iah
  7. Tahlil, Setelah samapat pada maqam terakhir ini maka sang murid tersebut akan memperolah gelar Khalifah, dengan ijazah dan berkewajiabn menyebarluaskan ajaran tarekat ini dan boleh. Mendirikan suluk yang dipimpin oleh mursyid.
Ajaran tarekat naqsabandiyah
Ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu: syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak kepermukaan dan memiliki tata aturan adalah suluk atau khalwat. Suluk ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir di bawah bimbingan seorang syekh atau khalifahnya selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara bersuluk ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah.
Sebelum suluk ada beberapa tahapan yaitu; Talqin dzikir atau bai’at dzikir, tawajjuh, rabithah, tawassul dan dzikir. Talqin dzikir atau bai’at dzikir dimulai dengan mandi taubat, bertawajjuh dan melakukan rabithah dan tawassul yaitu melakukan kontak (hubungan) dengan guru dengan cara membayangkan wajah guru yang mentalqin (mengajari dzikir) ketika akan memulai dzikir.
Dzikir ada 5 tingkatan, murid belum boleh pindah tingkat tanpa ada izin dari guru. Kelima tingkat itu adalah (a) dzikir ism al-dzat, (b) dzikr al-lata’if, (c) dzikir naïf wa isbat, (d) dzikir wuquf dan ( e) dzikir muraqabah.
Ajaran Asasnya:
  1. Ismu Zat (Allah), Nafi Isbat  (La ilaha Illa Allah)
  2. 2. Baz Ghast – kembali kpd Allah  
  3. 3. Nigah Dasyat  
– menjaga, mengawasi, memelihara , bersungguh-sungguh. 
  1. 4. Yad Dasyat 
– mengingati Allah secara bersungguh
- Zikir memelihara hati dalam setiap nafas 
  1. 5. Hosh Dar Dam  
– sadar dalam nafas/berzikir secara sedar dalam nafas/empat ruang nafas,
-2 ruang nafas keluar masuk, dua ruangan antara nafas keluar masuk/zikirnya adalah ALLAH  
  1. 6. Nazar Bam Qadar 
– Bila berjalan sentiasa memandang ke arah kakinya, jangan melebihkan pandang , duduk pandang ke hadapan, merendahkan pandangan, jangan toleh kiri dan kanan  
  1. 7. Safar dar watan – Bersiar-siar dalam kampong dirinya/ meningkatkan dirinya kpd sifat malaikat:
    - Taubat
    - Inabat
    - Sabar
    - Syukur
    - Qana’ah
    - Wara’
    - Taqwa
    - Taslim
    - Tawakkal
    - Redha
    Perjalanan ada dua jenis:
    a) Perjalanan luar: dari satu tempat ke satu tempat mencari pembimbing Rohani
    b) Perjalanan dalam- tinggalkan segala tabiat buruk kepada adab tertib yang baik dan mengeluarkan segala isi hainya dari keduniaan (Dalam hatinya akan muncul segala apa yang diperlukan olehnya dalam kehidupan ini dan kehidupan mereka yang berada di sampaingnya) 
  2. 8. Khalwat dar Anjuman
    Bersendirian dalam keramaian/Khalawt kabir dan jalwat (Apabila sudah mencapai
    fana menerusi zikir fikir dan semua dari luaran difanakan, pada waktu itu deria dalam
    bebas meneroka ke alam kebesaran dan keagungan kerajaan Allah SWT.) 
  3. 9. Wukuf Qalbi 
– Tumpuan hati dan hati pula tumpu pada Allah  
10. Wuquf Abadi  
– memerhatikan bilangan ganjil dalam zikir naïf  isbat 
11. Wuquf zamani 
– Selepas solat lakukan beberapa minit sentiasa memerhatikan hati bertawajjuh kepada Allah swt
- Selang beberapa jam/setiap jam semak semula kedaan hati , mempastikan hati sentiasa ingat kepada Allah
Cabang:
Yasawi – Kwajagan
Sidiqiyah – Saidina Abu Bakar as Siddiq
Taifuriyah – Abu Yazid Bustami
Khawajahganiyah – Abdul Khaliq Ghudjuwani
Naqsyabandiyah – Muhammad Bahauddin
Ahrariyah – Ubaidullah Ahrar Ragamatullah
Mujaddidiyah – Syekh Ahmad Faruqi Sirhindi
Mazhariyah – Mirza Mashar Jan janan Syahid
Aliyah – Shah Abdullah Ghulam Ali Dehlawi
Khalidiyah – Syekh Ziauuddin  Muahammad Khalid Uthmani Kurdi

  1. H. TARIKAT SUHRAWARDIYAH DAN AJARANNYA
Syeikh Ziauddin Jahib Suhrawardi, mengikuti disiplin Sufi kuno, Junaid al-Baghdadi, dianggap sebagai pendiri tarekat ini pada abad kesebelas Masehi. Seperti halnya tarekat-tarekat lain, guru-guru Suhrawardi diterima oleh pengikut Naqsyabandi dan lainnya. India, Persia dan Afrika semuanya dipengaruhi aktikitas mistik mereka melalui metode dan tokoh-tokoh tarekat, kendati pengikut Suhrawardi ada diantara pecahan terbesar kelompok-kelompok Sufi.Praktek-praktek mereka diubah dari kegembiraan mistik kepada latihan diam secara lengkap untuk ‘Persepsi terhadap Realitas’.
Bahan-bahan instruksi (pelajaran) tarekat seringkali, untuk seluruh bentuk, hanya merupakan legenda atau fiksi. Bagaimanapun bagi penganut, mereka mengetahui materi-materi esensial untuk mempersiapkan dasar bagi pengalaman-pengalaman yang harus dijalani murid. Tanpa itu, diyakini, ada kemungkinan bahwa murid dengan sederhana mengembangkan keadaan pemikiran yang sudah berubah, yang membuatnya tidak cakap dalam kehidupan sehari-hari.
Syihabuddin Yahya ibn Habasyi  ibn  Amirak  dari  Suhrawardi (dekat  Zanjan di Iran barat- laut), dalam tradisi filosofis dan mistik (tasawuf) di dunia Islam timur,  dikenal  sebagai Syaikh   Al-Isyraq   (‘Guru   Pencerah’)   menyusul   aliran Isyraqiyyah dalam teosofi dan filsafat dimana  dia  dianggap sebagai  pendirinya. Dipenjara di Aleppo atas perintah putra Shaladin, Al-Malik Azh-Zhahir, dan dihukum mati  pada  tahun 1191  dalam  usia  38  tahun,  dan karena inilah dia dikenal sebagai  Suhrawardi  Maqtul  (yang dihukum mati), untuk membedakannya dari beberapa Suhrawardi terkenal lainnya.
Syeikh Ziauddin Jahib Suhrawardi, mengikuti disiplin Sufi kuno, Junaid al-Baghdadi, dianggap sebagai pendiri tarekat ini pada abad kesebelas Masehi. Seperti halnya tarekat-tarekat lain, guru-guru Suhrawardi diterima oleh pengikut Naqsyabandi dan lainnya.
India, Persia dan Afrika semuanya dipengaruhi aktikitas mistik mereka melalui metode dan tokoh-tokoh tarekat, kendati pengikut Suhrawardi ada diantara pecahan terbesar kelompok-kelompok Sufi.
Praktek-praktek mereka diubah dari kegembiraan mistik kepada latihan diam secara lengkap untuk ‘Persepsi terhadap Realitas’.
Bahan-bahan instruksi (pelajaran) tarekat seringkali, untuk seluruh bentuk, hanya merupakan legenda atau fiksi. Bagaimanapun bagi penganut, mereka mengetahui materi-materi esensial untuk mempersiapkan dasar bagi pengalaman-pengalaman yang harus dijalani murid. Tanpa itu, diyakini, ada kemungkinan bahwa murid dengan sederhana mengembangkan keadaan pemikiranang sudah berubah, yang membuatnya tidak cakap dalam kehidupan sehari-hari.
IBNU YUSUF SI TUKANG KAYU
Pada suatu waktu, terdapat seorang tukang kayu bernama Nazhar bin Yusuf. Ia menghabiskan sebagian hidupnya selama bertahun-tahun untuk mempelajari kitab-kitab kuno yang berisi banyak pengetahuan yang sudah agak terlupakan.
Ia mempunyai pelayan setia, dan suatu hari ia berkata padanya: “Aku sekarang berhasil memperoleh pengetahuan kuno yang harus digunakan untuk menjamin keberadaanku selanjutnya. Oleh karena itu aku ingin engkau membantuku menyelesaikan proses yang akan membuatku muda lagi dan abadi.”
Ketika ia menjelaskan prosesnya, si pelayan pertama kali merasa segan untuk menyelesaikannya. Si pelayan memotong-motong Nazar dan memasukkannya di dalam sebuah tong besar, diisi dengan cairan tertentu.
“Aku tidak dapat membunuhmu,” ujar pelayan.
“Ya, engkau harus, karena toh aku akan mati, dan engkau akan kehilangan. Ambillah pedang ini. Jaga terus tong ini, jangan katakan siapa pun apa yang sesungguhnya engkau lakukan. Setelah duapuluh delapan hari, bukalah tongnya dan keluarkan aku. Aku akan memperoleh kembali kemudaanku.”
Setelah beberapa hari, dalam kesepiannya, pelayan mulai merasa sangat tidak nyaman, dan semua jenis keraguan pun menjangkitinya. Maka ia mulai membiasakan diri dengan peran anehnya. Secara teratur orang datang ke rumah dan menanyakan majikannya, tetapi ia cuma dapat menjawab, “Sementara ini ia tidak di sini.”
Akhirnya pihak berwenang datang, curiga bahwa si pelayan berbuat sesuatu pada majikannya sehubungan dengan lenyapnya dia. “Biarkan memeriksa rumah,” kata mereka, “Jika kami tidak menemukan apa pun, kami akan menahanmu sampai majikanmu muncul.”
Si pelayan tidak tahu apa yang harus dilakukan, pada saat itu sudah berlangsung selama duapuluh satu hari. Tetapi ia mengambil keputusan, dan berkata;
“Tinggalkan aku di sini bersama tong ini sebentar, dan kemudian aku siap ikut denganmu.”
Ia pun pergi ke kamar dan membuka tutup tong.
Tiba-tiba manusia kecil, tampak lebih muda tetapi persis seperti majikannya, kendati cuma setinggi tangan, melompat keluar tong, dan berlari berputar-putar, sambil terus berucap.
“Terlalu cepat, terlalu cepat…”
Kemudian, saat pelayan masih memandang dengan terkejut, benda kecil itu lenyap di udara.
Pelayan keluar dari kamar, petugas menangkapnya. Majikannya tidak pernah terlihat lagi, kendati banyak sekali legenda tentang Nazar bin Yusuf si tukang kayu; tetapi harus kita tinggalkan untuk kesempatan lain.
GADIS YANG KEMBALI DARI KEMATIAN
Pada zaman dulu terdapat seorang gadis cantik; putri seorang pria yang baik, seorang perempuan yang kecantikan dan kehalusan gerak-geriknya tiada banding.
Ketika usianya dewasa, tiga pemuda, masing-masing menunjukkan kapasitas yang tinggi dan menjanjikan, melamarnya.
Setelah memutuskan bahwa ketiganya sebanding, sang ayah menyerahkan keputusan akhir pada putrinya.
Berbulan-bulan sudah, dan si gadis tampaknya belum juga mengambil keputusan.
Suatu hari ia tiba-tiba jatuh sakit. Dalam beberapa saat ia meninggal. Ketiga pemuda tersebut, bersama-sama ikut ke makam, membawa jasadnya ke pemakaman dan dikebumikan dengan kesedihan yang sangat dalam.
Pemuda pertama, menjadikan pusara sebagai rumahnya, menghabiskan malam-malamnya di sana dalam penderitaan dan perenungan, tidak dapat memahami berjalannya takdir yang membawanya pergi.
Pemuda kedua, memilih jalanan dan berkelana ke seluruh dunia mencari pengetahuan, menjadi seorang fakir.
Pemuda ketiga, menghabiskan waktunya untuk menghibur sang ayah yang kehilangan.
Sekarang, pemuda yang menjadi fakir dalam perjalanan menuju ke sebuah tempat di mana terdapat seorang yang terkenal karena karya seninya yang luar biasa. Melanjutkan pencarian pengetahuan, ia kemudian berdiri di sebuah pintu, dan diterima di meja tuan rumah.
Ketika tuan rumah mengundangnya makan, ia sudah mulai menyantap hidangan ketika seorang anak kecil menangis, cucu orang bijak tersebut.
Si guru menggendong bocah dan melemparnya ke api.
Seketika si fakir melompat dan meninggalkan rumah, menangis:
“Iblis keji! Aku sudah membagi penderitaanku ke seluruh dunia, tetapi kejahatan ini melebihi semua yang pernah dicatat sejarah!”
“Jangan berpikir apa pun,” ujar tuan rumah, “Untuk hal-hal sederhana akan tampak muncul secara terbalik, kalau engkau tidak memiliki pengetahuan.”
Sambil berkata, ia membaca suatu mahtera dan mengacungkan sebuah emblem berbentuk aneh, bocah tersebut keluar dari api tanpa luka.
Si fakir mengingat-ingat kata-kata dan emblem tersebut, pagi berikutnya ia kembali ke pemakaman di mana kekasihnya dimakamkan.
Singkat kata, si gadis berdiri di depannya, kembali hidup sepenuhnya.
Gadis itu kembali ke ayahnya, sementara para pemuda berselisih siapa diantara mereka yang bakal dipilih.
Yang pertama berkata, ‘Aku tinggal di pusara, memeliharanya dengan kesiap-siagaanku, berhubungan dengannya, menjaga kebutuhan ruhnya akan dukungan duniawi.”
Yang kedua mengatakan, “Kalian berdua mengabaikan kenyataan, bahwa akulah yang sesungguhnya berkeliling dunia mencari pengetahuan, dan akhirnya menghidupkannya kembali.”
Yang ketiga mengatakan, “Aku telah berduka untuknya, dan seperti seorang suami serta menantu aku tinggal di sini, menghibur ayah, membantu merawatnya.”
Mereka meminta si gadis menjawab, yang kemudian dijawabnya:
“Ia yang menemukan mantera untuk mengembalikan aku, adalah seorang pengasih sesama manusia; ia yang merawat ayahku seolah anak baginya; ia yang berbaring di sisi pusaraku – ia bertindak seperti seorang kekasih. Aku akan menikahinya.”
PERUMPAMAAN TUAN RUMAH DAN TAMU
Para guru seperti tuan di rumahnya sendiri. Tamu-tamunya adalah mereka yang mencoba mempelajari ‘Jalan’. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak pernah di rumah tersebut sebelumnya, dan mereka hanya mempunyai pemikiran yang samar, seperti apa sebenarnya rumah tersebut. Meskipun demikian, rumah itu ada.
Ketika tamu memasuki rumah dan melihat tempat khusus untuk duduk, mereka bertanya, “Apakah ini?” Dijawab, “Ini tempat di mana kami duduk.” Maka mereka duduk di kursi, dengan sedikit kesadaran tentang fungsi kursi.
Tuan rumah menjamu mereka, tetapi mereka terus bertanya, kadang-kadang tidak berhubungan. Sebagai tuan rumah yang baik, ia tidak menyalahkan mereka. Mereka ingin tahu, misalnya, di mana dan kapan mereka akan makan. Mereka tidak tahu kalau tidak seorang pun sendirian, dan pada saat itu juga ada orang lain yang memasak makanan, serta terdapat ruang lain di mana mereka akan duduk dan menikmati makanan. Karena mereka tidak dapat melihat makanan atau persiapannya, maka mereka bingung, barangkali penuh keraguan, kadang-kadang perasaannya kurang tentram.
Tuan rumah yang baik, mengetahui masalah tamunya, harus menentramkan mereka, sehingga mereka dapat menikmati makanan saat disajikan. Pada mulanya mereka segan mendekati makanan. Sebagian tamu cepat mengerti dan menghubungkan satu hal tentang rumah tersebut kepada yang lain. Mereka ini adalah orang-orang yang dapat mengkomunikasikan kepada teman mereka yang lambat. Tuan rumah, sementara itu, memberi jawaban kepada masing-masing tamu sesuai kapasitasnya memahami kesatuan dan fungsi sebuah rumah.
Namun hal itu tidaklah cukup untuk keberadaan sebuah rumah –karena harus siap menerima tamu– maka harus ada tuan rumahnya. Seseorang harus latihan secara aktif tentang fungsi rumah, supaya orang asing yang menjadi tamu serta mereka yang menjadi tanggung jawab tuan rumah, memungkinkannya terbiasa dengan rumah tersebut. Pada awalnya, sebagian besar dari mereka tidak menyadari bahwa mereka adalah tamu, dan apa makna tamu sesungguhnya; apa yang dapat mereka bawa, dan apa yang diberikan kepada mereka.
Tamu yang berpengalaman, yang telah belajar tentang rumah dan keramahan, pada akhirnya berkurang kikuknya, dan ia kemudian berada pada kedudukan untuk lebih memahami rumah dan beberapa bentuk kehidupan di dalamnya. Sementara ia tetap mencoba memahami apa rumah itu, atau mencoba mengingat aturan-aturan etika, perhatiannya terlalu banyak disita oleh faktor-faktor ini sehingga dapat meneliti, katakanlah, keindahan, nilai atau fungsi perabotan.
ILMU PERBINTANGAN
Suatu ketika, melalui ilmunya, seorang Sufi mengetahui bahwa sebuah kota akan diserang musuh. Ia mengatakannya kepada tetangga, yang menyadari bahwa ia orang yang jujur tetapi sederhana, kemudian menganjurkan:
‘Aku yakin kalau engkau benar, dan engkau harus pergi memberitahu raja. Tetapi jika engkau ingin dipercaya, tolong katakan bahwa engkau diilhami, bukan dari kearifan, tetapi dari ilmu perbintangan. Maka ia akan bertindak, dan kota mungkin selamat.”
Sufi tersebut melakukannya, dan penduduk kota diselamatkan dengan tindakan pencegahan yang tepat.
PERKATAAN SYEIKH ZIAUDDIN
Pembenaran diri lebih buruk daripada perasaan murni.
TIGA CALON SUFI
Tiga orang berhasil memasuki lingkaran Sufi, meminta izin untuk pengajarannya. Salah seorang diantara mereka hampir saja melepaskan diri, marah karena perilaku aneh sang guru.
Yang kedua, diberitahu oleh murid-murid lainnya (atas petunjuk guru) bahwa guru tersebut seorang penipu. Ia segera mengundurkan diri.
Yang ketiga dibiarkan bicara, tetapi ia sama sekali tidak ditawari pelajaran dalam waktu yang lama, hingga ketertarikannya hilang dan meninggalkan lingkaran tersebut.
Ketika semuanya pergi, sang guru berkata demikian:
“Orang pertama adalah gambaran tentang prinsip: ‘Jangan menilai hal-hal fundamental melalui penglihatan’.”
Orang kedua adalah gambaran tentang keputusan, ‘Jangan menilai hal-hal yang amat penting hanya dengan mendengarkan.’
Orang ketiga adalah contoh tentang ucapan: ‘Jangan menilai melalui pidato (ceramah), atau kekurangan akan hal itu’.”
Ditanya oleh murid, mengapa para pelamar tidak diberi petunjuk dalam persoalan tersebut, sang guru menjawab:
“Aku di sini untuk memberi pengetahuan yang lebih tinggi; bukan mengajar orang-orang yang menganggap bahwa mereka sudah tahu di lutut ibunya.”
MEMBUATKU BERPIKIR TENTANG …
Suhrawardi mengatakan:
“Aku pergi menemui teman, dan kami duduk mengobrol.
Terdapatlah seekor unta melintas dengan lambat, dan aku berkata padanya:
Apa yang membuatmu berpikir?’
Katanya, ‘Makanan.’
‘Tetapi engkau bukan orang Arab; sejak kapan daging unta untuk makanan?’
‘Tidak, tidak seperti itu,’ katanya. ‘Kau lihat, semuanya membuatku berpikir tentang makanan’.”
TAREKAT KHALWATIYAH
28 Mar 2010
Berjuang Melawan Penjajah hingga Rezim Otoriter
Umumnya, nama sebuah tarekat sufi diambil dari nama sang pendiri. Seperti Tarekat Qadiriyah dari Syekh AbdulQadir al-Jailani atau Tarekat Naqsyabandiyah dari Muhammad Bahauddin Naqsyabandi. Tapi, Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata khalwat yang artinya menyendiri untuk merenung.
Secara naab, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H).
Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, ajaran Tarekat Khalwatiyah pertama kali muncul di wilayah Asia Tengah pada abad ke-15 M, yakni saat Dinasti Usmaniyah berkuasa. Dalam waktu satu abad, tarekat ini telah menjelma menjadi tarekat sufi yang paling luas dan menyebar di wilayah kesultanan Islam tersebut. Meskipun, dalam perkembangannya, mengalami saat-saat kemandekan, kemunduran, dan kebangkitan kembali.
Kebangkitan kembali Khalwatiyah diprakarsai oleh Musthafa ibn Kamal al-Din al-Bakri (1688-1748 M). Al-Bakri merupakan seorang penyair sufi asal Damaskus, Syria, yang menjalani hampir seluruh kehidupannya di Yerusalem. Ia mengambil tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi.
Musthafa al-Bakri sejak kecil dikenal sebagai seorang zahid yang cerdas. Dalam salah satu bukunya, ia menceritakan bahwa dirinya pernah mengalami kehidupan sebatang kara. Kedua orang tuanya bercerai saat ia berusia dua tahun. Ia kemudian tinggal bersama ayahnya setelah ibunya menikah lagi.
Semasa hidupnya, al-Bakri senang bepergian, terutama ke negeri-negeri di kawasan Timur Tengah. Hal itu ia lakukan untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Ia pun belajar pada guru-guru yang berilmu tinggi. Beberapa tempat yang pernah ia kunjungi adalah Palestina, Tripoli, Makkah, Baghdad, Basrah, dan Mesir.
Khalwatiyah mengalami perkembagan pesat di Mesir ketika dipimpin oleh murid al-Bakri, Muhammad ibn Salim al-Hifni (1689-1768). Pada pertengahan abad ke-18 M, Khalwatiyah menjadi tarekat sufi yang dominan di negeri berjuluk 1.000 menara itu. Selama lebih dari delapan puluh tahun (1757-1838), kedudukan Syekh al-Azhar dipangku oleh penganut Khalwatiyah.
Dengan diilhami oleh al-Bakri, al-Hifni menjadikan Khalwatiyah di Mesir sebagai tarekat yang berorientasi syariat. Ia juga berusaha merangkul semua kalangan, tidak hanya para ulama terkemuka, tetapi juga orang kebanyakan.
Cabang Khalwatiyah Pengikut Khalwatiyah dari kalangan ulama tidak hanya berasal dari kota-kota di penjuru Mesir. Para ulama Maghribi yang tengah menunaikan haji ke Makkah pada abad ke-18 M dan singgah di Kairo jumlahnya terus meningkat. Sebagian dari mereka sangat terpengaruh oleh al-Hifni dan para syekh Khalwatiyah pengganti al-Hifni, seperti Mahmud al-Kurdi (1715-1780) dan Ahmad al-Dardiri (1715-1786).

Berkat peran dari para ulama Maghribi ini, dua tarekat sufi baru berkembang di Maghribi sebagai turunan Khalwatiyah. Muhammad ibn Abd al-Rahman al-Azhari (1713-1793) menyebarkan Khalwatiyah di Aljazair. Lahirlah cabang baru Khalwatiyah yang bernama Rahmaniyah.
Al-Azhari pula yang mengantarkan Sidi Ahmad al-Tijani, pendiri Tarekat Tijaniyah, bergabung dengan Khalwatiyah. Al-Tijani mempelajari rahasia-rahasia dari Mahmud al-Kurdi di Kairo dan dari Muhammad ibn Abd Al-Karim al-Samman di Madinah.
Al-Samman mempunyai murid dari Indonesia bernama Abdul al-Shamad al-Palimbani (1703-1788), yang kemudian mengajarkan Tarekat Sammaniyah di Tanah Air (Sumatra). Seorang muridnya lagi berasal dari Sudan yang bernama Ahmad al-Tayyib ibn al-Basyir (wafat 1823 M), lalu ia menyebarkan tarekat ini di sana.
Pada abad ke-19 M, tiga cabang Khalwatiyah tersebut membangkitkan gerakan melawan penjajah di pelbagai wilayah di Afrika. Rahmaniyah memimpin pemberontakan melawan Prancis di Aljazair pada 1871. Sementara itu, al-Hajj Umar al-Futi memprakarsai jihad Tijaniyah di Afrika Barat.
Di Mesir, kegiatan-kegiatan Khalwatiyah bersama dengan perhimpunan sufi lainnya diatur dan diawasi secara ketat oleh pemerintah berdasarkan dekrit Muhammad Ali pada 1812. Hampir satu setengah abad kemudian, pemerintah otoriter lainnya, yaitu pemerintah Gamal Abdul Nasser, berupaya membatasi gerakan dan sumber daya ekonomi tarekat-tarekat sufi. Dalam daftar tentang tarekat-tarekat sufi yang berkembang di Mesir, yang disusun pada tahun 1964, tercatat ada 10 cabang Khalwatiyah meskipun sebagian besar tidak aktif.
Sementara itu, di Turki tarekat-tarekat sufi dinyatakan terlarang pada 1925 sebagai bagian dari program pembaruan penguasa Turki saat itu, Mustafa Kemal Attaturk. Akan tetapi, tarekat-tarekat sufi tetap bergerak di bawah tanah dan-mulai muncul kembali dalam kehidupan publik pada akhir 1950-an. Khalwatiyah merupakan bagian dari proses kebangkitan Islam abad ke-20 itu.
Di wilayah Balkan, sejumlah pusat tarekat Khalwatiyah terus berkembang, khususnya di Albania. Di sini, Khalwatiyah mampu bertahan hidup di bawah rezim komunis.
berbagai sumber, ed rido
Secara naab, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Dalam waktu satu abad, tarekat ini telah menjelma menjadi tarekat sufi yang paling luas dan menyebar di wilayah kesultanan Islam tersebut. Pada pertengahan abad ke-18 M, Khalwatiyah menjadi tarekat sufi yang dominan di negeri berjuluk 1.000 menara itu. Cabang Khalwatiyah Pengikut Khalwatiyah dari kalangan ulama tidak hanya berasal dari kota-kota di penjuru Mesir. Berkat peran dari para ulama Maghribi ini, dua tarekat sufi baru berkembang di Maghribi sebagai turunan Khalwatiyah. Al-Tijani mempelajari rahasia-rahasia dari Mahmud al-Kurdi di Kairo dan dari Muhammad ibn Abd Al-Karim al-Samman di Madinah. Pada abad ke-19 M, tiga cabang Khalwatiyah tersebut membangkitkan gerakan melawan penjajah di pelbagai wilayah di Afrika. Di wilayah Balkan, sejumlah pusat tarekat Khalwatiyah terus berkembang, khususnya di Albania.







STANDAR KOMPETENSI
KOMPETENSI DASAR
2.    Mengenal tarikat mu’tabaroh di Indonesia dan ajarannya
2.1.   Menjelaskan tarikat-tarikat mu’tabaroh di Indonesia dan tokoh-tokohnya2.2.   Membandingkan antara tarikat-tarikat mu’tabaroh di Indonesia2.3.  Mengaitkan ajaran-ajaran tarikat mu’tabaroh di Indonesia dengan fenomena kehidupan sekarang
Perkembangan tarekat di Indonesia
1. Sejarah Perkembangan Tasawwuf dan Tarekat di Indonesia
Dalam hal kelahiran tasawwuf dalam islam, ada beberapa pendapat yang berbeda. Menurut kayakinan sebagian besar orang Islam, lahirnya tasawwuf bersamaan dengan lahirnya islam itu sendiri.Artinya, tasawwuf murni bersumber dari sumber pokok ajaran islam itu sendiri, yaitu al Qur’an dan al Hadits. Hal ini mengingat banyaknya isyarat yang tersirat bahkan tersurat dalam al Qur’an dan al Hadits. Salah satunya adalah:
Artinya : “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” ( QS. Al Baqarah: 186) (Ibid hal. 11)
Ayat diatas menunjukkan bahwa sejak awal Islam telah menyinggung masalah umatnya dengan Tuhannya, yang merupakan spesialisasi ajaran tasawwuf.
Setelah tasawwuf itu lahir, ajaran ini terus mengalami perkembangan. Namun para ulama berpendapat bahwa pada abad ke-5 Hijriyyah atau 13 Masehi, baru muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan sufi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan adanya silsilah tarekat yang selalu dihubungkan nama pendiri atau tokoh sufi yang yang lahir pada abad itu.(Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 6.)
Di Indonesia sendiri, kelahiran ajaran tasawwuf serta lembaga-lembaga tarekatnya bersamaan dengan kehadiran Islam di kawasan ini. Sebagian muballigh, yang menyebarkan Islam di Nusantara, telah mengenalkan ajaran Islam dalam kapasitas mereka sebagai guru sufi.
Pendapat lain mengatakan bahwa, tasawwuf merupakan akulturasi ajaran Islam dengan ajaran Kristen atau Hindu dan Budha. Noer Iskandar Al Barsyany, Tasawwuf, Tarekat dan Para Sufi,(Jakarta: Grafindo, 2001) hal. 8-9
9Tentang kapan pribum nusantara memeluk Islam, para ahli berbeda pendapat. Hal ini terjadi karena
Islamisasi di Indonesiatidak terdokumentasi dengan baik sehingga banyak spekulasi dikalangan ilmuwan yang menimbulkan polemic yang hingga saat ini belum selesai. Mungkin orang muslim asing memang sudah ada yang menetap di pelabuhan dagang di Sumatra dan Jawa beberapa abad sebelum abad ke-16, namun baru menjelang abad ke-10 ada bukti-bukti orang-orang pribumi memeluk Islam di suatu kerajaan kecil Perlak, dilanjutkan pada abad ke-13 oleh kerajaan smudera Pasai. Selama abad ke 14 dan 15 Islam secara berangsur-angsur menyebar ke pantai utara Jawa dan Maluku. Terlepas dari semua itu,
Sejarawan mencatat bahwa karena factor tasawwuf dan tarekatlah Islamisasi Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berlangsung damai. Ajaran tasawwuf dapat dengan mudah dipadukan dengan ide-ide sufistik India dan pribumi yang dianut masyarakat setempat.10
Dari perpaduan itulah, menyebabkan banyaknya tarekat dan organisasi mirip tarekat yang
berkembang di Indonesia. Beberapa di antaranya hanya merupakan tarekat local, misalnya
Wahidiyahdan Shiddiqiyah di Jawa Timur dan Syahadatain di Jawa Tengah. Bahkan ada yang
merupakan cabangdari gerakan sufi Internasional, misalnya tarekat Syattariyah, Khalwatiyah,
Naqsabandiyah, Syadziliyah dan lain sebagainya.11 Namun tampaknya, dari sekian banyak
tarekat yang ada di seluruh dunia, hanya ada beberapa tarekat yang bisa masuk dan berkembang di Indonesia. Faktor kemudahan system komunikasi dalam kegiatan transmisinya serta tarekat – tarekat itu dibawa langsung oleh tokoh-tokoh pengembangnya, yang kebanyakan berasal dari Persia dan India, sangat mempengaruhi.12 Bahkan saat ini Indonesia telah mampu memilah dan memilih antara tarekat yang mu’tabarah dan ghoiru mu’tabarah. KH. Dzikron Abdullah memberi batasan-batasan suatu tarekat bisa dikategorikan sebagai tarekat mu’tabarah apabila memenuhi kriteria dibawah ini:
a. sanad(silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi.
b.Pelaksanaan syari’at dalam suatu tarekat harus benar dan ketat.13
9 Ajid thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002) Hal 27.
10 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006 hal.7-
11 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,(Bandung: Mizan, 1996), hal. 16
12 Ajid thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002)Hal 27-28
13ht t p:/ / orgawam .wordp ress.com / 2008/ 05/ 01/ t areqah – m ut abarah- di – indonesi
Bahkan lebih dari itu, ada beberapa tarekat yang lahir dan berkembang di Indonesia. Ada yang merupakan hasil ulama’ lokal yang mengkolaborasikan beberapa tarekat, dan ada juga yang memang hasil ijtihadnya. Diantaranya adalah tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah didirikan oleh Syaikh Ahmad Katib Sambas,( Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 253). tarekat Shiddiqiyah yang didirikan oleh Kyai Muchtar Mukti.( ht t p:/ / www.republ i ka.co.i d/ be ri t a/ 61218/ P erkem bangan_T ar ekat _di _Duni a_Isl am)
  1. Pengaruh Tasawwuf dan Tarekat Terhadap Pemikiran Islam di Indonesia
Seperti telah di sebutkan di atas, bahwa ajaran tasawwuf berkembang pesat karena orang- orang pribumi sangat antusias terhadap ajaran ini. Hal ini dipengaruhi oleh kekentalan kehidupan pribumi terhadap mistik sebelum Islam datang. Sehingga tidak lama setelah Islam bersama ajaran Tasawwufnya masuk ke Nusantara, banyak ulama’ nusantara yang menggeluti ajaran ini, diantaranya adalah Syaikh Yusuf Makassar, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al Sumatrani, Nuruddin Al Raniri, Abdul Ra’uf Singkel dan lain-lain. (ht t p:/ / bai t ul am i n.org/ ri sal ah/ perkem bangan – tarekat – nusantara.ht m l). Ketika itu, corak pemikiran Islam diwarnai oleh tasawwuf. Pemikiran para sufi besar Ibn Al ‘Araby dan Abu Hamid Al Ghazali sangat berpengaruh terhadap pengamalan-pengamalan muslimin generasi pertama.( Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hal.8)
Bahkan, kehadiran tarekat di tengah-tengah masyarakat Indonesia pada masa penjajahan itu telah memberikan angin segar bagi rakyat jajahan yang ingin melepaskan diri dari penjajahan. Timbulnya beberapa pemberontakan di Banten pada tahun 1888, Kediri pada tahun 1888, dan Sidoarjo pada tahun 1904. Dengan hal ini, terlihat bahwa pada waktu itu tarekat berfungsi tidak hanya sebagai gerakan keagamaan, tetapi juga gerakan politik dalam menghadapi penjajahan.(Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002)hal 32-34 )


Saat ini, tarekat masih mendapat tempat tempat d hati kaum muslimin Indonesia. Bahkan terus berkembang di kota-kota besar di Indonesia. Juga tidak hanya terbatas kalangan ekonomi menengah ke bawah, tetapi telah merambah pada kalangan ekonomi ke atas, bahkan para bangsawan. Hal ini dapat dilihat dari antusiasme warga setiap acara rutinan jam’iyyah tarekat tertentu

1.1.  TARIKAT-TARIKAT MU’TABAROH DI INDONESIA DAN TOKOH-TOKOHNYA
Beberapa sumber menyebutkan bahwa ajaran tarekat baru muncul pada abad ke-11, yakni sejak Abdul Qadir Jilani memperkenalkan Tarekat Qadiriyah di Baghdad. Namun praktik kesufian atau tasawuf diduga sudah ada sejak awal agama Islam muncul. Sri Mulyati dkk dalam buku berjudul Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia menyebutkan bahwa praktek tasawuf muncul setidaknya sejak abad ke-2 hijriyah, atau sekitar abad ke-10 masehi.
Pembahasan tentang tarekat kadang dibingungkan dengan istilah ‘tasawuf’ dan ‘sufi’. Dalam tradisi pesantren Jawa, istilah tasawuf dipakai semata-mata dalam kaitan aspek intelektual dari suatu tarekat. Sedangkan tarekat itu sendiri lebih mengarah pada pengertian yang bersifat etis dan praktis. Sedangkan sufi, biasanya dialamatkan kepada orang yang menjalani kegiatan tarekat tersebut.
APA DAN MENGAPA TAREKAT
Bagi kaum muslimin, syariah Islam diyakini mampu membantu setiap manusia dalam upayanya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan memperoleh kebahagiaan sejati di dunia dan akherat. Dari syariah Islam yang kaya ‘makna’ itulah kemudian lahir terobosan-terobosan spiritual baik berupa pemahaman yang lebih mendalam maupun metodelogi yang mendukung syariah dalam membantu mencapai tujuan manusia secara lebih efektif dan efisien (tarekat). Maka dengan tarekat, setiap kaum Muslimin dapat menghayati syariah Islam yang dijalaninya secara lebih bermakna.
TOKOH-TOKOH PERINTIS TAREKAT DI INDONESIA
Beberapa tokoh yang dianggap sebagai perintis ajaran tarekat di Indonesia diantaranya : Hamzah Fansuri (w.1590), Syamsuddin al Sumatrani (w.1630), Nuruddin al Raniri (1637-1644), Syekh Yusuf al Makasari (1626-1699), Abdul Basir al Dharir al Khalwati alias Tuang Rappang I Wodi, Abdul Shamad al Palimbani, Nafis al Banjari, Syekh Ahmad Khatib Sambas (w.1873), Syekh Abdul Karim al Bantani, Kyai Thalhah dari Cirebon, dan Kyai Ahmad Hasbullah dari Madura.
Tiga nama terakhir, yakni Syekh Abdul Karim al Bantani, Kyai Thalhah, dan Kyai Ahmad Hasbullah adalah murid-murid dari Syekh Ahmad Khatib Sambas, ketiganya bertemu dan belajar dari Khatib Sambas di Makkah. Syekh Abdul Karim al Bantani beberapa tahun pulang ke Banten kemudian kembali lagi ke Makkah menjadi Syaikh menggantikan Khatib Sambas. Kyai Thalhah mengajarkan tarekat di Cirebon, dari garis beliau lahir beberapa tokoh tarekat diantaranya Syekh Abdul Mu’in yang mendirikan pesantren di Ciasem-Subang, Pangeran Sulendraningrat di Cirebon, dan Abah Sepuh pendiri pesantren Suryalaya, Tasikmalaya. Sedangkan dari garis Kyai Ahmad Hasbullah, muncul banyak nama dari klan Hasyim As’ari pendiri pesantren Tebu Ireng-Jombang.
MACAM-MACAM TAREKAT DI INDONESIA
Banyak macam tarekat yang tumbuh subur di Indonesia, beberapa diantaranya : Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Tarekat Syadziliyah, Tarekat Khalwatiyah, Tarekat Syattariyah, Tarekat Sammaniyah, dan Tarekat Tijaniyah. Beberapa tarekat lain yang pengikutnya agak sedikit di Indonesia adalah Tarekat Chisytiyah, Tarekat Mawlayiyah, Tarekat Ni’matullah, dan Tarekat Sanusiyah.


1.2.  Membandingkan antara tarikat-tarikat mu’tabaroh di Indonesia
1.3.  Mengaitkan ajaran-ajaran tarikat mu’tabaroh di Indonesia dengan fenomena kehidupan sekarang
Tarekah Mu’tabarah di Indonesia
Dalam tasawwuf seringkali dikenal istilah Thoriqoh, yang berarti jalan, yakni jalan untuk mencapai Ridlo Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi menyatakan, Aturuk biadadi anfasil mahluk, yang artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya mahluk, aneka ragam dan bermacam macam. Kendati demikian orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah berhati hati, karena dinyatakan pula, Faminha Mardudah waminha maqbulah, yang artinya dari sekian banyak jalan itu, ada yang sah dan ada yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima. Yang dalam istilah ahli Thoriqoh lazim dikenal dengan ungkapan, Mu’tabaroh. Wa ghoiru Mu’tabaroh.
KH. Dzikron Abdullah menjelaskan, awalnya Thoriqoh itu dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Jadi, semua Thoriqoh yang Mu’tabaroh itu, sanad(silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi. Kalau suatu Thoriqoh sanadnya tidak muttashil sampai kepada Nabi bisa disebut Thoriqoh tidak (ghoiru) Mu’tabaroh. Barometer lain untuk menentukan ke-mu’tabaroh-an suatu Thoriqoh adalah pelaksanaan syari’at. Dalam semua Thoriqoh Mu’tabaroh syariat dilaksanakan secara benar dan ketat.
Diantara Thoriqoh Muktabaroh itu adalah :
Thoriqoh Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Thoriqoh Syathariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ke Nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau. Thoriqoh Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din, berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ al-Qulub. Thoriqoh ini berkembang di Minangkabau dan sekitarnya. Untuk mendukung ke1embagaan Thoriqoh, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jama’ah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi-tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan Thoriqoh Syathariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan ziarah bersama ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.
Sementara Thoriqoh Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850. Thoriqoh Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu masuknya me1alui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Limapuluh kota. Thoriqoh Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjukan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India. Naqsyabandiyah merupakan salah satu Thoriqoh sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (Pembaru Milenium kedua, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan Thoriqoh tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Thoriqoh Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati (Sirri). Penyebaran Thoriqoh Naqsyabandiyah Khalidiyah ditunjang oleh ulama ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan Medinah, mereka mendapat bai’ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah. Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936), dan Syekh Muhammad Sai’d Bonjol. Mereka adalah ulama besar dan berpengaruh pada zamannya serta mempunyai anak murid mencapai ratusan ribu, yang kemudian turut menyebarkan Thoriqoh ini ke daerah asal masing masing Di Jawa Tengah Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyyah disebarkan oleh KH. Abdul Hadi Girikusumo Mranggen yang kemudian menyebar ke Popongan Klaten, KH. Arwani Amin Kudus, KH. Abdullah Salam Kajen Margoyoso Pati, KH. Hafidh Rembang. Dari dari tangan mereka yang penuh berkah, pengikut Thoriqoh ini berkembang menjadi ratusan ribu. Ajaran dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu: syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Ajaran Thoriqoh Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak ke permukaan dan memiliki tata aturan adalah khalwat atau suluk. Khalwat ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir dibawah bimbingan seorang Syekh atau khalifahnya, selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara khalwat ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah..
Thariqat Ahmadiyah didirikan oleh Ahmad ibn ‘Aly (al-Husainy al-Badawy). Diantara nama-nama gelaran yang telah diberikan kepada beliau ialah Syihabuddin, al-Aqthab, Abu al-Fityah, Syaikh al-‘Arab dan al-Quthab an-Nabawy. Malah, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diberikan nama gelar (laqab) yang banyak, sampai dua puluh sembilan nama. Al-Ghautha al-Kabir, al-Quthab al-Syahir, Shahibul-Barakat wal-Karamat, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang lelaki keturunan Rasulullah SallAllahu ‘alaihi wa sallam, melalui Sayidina al-Husain. Sholawat Badawiyah sughro dan Kubro, adalah sholawat yang amat dikenal masarakat Indonesia, dinisbatkan kepada waliyullah Sayid Ahmad Badawi ini, akan tetapi Tarekat badawiyah sendiri tidak berkembang secara luas di indonesia khususnya di Jawa.
Abul Hasan Ali asy-Sadzili, merupakan tokoh Thoriqoh Sadziliyah yang tidak meninggalkan karya tulis di bidang tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ketika ditanya akan hal itu, ia menegaskan :”karyaku adalah murid muridku”, Asadzili mempunyai murid yang amat banyak dan kebanyakan mereka adalah ulama ulama masyhur pada zamannya, dan bahkan dikenal dan dibaca karya tulisnya hingga hari ini. Ibn Atha’illah as-Sukandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah Thoriqoh Sadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha’illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan Thoriqoh Sadziliah, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, yang menjadi rujukan bagi angkatan-angkatan setelahnya. Sebagai ajaran, Thoriqoh ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Sadzili kepada murid-muridnya: “Jika kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali”. Perkataan yang lainnya: “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya.” Selain kedua kitab tersebut, al-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah’illah. Thoriqoh Sadzaliah berkembang pesat di Jawa, tercatat Ponpes Mangkuyudan Solo, Kyai Umar , Simbah Kyai Dalhar Watucongol, Simbah Kyai Abdul malik Kedongparo Purwokerto, KH Muhaiminan Parakan, KH. Abdul Jalil Tulung Agung. KH . Habib Lutfi Bin Yahya, Pekalongan .Simbah KH.M.Idris, kacangan Boyolali, adalah pemuka pemuka Sadzaliah yang telah membaiat dan membina ratusan ribu bahkan jutaan murid Sadziliah.
Thoriqoh Qodiriyah dinisbahkan kepada Syekh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Riwayat hidup dan keutamaan akhlak (Manaqib) Syech Abdul Qodir Jaelani ini, dikenal luas oleh masarakat Indonesia khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan dibaca dalam acara-acara tertentu guna tabarruk dan tawassul kepada Syekh Abdul Qodir. Thoriqoh Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, Thoriqoh ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Syekh Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, Thoriqoh Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M. Thoriqoh Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti Thoriqoh gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi Thoriqoh yang lain ke dalam Thoriqohnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Syekh Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.” Seperti halnya Thoriqoh di Timur Tengah. Sejarah Thoriqoh Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Mukarromah. Thoriqoh Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syekh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syekh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran Thoriqoh Qodiriyah. Murid-murid Syekh Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura, setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Thoriqoh Qodiriyah tersebut.
Di Jawa Tengah Thoriqoh Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah muncul dan berkembang antara lain dari Mbah Ibrahim Brumbung Mranggen diturunkan kepada antara lain KH. Muslih pendiri Ponpes Futuhiyyah ,Mranggen. Dari Kyai Muslih ini lahir murid-murid Thoriqoh yang banyak. Dan dari tangan mereka berkembang menjadi ratusan ribu pengikut. Demikian pula halnya Simbah Kyai Siradj Solo yang mengembangkan Thoriqoh ini ke berbagai tempat melalui anak muridnya yang tersebar ke pelosok Jawa Tengah hingga mencapai puluhan ribu pengikut. Sementara di Jawa Timur, Thoriqoh ini dikembangkan oleh KH. Musta’in Romli Rejoso Jombang dan Simbah Kyai Utsman yang kemudian dilanjutnya putra-putranya diantaranya KH. Asrori yang juga mempunyai murid ratusan ribu. Di Jawa Barat tepatnya di Ponpes Suryalaya Tasikmalaya juga turut andil membesarkan Thoriqoh ini sejak mulai zaman Abah Sepuh hingga Abah Anom dan murid-muridnya yang tersebar di berbagai penjuru Jawa Barat.
Thoriqoh Alawiyyah berbeda dengan Thoriqoh sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) yang berat, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad.serta beberapa ratib lainnya seperti Ratib Al Attas dan Alaydrus juga dapat dikatakan, bahwa Thoriqoh ini merupakan jalan tengah antara Thoriqoh Syadziliyah (yang menekankan olah hati) dan batiniah) dan Thoriqoh Al-Ghazaliyah (yang menekankan olah fisik). Thoriqoh ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Thoriqoh ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir–lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir—seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat. Al Imam Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali Baalwi, juga merupakan tokoh kunci Thoriqoh ini. Dalam perkembangannya kemudian, Thoriqoh Alawiyyah dikenal juga dengan Thoriqoh Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah al-Haddad, Attasiyah yang dinisbatkan kepada Habib Umar bin Abdulrahman Al Attas, serta Idrusiyah yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah bin Abi Bakar Alaydrus, selaku generasi penerusnya. Sementara nama “Alawiyyah” berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Thoriqoh Alawiyyah, secara umum, adalah Thoriqoh yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai saadah atau kaum sayyid – keturunan Nabi Muhammad SAW–yang merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal Thoriqoh ini didirikan, pengikut Thoriqoh Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid di Hadhramaut, atau Ba Alawi.Thoriqoh ini dikenal pula sebagai Toriqotul abak wal ajdad, karena mata rantai silisilahnya turun temurun dari kakek,ayah, ke anak anak mereka, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami. Di Purworejo dan sekitarnya Thoriqoh ini berkembang pesat, diikuti bukan hanya oleh para saadah melainkan juga masarakat non saadah , Sayid Dahlan Baabud, tercatat sebagai pengembang Thoriqoh ini, yang sekarang dilanjutkan oleh anak cucunya.
Umumnya, nama sebuah Thoriqoh diambil dari nama sang pendiri Thoriqoh bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband. Tapi Thoriqoh Khalwatiyah justru diambil dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H), pendiri Thoriqoh Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi. Secara “nasabiyah”, Thoriqoh Khalwatiyah merupakan cabang dari Thoriqoh Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Thoriqoh Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria. Ia mengambil Thoriqoh tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan Thoriqoh ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Diantara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).
Thoriqoh Syattariyah adalah aliran Thoriqoh yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Thoriqoh ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar. Awalnya Thoriqoh ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, Thoriqoh ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Thoriqoh Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Thoriqoh ini dianggap sebagai suatu Thoriqoh tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik. Perkembangan mistik Thoriqoh ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Penganut Thoriqoh Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut Thoriqoh ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan Thoriqoh ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
Thoriqoh Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan “Neosufisme”. Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari’at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan. At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di ‘Ain Madi, bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun. Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh Thoriqoh-Thoriqoh lain. Gugatan keras dari kalangan ulama Thoriqoh itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Thoriqoh Tijaniyah beserta keturunannya sampai tujuh generasi akan diperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Thoriqoh Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru Thoriqoh lain, Meski demikian, Thoriqoh ini terus berkembang, utamanya di Buntet- Cirebon dan seputar Garut (Jawa Barat), dan Jati barang brebes, Sjekh Ali Basalamah, dan kemudian dilanjutkan putranya, Sjekh Muhammad Basalamah, adalah muqaddam Tijaniah di Jatibarang yang pengajian rutinnya, dihadiri oleh puluhan ribu ummat Islam pengikut Tijaniah. Demikian pula Madura dan ujung Timur pulau Jawa, tercatat juga, sebagai pusat peredarannya.
Penentangan terhadap Thoriqoh ini, mereda setelah, Jam’iyyah Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah menetapkan keputusan, Thoriqoh ini bukanlah Thoriqoh sesat, karena amalan-amalannya sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Keputusan itu diambil setelah para ulama ahli Thoriqoh memeriksa wirid dan wadzifah Thoriqoh ini.
Thoriqah Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad Samman yang bernama asli Muhammad bin Abd al-Karim al-Samman al-Madani al-Qadiri al-Quraisyi dan lebih dikenal dengan panggilan Samman. Beliau lahir di Madinah 1132 H/1718 M dan berasal dari keluarga suku Quraisy. Semula ia belajar Thoriqoh Khalwatiyyah di Damaskus, lama kelamaan ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik dzikir, wirid dan ajaran teosofi lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri dengan Allah yang akhirnya disebut sebagai Thoriqoh Sammaniyah. Sehingga ada yang mengatakan bahwa Thoriqoh Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah. Di Indonesia, Thoriqoh ini berkembang di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Sammaniyah masuk ke Indonesia pada penghujung abad 18 yang banyak mendapatkan pengikut karena popularitas Imam Samman. Sehingga manaqib Syekh Samman juga sering dibaca berikut dzikir Ratib Samman yang dibaca dengan gerakan tertentu. Di Palembang misalnya ada tiga ulama Thoriqoh yang pernah berguru langsung pada Syekh Samman, ia adalah Syekh Abd Shamad, Syekh Muhammad Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin dan Syekh Kemas Muhammad bin Ahmad. Di Aceh juga terkenal apa yang disebut Ratib Samman yang selalu dibaca sebagai dzikir (team Al Mihrab )
Kyai Siradj Solo yang mengembangkan Thoriqoh Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah
2.2. PERBANDINGAN ANTARA TARIKAT-TARIKAT MU’TABAROH DI INDONESIA
2.3.  AJARAN-AJARAN TARIKAT MU’TABAROH DI INDONESIA DENGAN FENOMENA KEHIDUPAN SEKARANG 

STANDAR KOMPETENSI
KOMPETENSI DASAR
  1. 2. Memehami peran tasawuf  dalam kehidupan modern
2.1.  Menjelaskan problematika masyarakat modern2.2.  Menjelaskan relevansi tasawuf dalam kehidupan modern2.3.  Menjelaskan peranan tasawuf dalam kehidupan modern
A. Masyarakat Modern
Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern. Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu). Sedangkan modern diartikan yang terbaru, secara baru, mutakhir. Jadi masyarakat modern berarti suatu himpunan yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir.
Menurut Deliar Noer ada 5 ciri-ciri masyarakat modern sebagai berikut :
  1. Bersifat rasional,
  2. Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh,
  3. Menghargai waktu,
  4. Bersikap terbuka,
  5. Berpikir objektf.
Dalam pada itu, Alfin Toffler, sebagai dikemukakan oleh Jalaludin Rahmat, membagi masyarakat ke dalam tiga bagian. Yaitu masyarakat pertanian (Agricultural Society), masyarakat industri (Industrial Society), dan masyarakat infomasi (Informatical Society).
Masyarakat pertanian, ekonominya bertumpu pada tanah / sumber alam. Teknologi yang digunakan adalah teknologi kecil seperti pompa penyemprot hama, racun tikus, dan sebagainya. Informasi yang mereka gunakan adalah media tradisional, dari mulut ke mulut, bersifat lokal, dan informasi terpusat pada salah seorang yang dianggap tokoh. Dari segi kejiwaan, mereka banyak menggunakan kekuatan yang bersifat irrasional, seperti penanganan masalah dengan cara pergi ke dukun.
Selanjutnya masyarakat industri berbeda dengan masyarakat pertanian. Modal dasar berupa peralatan produksi dan mesin-mesin produksi. Teknologi yang digunakan adalah teknologi tinggi. Informasi yang mereka gunakan sudah menggunakan media cetak atau tulisan yang dapat disimpan oleh siapa saja. Secara kejiwaan, mereka adalah manusia yang cerdas, berilmu pengetahuan, menguasai teknologi, dan berpikir untuk hidup secara makmur dalam bidang materi.
Yang ketiga adalah masyarakat informasi, yang paling menentukan dalam masyarakat informasi adalah orang-orang yang paling banyak memiliki informasi. Dari segi teknologi, masarakat informasi menggunakan teknologi elektronika. Penggunaan teknologi elektronika telah mengubah lingkungan informasi dari yang bersifat lokal dan nasional kepada lingkungan yang bersifat internasional, mendunia, dan global. Secara kejiwaan, mereka adalah manusia yang serba ingin tahu, mampu menjelaskan, dan imajinatif.
B. Problematika Masyarakat Modern.
Kemajuan di bidang teknologi pada zaman modern ini telah membawa manusia ke dalam dua sisi, yaitu bisa memberi nilai tambah (positif), tapi pada sisi laian dapat mengurangi (negatif).
Efek positifnya tentu saja akan menigkatkan keragaman budaya melalui penyediaan informasi yang menyeluruh sehingga memberikan orang kesempatan untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan baru dan meningkatkan produksi. Sedangkan efek negatifnya kemajuan teknologi akan berbahaya jika berada di tangan orang yang secara mental dan keyakinan agama belum siap. Mereka dapat menyalahgunakan teknologi untuk tujuan-tujuan yang destruktif dan mengkhawatirkan. Misalnya penggunaan teknologi kontrasepsi dapat menyebabkan orang dengan mudah dapat melakukan hubungan seksual tanpa harus takut hamil atau berdosa. Jaringan-jaringan peredaran obat-obat terlarang, tukar menukar informasi, penyaluran data-data film yang berbau pornografi di bidang teknologi komunikasi seperti komputer, faximile, internete, dan sebagainya akan semakin intensif pelaksanaannya.
Hal tersebut di atas adalah gambaran-gambaran masyarakat modern yang obsesi keduniaannya tampak lebih dominan ketimbang spritual. Kemajuan teknologi sains dan segala hal yang bersifat duniawi jarang disertai dengan nilai spiritual.
Menurut Sayyed Hossein Nasr, seorang ilmuwan kenamaan dari Iran, berpandangan bahwa manusia modern dengan kemajuan teknologi dan pengetahuaannya telah tercebur ke dalam lembah pemujaan terhadap pemenuhan materi semata namun tidak mampu menjawab problem kehidupan yang sedang dihadapinya. Kehidupan yang dilandasi kebaikan tidaklah bisa hanya bertumpu pada materi melainkan pada dimensi spiritual. Jika hal tersebut tidak diimbangi akibatnya jiwa pun menjadi kering, dan hampa. Semua itu adalah pengaruh dari sekularisme barat, yang manusia-manusianya mencoba hidup dengan alam yang kasat mata.
Menurut Nashr, manusia barat modern memperlakukan alam seperti pelacur. Mereka menikmati dan mengeksploitasi alam demi kepuasan dirinya tanpa rasa kewajiban dan tanggung jawab apa pun. Nashr melihat, kondisi manusia modern sekarang mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar dan bersifat spiritual, mereka gagal menemukan ketentraman batin, yang berarti tidak ada keseimbangan dalam diri. Hal ini akan semakin parah apabila tekanannya pada kebutuhan materi semakin meningkat sehingga keseimbangan semakin rusak. Oleh karena itu, manusia memerlukan agama untuk mengobati krisis yang dideritanya.
Dari sikap mental yang demikian itu kehadiran iptek telah melahirkan sejumlah problematika masyarakat modern, sebagai berikut :
Desintegrasi ilmu pengetahuan
Banyak ilmu yang berjalan sendiri-sendiri tanpa ada tali pengikat dan penunjuk jalan yang menguasai semuanya, sehingga kian jauhnya manusia dari pengetahuan akan kesatuan alam.
Kepribadian yang Terpecah
Karena kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak, maka manusianya menjadi pribadi yang terpecah, hilangnya kekayaan rohaniah karena jauhnya dari ajaran agama.
Penyalahgunaan Iptek
Berbagai iptek disalahgunakan dengan segala efek negatifnya sebagaimana disebutkan di atas.
Pendangkalan Iman
Manusia tidak tersentuh oleh informasi yang diberikan oleh wahyu, bahkan hal itu menjadi bahan tertawaan dan dianggap tidak ilmiah dan kampungan.
Pola Hubungan Materialistik
Pola hubungan satu dan lainnya ditentukan oleh seberapa jauh antara satu dan lainnya dapat memberikan keuntungan yang bersifat material.
Menghalalkan Segala Cara
Karena dangkalnya iman dan pola hidup materialistik manusia dengan mudah menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan.
Stres dan Frustasi
Manusia mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan kemampuannya untuk terus bekerja tanpa mengenal batas dan kepuasan. Sehingga apabila ada hal yang tidak bisa dipecahkan mereka stres dan frustasi.
Kehilangan Harga Diri dan Masa Depannya
Mereka menghabiskan masa mudanya dengan memperturutkan hawa nafsu dan menghalalkan segala cara. Namun ada suatu saat tiba waktunya mereka tua segala tenaga, fisik, fasilitas dan kemewahan hidup sudah tidak dapat mereka lakukan, mereka merasa kehilangan harga diri dan masa depannya.
C. Perlunya Pengembangan Akhlak Tasawuf
Akhlak tasawuf merupakan solusi tepat dalam mengatasi krisis-krisis akibat modernisasi untuk melepaskan dahaga dan memperoleh kesegaran dalam mencari Tuhan. Intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya iu brrada di hadirat-Nya. Tasawuf perlu dikembangkan dan disosialisasikan kepada masyarakat dengan beberapa tujuan, antara lain: Pertama, untuk menyelamatkan kemanusiaan dari kebingungan dan kegelisahan yang mereka rasakan sebagai akibat kurangnya nilai-nilai spiritual. Kedua, memahami tentang aspek asoteris islam, baik terhadap masyarakat Muslim maupun non Muslim. Ketiga, menegaskan kembali bahwa aspek asoteris islam (tasawuf) adalah jantung ajaran islam. Tarikat atau jalan rohani (path of soul) merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan dalam islam sebagaimana syariat bersumber dari Al-Quran dan Al- Sunnah. Betapapun ia tetap menjadi sumber kehidupan yang paling dalam, yang mengatur seluruh organisme keagamaan dalam
islam. Ajaran dalam tasawuf memberikan solusi bagi kita untuk menghadapi krisis-krisis dunia. Seperti ajaran tawakkal pada Tuhan, menyebabkan manusia memiliki pegangan yang kokoh, karena ia telah mewakilkan atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada Tuhan. Selanjutnya sikap frustasi dapat diatasi dengan sikap ridla. Yaitu selalu pasrah dan menerima terhadap segala keputusan Tuhan. Sikap materialistik dan hedonistik dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud. Demikan pula ajaran uzlah yang terdapat dalam tasawuf. Yaitu mengasingkan diri dari terperangkap oleh tipu daya keduniaan. Ajaran-ajaran yang ada dalam tasawuf perlu disuntikkan ke dalam seluruh konsep kehidupan. Ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan lain sebagainya perlu dilandasi ajaran akhlak tasawuf.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm 636.
Deliar Noer, Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1987), hlm 24.
Abudin Nata, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), hlm 286.
Agussyafii.blogspot.com/2007/12/problem-dan-solusi-masyarakat-modern.html
Sayyed Hossein Nashr, Man and Nature…….. 57.
Sayyed Hossein Nashr, ideals and realities of islam ….. hlm 121.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Islam didenfisikan sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan Nabi kita Rasulullah SAW, untuk mengatur segenap urusan manusia, baik berkaitan hubungan dengan Allah (ibadah dan aqidah), hubungan dengan sesama manusia (muamalah, uqabat atau sanksi), dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, untuk itu kami sebagai penulis mengangkat sebuah permasalahan yang terjadi dalam masyarakat modern khususnya.
Orang-orang dalam menjalani hidupnya haruslah dinilai sebagai orang yang melaksanakan perintah Allah, bukan hanya melihat dari segi status sosial ataupun material saja. Ukuran dalam menjalani hidup sama saja dihadapan Allah SWT yang membedakan hanya kadar ketakwaan kita, bukan berdasarkan dari status sosial atau materil dalam pandangan manusia saja.
Disamping itu, kalau seorang muslim dalam menjalani kehidupannya bisa dan tidak mudah terpengaruh akan segala ritangan yang selalu menghadang dalam setiap langkah hidupnya dan mempunyai filter dalam menyaring segala problematika yang kian hari kian banyak membuat orang bingung.
Problematika masyarakat modern adalah Sebuah permasalahan yang muncul dan hangat diperbincangkan oleh khalayak orang, sehingga menjadi sebuah hal yang sifatnya penting sekali dalam kehidupan ini. Maka semua permasalahan yang dilakukan mesti penuh pemikiran dan pertimbangan dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian baik buruknya seorang manusia tergantung bagaimana orang tersebut menyikapi segala problematika yang terjadi saat ini..
Manusia dizaman modern ini diharapkan pada masalah problematika masyarakat cukup serius. Kemudian khazanah fikiran dan pandangan dalam menyikapi mesti adanya suatu pengembangan pola fikir yang lebih baik.
Dengan demikian, menjadi sangatlah penting kita mempelajari hal-hal yang berkenaan suatu permasalahan yang banyak dialami masyarakat modern. Namun penjabaran dalam menjalani hidup ini seseorang dituntut untuk tidak berjalan begitu saja dan tidak akan sempurna dalam proses perubahannya tanpa mengetaui pengembangan pembentukan masyarakat modern yang lebih maju.
B.Tujuan
Didalam penulisan makalah ini adalah bertujuan untuk menambah wawasan dalam pengertahuan mengenai ilmu akhlak dan memenuhi tugas kelompok.
C. RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas maka penulis mengajukan beberapa masalah berupa :
1. Apa-apa saja yang menyebabkan timbulnya problematika masyarakat modern?
2. Kepada siapakah perubahan problematika masyarakat modern?
PEMBAHASAN
.FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN AKHLAK
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya,ada tiga aliran yang sudah amat popular.Pertama aliran Nativisme,Kedua aliran Emperisme, dan ketiga aliran konvergensi.
Menurut aliran Nativisme bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain.Aliran ini tamaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam pada diri manusia, dan hal ini kelihatan erat kaitannya dengan pendapat aliran intuisme dalam hal penentuan baik dan buruk sebagaimana telah diuraikan diatas.
Menurut aliran Empirisme bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor dari luar, yaitu lingkungan luar, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pembinaan dan prnddikan yang diberikan kepada anak itu,maka baiklah anak itu.Dengan demikian jika sebaliknya.
Dalam pada itu aliran konvergensi berpendapat pembebntukan akhlak dipengaruhi oleh factor internal,yaitu pembawaan si anak,dan factor dari luar, yaitu pendidikan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan social.
Aliran yang ketiga, yakni aliran konvergensi itu tampak sesuai dengan ajaran islam. Hal ini dapat dipahami dari ayat dan hadis di bawah ini:
والله اخرجكم من بطون امهتكم لاتعلمون شيئاوجعل لكم السمع والابصاروالافثدة العلكم تثقرون
Dan allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadan yang tidak mengetahui sesuatupun, dan Dan dia memberikamu pendengaran dan penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. Al-Nahl)
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk didik, yaitu penglihatan, pendengaran, dan hati sanubari.Potensi tersebut harus dusyukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan.Hal ini sesuai pula dengan yang dilakukan Lukmanul Hakim kepada anaknya sebagai terlihat pada ayat yang berbunyi:
وإدقال لقمن لابنه وهوبعظة يبني لاتش رك الله ان الشرك لظلم عظيم ووصيناالاانسان بوالديه حملته امه وهناعنا على وهن وفصله نى عا مين ان اشكرلي ولوا لديك الي المصير
Dan (ingatlah) ketika luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberikan pelajaran kepadanya.”Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan allah, sesungguhnya mempersekutukan (allah) adlah benar-benarkezalima yang besar.Dan kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada duaorang ibu bapaknya; ibunya telah mengadungnya dalam keadaanlemah yang bertambah-tambah,dan menyapihnya dalam dua tahun.Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanyakepada kulah kembalimu.QS. Luqman 31:13-14.
Ayat tersebut selain menggambarkan tentang pelaksanaan pendidukan jugaberisi materi pelajaran dan yang utamanya, yaitu pendidikan tauhid dan keimanan, karena keimananlah yang menjadi salah satu dasar yang kokoh bagi pembentuka akhlak.
Kesesuaian teori Konvergensi tersebut diatas juga sejalan dengan hadist Nabi yang berbunyai:
كل مولوديولد على الفطرة فابواه يهودانه اوينصرانه اويمجسانه
Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan memvbawa fitrah (rasa ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran),maka kudua orang tuanyaalah yang membentuk anakn itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.(HR. Bukhari)
Ayat dan hadist tersebut di atas selain menggambarkan adanya teori konvergensi juga menunjukan dengan jelas bahwa pelaksana utama dalam pendidikan adalah kedua orang tua.
Dengan demikian factor yang mempengaruhi pembinan ahklak di anak ada dua, yaitu factor daridalam yaiti, potensi fisik, intelektual dan hati(rohaniah) yang dibawa si anak dari sejak lahir ,dan dari factor luar, yaitu kedua orang tua di rumah,guru di sekolah dan tokoh-tokoh serta pemimpin di masyarakat.Melalui kerjasama yang baik antara tiga lembaga pendidikan tersebut,maka aspek konditif(pengentahuan),efektif(penghayatan),dan psikomotorik(pengamalan) ajaran yang diajarka akan terbentuk pada diri anak .
Faktor yang lain dalam pembentukan akhlak adalah keluarga,dalam pembentulan kepribadian anak.Melalui fungsi ini keluarga berusaha mempersiapkan anak-anak bekal selengkap-lengkapnya dengan memperkenalkan pola tingkahlaku,sikap,keyakinan,cita-cita dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan yang diharapkan akan dijalankan mereka kelak.
Proses sosialisasi tidak sewajarnya diberikan kepada orang lain.Peran orang tua sangat besar dalam proses sosialisasi ini,sebab disitu anak akan meniru segala yang dilihat dan dipelajari dari orangtuanya.Apabila orang tua tidak menjalankan fungsi sosialisasi secara baik,maka problem lain yang muncul adalah anak kehilangan perhatian,setelah itu ia akan mencari tokoh lain diluar orang tuanya itu untuk ditiru.
Semua masyarakat sangat menggantungkan diri kepada keluarga dalam hal sosialisasi anak-anak.Peranan orang tua dalam sosialisasi ini sebagai persiapan untuk memasuki usia dewasa agar anak dapat berperan secara positif ditengah-tengah masyarakat.Salahsatu caranya adalah pemberian model bagi anak.Anak belajar menjadi laki-laki.Sosialisasi akan menemukan kesulitan apabila model semacam itu tidak ada dan bila anak harus mengandalkan diri pada model yang disaksikan dalam keluarga lain.Studi semacam ini semakin menegaskan bahwa keluarga adalah factor penentu utama bagi sosialisasi anak.
Tetapi sebaliknya,dalam keluarga yang serba susah yangmenghadapi berbagai masalah kemiskinan yang mencekik,problem sosialisasi dalam keluarga akan berjalan tidak normal.Keluarga seperti ini akan mensosialisasikan anak-anak mereka untuk meneruskan pola ketidakmampuan dan ketergantungan orang tua.
Didalam sebuah hadits Qudsi mengatakan yang artinya,Sesuatu yang diriwayatkan dari Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi,Dia berfirman”Wahai hambaku sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman atas diri-Ku dan kedzaliman itu Aku haramkan diantara kalian maka janganlan kalian saling mendzalimi.Wahai hamba-Ku masing-masing dari kau akan sesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk mintalah petunjuk kepada-Ku maka Aku akan memberi petunjuk kepadamu.Wahai hamba-Ku masing-masing dari kamu akan lapar kecuali orang yang Aku beri makan mintalah kepada-Ku maka akan Aku akan memberi kepadamu.Wahai hamba-Ku masing-masing kamu itu telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian mintalah pakaian kepada-Ku maka Aku akan memberikan kepadamu.Wahai hamba-Ku sesungguhnya kamu melakukan kesalahan siang dan malam sedang Aku mengampuni semua dosa mintalah ampun kepada-Ku maka Aku akan memberi ampunan kepadamu.Wahai hamba-Ku sesungguhnya kamu tidak akan bias menghindar dari kemudharatan-Ku maka kamu tidak akan mendapatkan kemanfatan-Ku maka mohonlah kemanfaatan kepada-Ku.Wahai hamba-Ku seandainya orang yang pertama dan terakhir dari kamu manusia dan jin dikalangan itu berada pada hati seseorang laki-laki yang paling taqwa diantaramu maka yang demikian itu tidak akan menambahsedikitpun dari kerajaan-Ku .Wahai hamba-Ku seandainya orang pertam dan terakhir dari kamu jin dan manusia berada pada hati seseorang hati seorang laki-laki yang jahat maka yang demikian itu tidak akan mengurangi sedikitpun kerajaan-Ku.Wahai hamba-Ku seandainya orang yang pertama dan terakhir diantara kamu manusia dan jin berdiri pada suatu bukit lalu mereka minta kepada-Ku maka Aku akan memberinya dari setiap orang yang permintaanya.maka yang demikian itu tidak akan mengurangi apa yang ada di sisi-Ku melainkan seperti air laut apabila dimasukan kedalamnya.Wahai hamba-Ku itu adalah amal-amal kalian yang Aku hitung semua untuk kalian dan kemudian Aku sempurnakan bagi kalian.Maka barang siapa yang mendapatkan kebaikan hendaklah memuji Allah dan barang siapa yang mendapatkan selain itu maka janganlah mencela selain dari pada dirinya sendiri(Hadits dikeluarkan Muslim).
KESIMPULAN
Aklakh adalah sesuatu hal yang menentukan bagaimana seseorang bias disegani dan dijauhi itu semua tergantung kepada akhlaknya.
Akhlak yang baik ataupun yang buruk tentunya semua itu ada hal yang menyebabkan itu semua,seseorang yang berakhlak baik tentunya mempunyai factor yang membuat ia mempunyai akhlak yang baik baik itu karena factor internal ataupun eksternal,maka dari itu semua kita harus mengetahui agar pada saatnya kita bias membedakan factor yang akan membawa kebaikan dan keburukan dan tentunya kita akan berusaha untuk mempunyai akhlak yang baik yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Akhlak yang buruk yang terdapat pada diri seseorang yang tentunya semua itu juga memiliki faktor yang menyebabkan itu semua terjadi pada diri orang itu,maka dengan setelah kita mengetahui tentang akhlak buruk ataupun factor-faktor penyebabnya kita akan berusaha untuk berusaha menjauhi factor-faktor tersebut ataupun mencari bagaimana pencegahannya ataupun yang menjadi sosialisasinya.
Rasullah memiliki akhlak yang begitu mulyanya yang tentunya harus kita ikuti dan amalakan dalam kehidupan sehari-hari kita begitupun akhlak kita yang menawan akan kelihatan sungguh indah apabila dibandingkan dengan akhlak yang buruk yang tentunya kita harus menjauhinya.
Allah mencintai bahkan memuliakan orang-orang yang memiliki akhlak yang baik yang sesuai dengan yang diperintahkan-Nya,maka diutuslah Rasullah untuk menyempurnakan akhlak kita agar akhlak kita baik.